PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD DENGAN SITI AISYAH
Pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah |
|
Author |
Post |
hamba
14 Jul 05 – 3:07 pm |
Seorang teman kristen suatu kali bertanya ke saya, ” Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam. Dia melanjutkan,” Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya,” Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya. Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, Orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah. Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti . Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah thd orang tua dan suami tua tersebut. Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur dibawah 18 tahun , dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima. Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya thd Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya. Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tsb sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisyanm ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun. BUKTI #1: PENGUJIAN THD SUMBERSebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya,Yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Tehzibu’l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : ” Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq ” (Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibn Hajar Al-`asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50). Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ” Saya pernah dikasih tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tehzi’b u’l-tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50). Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301). KESIMPULAN: berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindha ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel. KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam: pra-610 M: Jahiliya (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu BUKTI #2: MEMINANGMenurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya ” (Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979). Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M). Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya. KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah. BUKTI # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur FatimahMenurut Ibn Hajar, “Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah ” (Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978). Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun. KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar. BUKTI #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992). Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933). Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933) Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow). Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisuh usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M). Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga. Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun. Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..? kesimpulan: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah. BUKTI #5: Perang BADAR dan UHUDSebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].” Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud and Badr. Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.” Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 years akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perangm, dan (b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah. BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr). Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun. BUKTI #7: Terminologi bahasa ArabMenurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepada nya ttg pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya ttg identitas gadis tsb (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah. Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yangmasih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karean itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya. BUKTI #8. Text Qur’anSeluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun? Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat , yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid doaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri. Ayat tsb mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6) Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan. Disini, ayat Qur’an menyatakan ttg butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka. Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tsb secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karean itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa AbuBakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun. Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,” berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar. Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya? AbuBakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karean itu menentang hukum-hukum Quran. Kesimpulan: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata. BUKTI #9: Ijin dalam pernikahanSeorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan. Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan. Adalah tidak terbayangkan bahwa AbuBakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras ttg persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun. Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah. kesimpulan: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami ttg klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karean itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik. SUMMARY:Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernha keberatan dengan pernikahan seperti ini, karean ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat. Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Oleh karean itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab. sumber : Diterjemahkan oleh : C_P Total Reply 0 | Read 585 hits | Beritahu Teman | Print | Reply this Entry |
|
|||||
|
|||||
Questions & suggestion or problems regarding this web site should be directed to webmaster Copyright © Sep 2002 – swaramuslim – power with Pmachine All right reserved in association with Muslim Netters Association
best viewed with IE Resoluton 1024 X 768 |
arya 5:43 am on 27/05/2008 Permalink |
Subhanallah..mudah2an anda tetap istiqomah dalam membela Islam amin..
erzal 3:42 am on 28/05/2008 Permalink |
Comment »
1.
Subhanallah..mudah2an anda tetap istiqomah dalam membela Islam amin..
Comment by arya — May 27, 2008 @ 5:43 am | Edit This…………AMIN YA RABBAL ALAMIN
Ses Joko 5:18 am on 11/09/2009 Permalink |
Subhanallah,
Mas..tolong dibela juga tulisan2 dibawah ini dong. Nabi Muhammad kan tauladan paling sempurna utk kita umat manusia, jadi kelakuannya pantas untuk kita teladani. Dibawah ini kisah pernikahan sang nabi dengan Istri2nya. Mohon dibela karena sepertinya tulisan ini sangat mendiskreditkan sang nabi. Kita tidak usah mencari siapa penulisnya, tapi yg perlu kita nilai adalah kebenaran tentang tulisan ini, karena sumbernya dari orang2 muslim sendiri.
Terus terang saya ga mau ikut ajaran karena asal2an tapi saya ingin belajar bener2…tolong dijelaskan, cari pembelaannya.
ISTRI – ISTRI SANG NABI MUHAMMAD SAW
1. Khadijah bint Khuwailid
[23] Ini tentu masuk akal, tetapi juga mengingat akan kemiskinannya. Empat orang anak perempuan lahir dari pernikahan pertamanya dengan Khadijah.[24] Ahli sejarah Muslim lain yang melaporkan fakta tersebut juga menyepakati bahwa Khawlah, anak perempuan Hakim Al-Silmiya bertanya kepada Muhammad: “Apakah engkau ingin menikahi seorang perawan atau seorang bukan perawan?” Khawlah mengatakan kepadanya: “Seorang perawan adalah Aisyah dan seorang bukan perawan adalah Sawda bint Zam’a; ambillah siapapun yang engkau inginkan.” Sang nabi menjawab, “Saya akan menikahi keduanya. Katakan kepada mereka.” Khawlah melakukannya dan Muhammad menikahi keduanya.[25]
Istri pertama Muhammad adalah Khadijah, anak dari Khuwailid. Dia adalah wanita yang cukup dikenal di Mekah, janda kaya yang mewarisi kekayannya dari suaminya. Ketika dinikahi Muhammad, umurnya 40-an dan Muhammad berumur 25 tahunan. Alasan pernikahan mereka cukup jelas. Muhammad miskin, dan pamannya, Abu Talib, menjadi walinya setelah kematian kakeknya, lebih miskin. Dengan alasan ini, Muhammad tidak dapat menikah, walaupun dia terlambat 5 tahunan dari lazimnya orang yang menikah pada umur 20 tahun. Pernikahan Muhammad dengan Khadijah dilakukan dengan mediasi dari Naufal, paman dari Khadijah dengan beberapa persyaratan pra-nikah termasuk menikah di dalam gereja. Pamannya, Abu Talib, sepakat terhadap persyaratan-persyaratan tersebut dan mengatakan “Terpujilah Allah yang mengambil kesusahaan kita dan menghilangkan kekhawatiran kita.” maksudnya bebas dari kemiskinan!
Ketika saya memasuki SMA, guru-guru agama selalu mengatakan bahwa Muhammad menikah dengan banyak wanita, untuk menguatkan Islam, untuk memperkayanya dengan darah suku yang baru dan untuk menguatkan hubungan antara kaum Muslim. Sangat jelas bagi saya dan murid lainnya bahwa guru-guru itu berbohong; dan asal bunyi saja! Mereka hanya mengulang apa yang dikatakan pendahulu-pendahulu mereka. Namun, kita mempelajari (dan akan diperlihatkan disini) bahwa tidak ada satupun pernikahan Muhammad yang sesuai dengan kesaksian guru-guru itu. Bahkan sebaliknya, semua pernikahan itu didasarkan pada keinginan pribadi dan hanya untuk memenuhi nafsunya, entah itu untuk uang, sebagaimana dengan Khadijah atau untuk kepuasan birahi seks. Apakah karakter demikian pantas disebut nabi besar?!!!
Dr. Aisha Abdul Rahman (dikenal dengan nama bint Al-Shati’) mengatakan dalam bukunya, The Wives of the Prophet (Istri-Istri Sang Nabi): “Muhammad menemukan di dalam Khadijah, belas kasih seorang ibu yang tidak dia dapatkan pada masa kecilnya.”
2. Aisyah bint Abu Bakar
Semua ahli sejarah Muslim sepakat bahwa Muhammad langsung menikah setelah kematian Khadijah.
Pengarang-pengarang lainnya agaknya telah membuat suatu kesalahan disini. Kenyataannya, Khawlah tidak menyebutkan Aisyah, melainkan mengatakan: “anak perempuan dari kawanmu Abu Bakar,” yang merujuk kepada anak perempuannya yang paling tua, Asma’ umur 18 tahun, dan bukan Aisyah. Tidak logis bagi Khawlah untuk merujuk kepada Aisyah yang baru berumur 6 tahun.
Tetapi Muhammad sendiri yang memilih untuk menikahi Aisyah yang berumur enam tahun daripada Asma’, kakak perempuannya!
Muhammad menikahi Aisyah ketika dia berumur 6 tahun, namun dia tidak melakukan hubungan badan dengannya hingga dia berumur 9. Dimanakah ada aturan moral di dunia ini yang mengizinkan seorang anak perempuan berumur 6 tahun untuk menikahi seorang laki-laki yang berumur lebih dari 50 tahun? Jika sesuatu seperti ini terjadi dalam sebuah masyarakat dengan hukum yang beradab, orang tersebut – bila ia waras – akan dilempar ke dalam penjara. Saya berharap cerita tersebut tidak benar, namun sayangnya, semua referensi Islam memastikan keaslian dan kebenarannya! Bagaimana Allah bisa sedemikian masa-bodo dan tidak adilnya, mengingat ulama Muslim membenarkannya: “Allah memilih dan menuntun dia dalam pernikahan – pernikahan tersebut?”
Kita membutuhkan sebuah jawaban yang datang dari hati nurani dan datang dari Kebenaran, bukan dari fanatisme buta, ketakutan dan harga diri.
*[Wahyu yang berkata “Aku hanya manusia biasa seperti kamu”, kembali diuji ketika Muhammad meninggal dan sekaligus menjadikan semua istrinya janda yang tidak boleh menikah lagi.]
Tatkala itu Aisyah baru berumur sekitar 18 tahun. Namun, janda muda ini, diharamkan untuk menikah lagi. Mantan Istri-istri sang nabi tidak diizinkan untuk menikah atau berpacaran lagi, sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Mengapa Allah melakukan ini? Adakah keadilan dan kasih sayang di dalam perintah itu? Saya tak tahu lagi bagaimana melanjutkan diskusi tentang nasib Aisyah, yang masa kanak-kanaknya sudah dikorbankan, dan kini masa janda mudanya masih dicekal!
[Kita teringat satu tantangan dalam website “ex-Muslim” Faith Freedom International, yang berkata: “Saya bersumpah akan kembali ke Islam jika ada Muslim di situs ini yang merelakan puteri mereka yang berumur 9 tahun untuk berbagi ranjang dengan saya sesuai dengan apa yang dicontohkan (sunnah) oleh Muhammad.]
3. Zainab bint Jahsy
Pernikahan ketiga Muhammad adalah sebuah tragedi moral terbesar, yang hanya berisi nafsu seks dan birahi belaka. Selagi Anda membaca, coba tanyakan pada diri Anda sendiri, “Dimanakah pertalian dan penguatan suku dalam sebuah perkawinan ini?” “Adakah hubungan antara pernikahan ini dengan kenabian?”
Khadijah, istri pertama dari Muhammad, membeli seorang budak bernama Zayd Ibn Haritha yang kemudian diberikannya sebagai hadiah kepada suaminya, untuk menjadi pelayannya. Namun setelah Muhammad mendapat panggilan kenabian, dia membebaskan Zayd dan mengadopsinya sebagai anak di muka umum, dimana dia berkata, “Zayd adalah anakku, saya mewarisinya dan dia mewarisiku.” Setelah itu, dia kemudian dikenal dengan sebutan “Zayd, anak dari Muhammad.” Singkat cerita, akhirnya, Zainab menikahi Zayd atas desakan Muhammad. Namun yang terjadi kemudian sangatlah aneh, mengejutkan dan menjijikkan.
Suatu hari Muhammad pergi untuk mengunjungi anak angkatnya, Zayd. Ketika dia memasuki rumah Zayd, dia sedang tidak ada di rumah. Muhammad melihat Zainab setengah telanjang dibalik tirai ketika dia sedang berpakaian. Muhammad menginginkannya, namun dia takut untuk masuk. Sebelum dia pergi, dia berkata kepadanya., “Terpujilah Allah yang dapat merubah hati seseorang.” Zainab senang dan kemudian memberitahukan kunjungan tersebut dan pernyataan Muhammad pada suaminya. Zayd langsung menemui Muhammad dan bertanya: “Apakah engkau menginginkan aku menceraikannya untukmu?” Muhammad menjawab: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Pada awalnya merupakan sikap yang masih mulia dari Muhammad. Namun, yang terisi dalam hati dan jiwa Muhammad sangat berbeda dengan apa yang dikatakan mulutnya, karena dia benar-benar menginginkannya sebagaimana yang dicatat oleh Al-Zamkhashri: “Penampilan luar dari Muhammad berbeda dengan apa yang ada di dalamnya..”
Al-Qur’an menyatakan kepada kita bahwa Muhammad jatuh cinta dan menginginkan Zainab menjadi istrinya. Tetapi dia ragu terhadap perkataan orang tentang dirinya, mengambil istri dari anak angkatnya. Namun Allahnya Muhammad mendatanginya untuk memarahinya atas keragu-raguannya. Anehnya, justru Allah yang menginginkan wanita itu untuk meninggalkan suaminya dan melanggar semua norma moralitas, agar Muhammad bisa mendapatkannya. Ini jelas terlihat dalam Al-Qur’an:
“Dan, ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zayd telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya, Kami kawinkan kamu dengan dia…”
Waktu tidak berlangsung lama antara Surat 33:36 (ketika Allah lewat Muhammad meyakinkan Zayd sebagai laki-laki mukmin untuk tetap dalam pernikahan yang dia walikan) dan Surat 33:37, dimana Allah berbalik memerintahkan Zayd untuk meninggalkan Zainab sehingga sang nabi itu dapat menikahinya. Apa yang mengakibatkan Allahnya sang nabi itu untuk merubah pikirannya? Apakah tuhan itu sebuah mainan di tangan Muhammad, sehingga sebuat ayat baru akan turun untuk meniadakan ayat yang datang sebelumnya?
*[Sungguh aneh, bahwa tuhannya Muhammad tidak merekonsiliasikan dan tidak mampu menolong kelangsungan keluarga Zayd-Zainab. Dan Muhammad tidak tampak membantu mendoakan pemulihan keluarga ini lewat kuasa Tuhan. Sebaliknya, Allah yang satu ini – seperti manusia saja – hanya merasa perlu buru-buru menggantikan kehancuran rumah tangga tersebut (yang adalah keluarga dari anak angkatnya Rasul Allah) dengan menetapkan perkawinan yang baru untuk Muhammad?]
Macam apakah tuhannya yang satu ini?
Dalam bukunya, The Life of Muhammad, Dr. Haykal menolak cerita tentang Zayd dan Zainab ini. Dia mendeskripsikannya sebagai sesuatu yang memalukan dan dia menuduh kaum misionaris dan peneliti Barat mengada-adakannya untuk menjatuhkan Islam dan nabinya. Ketika saya masih seorang Muslim, saya berharap Dr. Haykal benar dan semua cerita merendahkan terhadap Muhammad memang kebohongan belaka. Namun, kita harus menatap fakta pahitnya dan membaca jawaban Dr. bint Al-Shati’, seorang ulama Muslim yang cukup terkenal, yang menyatakan kebenaran apa adanya:
“Cerita tentang Muhammad, sang Rasul, yang mengagumi Zainab … dan bagaimana dia meninggalkan rumah Zainab dengan berkata, “Terpujilah Allah yang merubah hati seseorang”, diceritakan kepada kita oleh pendahulu-pendahulu yang baik seperti Imam Al-Tabari dalam buku sejarahnya dan oleh Abu Ja’far Ibn Habib Al-Nabeh dan yang dikasihi Al-Tabari, dan tetangga Allah, Al-Zamkhashri. Orang-orang tersebut mengkisahkan cerita ini sebelum dunia mendengarkan Perang Salib, penginjilan, dan misionaris Barat. … Mengapa kita harus menyangkal bahwa sang Rasul adalah manusia yang melihat Zainab dan mengaguminya… Muhammad tidak pernah menyatakan dirinya sempurna, tanpa nafsu manusia. Sebagaimana dia bergairah ketika melihat Aisyah daripada istri-istrinya yang lain, dia mengatakan, “Allah, jangan salahkan aku karena tidak memiliki apa yang engkau miliki (kemampuan menahan diri).”
Semua kisah diatas adalah fakta, dibenarkan oleh para tokoh Muslim, bukan rekayasa misionaris Barat seperti dituduhkan oleh Haykal.
*[Bahkan pihak Muslim pulalah yang ingin menyembunyikannya atau – seperti halnya Ibn Kathir – menghapusnya dari khazanah Islam karena dianggap tidak sehat, “kami ingin menghapus beberapa halaman dari kisah tersebut, sebab tidak sehat, dan kami tidak akan sebut lagi”. (Ibn. Kathir, Tafsir, vol.3, p.491)]
Apakah seharusnya kita masing-masing memiliki tuhan dan “jibril” kita sendiri-sendiri agar kita dapat melakukan apa yang kita mau, dan menolak apa yang tidak kita inginkan, dengan berkedok bahwa tuhan yang memerintahkannya lewat “jibril” demi membenarkan tindakan kita?
Mari kita bandingan hal ini dengan kehidupan Raja Daud, “Nabi Daud” bagi kaum Muslim. Daud bernafsu atas istri orang lain. Namun betapapun dia disayangi oleh Tuhan, Tuhan tidak membiarkan perselingkuhan tersebut terjadi begitu saja hanya karena Daud adalah seorang nabi dan seorang raja. Sebaliknya, Tuhan menegur dan menghukumnya dengan keras. Ancaman Tuhan berkumandang di seluruh Israel (!) saat Dia berkata kepada Daud: “Oleh sebab itu, pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya, karena engkau telah menghina Aku dan menambil isteri Uria, orang Het itu, untuk menjadi isterimu.” (2 Samuel 12:10).
Daud menjawab dengan ratapan:
“Kasihanilah aku, ya Tuhan, menurut kasih setiaMu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmatMu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku…. Jadikanlah hatiku tahir, ya Tuhan, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:3-5, 12)
Dengan kata lain, Tuhan adalah Tuhan yang suci dan murni yang tidak berkompromi dan berkonsesi dengan dosa. Kesuciannya untuk dosa siapapun, baik itu Daud maupun Muhammad. Tuhan yang Sejati menghukum dosa dan tidak malah memberinya hadiah! Sebaliknya Muhammad melakukan apa saja yang ia mau dan itu absah saja.
Zainab sendiri menjelaskan:
“Setelah bercerai, langsung dan lihatlah, Rasul Allah memasuki rumah saya saat saya sedang tidak berjilbab dan saya bertanya kepadanya, “Apakah akan seperti ini tanpa wali atau saksi?” Dia menjawab kepada saya, “Allah adalah walinya dan “jibril” adalah saksinya.”
Akibat dari pernyataannya, Zainab menyombongkan diri di depan istri-istri Muhammad lainnya dengan mengatakan: “Ayah-ayahmu yang memberikan kamu dalam pernikahan, namun untuk saya, surgalah yang memberikan saya dalam pernikahan dengan Rasul Allah.”
Namun agar Muhammad bisa keluar dari issue sah tidaknya ia mengawini Zainab, kembali “jibril” siap sedia menurunkan ayat dari tuhannya, menyatakan bahwa dia tidak bukan mengadopsi Zayd seperti yang umum maksudkan. Sehingga, khusus menikahi Zainab sesungguhnya sah: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ulama terpandang mencatat dalam bukunya, Al-Sira Al-Halabia: “Jika Muhammad bernafsu atas wanita yang sudah menikah, menjadi keharusan bagi suaminya untuk menceraikannya untuk dia (Muhammad).
[Sedangkan ada seorang Nabi lain yang justru mengatakan dalam otoritas dan kekudusanNya: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”. (Mat.5:27-28)]
Jadi dimanakah alasan-alasan yang dilemparkan para ulama bahwa pernikahan Muhammad hanya semata untuk menguatkan hubungan Islam antar suku? Dimanakah aspek “demi kepentingan Islam”nya?
4. Safiyah bint Huyay
Pernikahan Muhammad ke-4 adalah dengan Safiyah, anak perempuan dari Huyay, seorang Yahudi. Pada waktu itu adalah tahun ke-7 Hijrah,
Setelah serangan tersebut, Dihya Al-Kalbi, meminta kepada Muhammad atas beberapa tawanan wanita. Muhammad mengatakan: “Pergilah dan ambillah siapapun yang sesuai denganmu.” Dihya mengambil Safiyah, namun kebahagiaannya tidak berlangsung lama karena salah seorang anak buah mengatakan kepada Muhammad: “Wahai, Rasul Allah, apakah engkau memberikan Safiyah kepada Dihya? Hanya engkaulah yang berhak mendapatkannya.” Muhammad mengatakan: “Bawa Dihya dan Safiyah kemari.”
Ketika mereka datang kehadapannya dan dia melihat Safiyah yang cantik, dia berkata kepada Dihya, “Pergi dan ambillah wanita lain.” Dia kemudian memerintahkan pembantu perempuannya untuk menyiapkan Safiyah, sehingga dia dapat bersetubuh dengannya pada malam yang sama. Umm Salamah mendiskripsikan Safiyah demikian: “Saya tidak pernah melihat dalam hidup saya wanita yang lebih cantik dari Safiyah.”
Ketika Muhammad menikahinya, Safiyah baru berumur 17 tahun, dan masih dalam bulan pertama pernikahannya dengan Kinana. Muhammad berumur enam puluh dua tahun. Dan tiga tahun kemudian Safiyah menjadi seorang janda untuk kedua kalinya, pada saat Muhammad meninggal. Namun, beda dengan janda sebelumnya, kali ini dia tidak diperbolehkan untuk menikah lagi. (Beginikah model perkawinan yang di sunnah-kan Nabinya?) Dan Muslim masih juga mengimani bahwa sang nabi menikahi banyak wanita – sekalipun itu di bawah umur – adalah untuk memperkuat ikatan Islam atau karena nabi berbelas kasihan kepada mereka? Namun pandangan saya sekarang jadi jelas dan saya lebih mengerti, ketika diperhadapkan dengan pernikahan Khadijah, Aisyah, Zainab, dan Safiyah.
5. Juwairiyyah bint Al-Haris
Pernikahan yang ke-5 adalah dengan Juwairiyyah bint Al-Haris. Juwairiyyah berumur 20 tahun ketika Muhammad pada usia 59 menikahinya. (Ju
wairiyyah dinikahi satu tahun sebelum Safiyah). Aisyah, yang katanya dikenal sebagai “Ibu Orang Beriman” mengkisahkan” ceritanya:
“Ketika Rasul Allah (Muhammad) membagi-bagi tawanan dari anak-anak Mustaliq, Juwairiyyah diberikan kepada Thabit bin Qais.
Di manakah pertalian antara kaum Muslim dalam masing-masing pernikahan, terutama pernikahannya dengan seorang Yahudi? Apakah karena belas kasihan sehingga dia (Muhammad) menikahi bani asing, padahal dia telah menyogok Thabit dengan uang supaya dia membiarkannya sendiri? Ini adalah pertanyaan yang saya ajukan kepada kaum Muslim.
6. Umm Salamah
Pernikahan keenam dari Muhammad adalah dengan wanita cantik lainnya yang bernama Umm Salamah. Lagi-lagi Aisyah, korban pertama dari sang nabi besar, mengatakan: “Ketika Rasul Allah menikahi Umm Salamah, saya terpuruk dalam kesedihan besar saat dia membicarakan kecantikannya, namun ketika saya melihatnya, saya melihat apa yang dia gambarkan.”
Umm Salamah adalah anak perempuan dari saudara perempuan ‘Utsman bin Affan (khalifah yang ketiga). Ketika Muhammad pertama kali melihatnya di rumah ‘Utsman, dia lalu mengingininya. Dua puluh empat jam kemudian, nabi memerintahkan suaminya, Ghassan bin Mughira untuk membawa bendera di depan pada pertempuran berikutnya. Dia mela-kukannya dan dia tewas dalam pertempuran itu. Keesokan harinya, sang nabi besar itu menikahi Umm Salamah. Begitulah cara dia menjadi istrinya.
Aneh memang kehidupan dari sang nabi ini. Sungguh teramat ganjil bilamana semua itu atas perintah Allah demi agama yang diturunkannya! Dan terlebih ganjil lagi bilamana banyak ulama Muslim mengatakan itu adalah belas-kasihan sang Nabi kepada para janda perempuan!
Tuhan macam apa yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain dari memastikan kehidupan seks sang nabi terpuaskan? Tuhan macam apa yang akan memastikan seorang suami dibunuh, atau seorang wanita diceraikan agar sang nabi dapat mendapatkan wanita yang dia inginkan? Tuhan saya Yang Maha Benar berada di atas hal-hal ini dan merataplah mereka ketika mereka berdiri di hadapan Tuhan Yang Sejati pada Hari Penghakiman. Apakah umat Muslim pernah memikirkan dengan jujur mengapa kekerasan terjadi dalam lingkaran-lingkaran Islam, yang diyakini sebagai agama pembawa damai dan rahmat bagi alam sejagat ini?
7. Sawdah bin Zam’ah
Ini adalah kisah mengenai pernikahan Muhammad dengan Sawdah bin Zam’ah. Dia adalah satu-satunya istri Muhammad yang tidak cantik. Namun, banyak ahli Muslim menggambarkannya sebagai seseorang yang baik hati dan sangat cantik di dalam.
Ketika Khadijah meninggal, Khawlah bint Hakim mendatangi Muhammad dan dia bertanya kepadanya, “Apakah engkau menginginkan seorang perawan atau janda?” Dia (Muhammad) meminta kedua-duanya. Yang perawan adalah anak perempuan Bakar dan yang bukan perawan adalah Sawdah. Namun dia terkejut setelah mengetahui, pada malam pernikahannya bahwa Sawdah tidak cantik. Muhammad marah dan memarahi Khawlah karena memperkenalkannya dengan dia. Ibn Hajar Asqalani menulis: “Khawlah, guna memperbaiki kesalahannya, menawarkan dirinya kepada dia (Muhammad), dan dia tinggal bersamanya sebagai suami dan istri, dan itu hanya terjadi dua bulan setelah pernikahannya dengan Sawdah.”
[38] [39] [40]
Dr. bint Al-Shati’ mengatakan dalam bukunya:
“Ketika suatu malam dengan Sawdah (dimana dia akan tidur dengannya), sang nabi memberitahunya tentang keputusannya untuk menceraikannya. Dia sangat terkejut mendengar berita itu dan dia merasa seolah-olah dinding-dinding sedang menimpanya. Dia memohon kepadanya, “Tolong, simpan aku, Wahai Rasul Allah.” Dia menjawabnya, “Dengan satu syarat, bahwa kamu memberikan jatah malam-malammu kepada Aisyah.” Daripada menghabiskan malam-malam tersebut dengan Sawdah, dia menghabiskannya dengan Aisyah ditambah dengan malam-malam lain yang sudah dijatahkan baginya. Sawdah sepakat, sambil mengatakan, “Mulai sekarang, saya tidak akan mengingini apa yang diinginkan oleh seorang wanita, karena saya memberikan jatah malam saya kepada Aisyah.” Akibatnya, Muhammad menyimpannya sebagai seorang istri, tetapi tidak lagi mengunjunginya.”
Hanya dialah istri Muhammad yang tidak cantik secara fisik. Namun, ia adalah yang paling cantik dalam karakter dan moral. Tetapi bagi sang nabi soal karakter, moralitas dan kecantikan jiwa sama sekali tidak disyaratkan. Dia malah mengancam akan menceraikannya, jika dia tidak setuju untuk memberikan jatah malamnya kepada Aisyah. Sawdah yang teramat malang…
8. Umm Habibah (Ramlah) bint Abu-Sufyan
Umm Habibah sebelumnya menikah dengan Ubayd-Allah bin Jahsh. Ubayd-Allah adalah anak dari bibi Muhammad sendiri, dan sekaligus adalah saudara kandung dari Zainab yang dikawini Muhammad seminggu sebelumnya, dan apa yang terjadi dalam acara perkawinan tersebut? Ternyata ia menantang Muhammad dengan berkata kepadanya: “Engkau bukanlah seorang nabi ataupun seorang Rasul Allah. Berhentilah mengatakan demikian. Saya mengimani Al-Masih karena Dia adalah Kebenaran, tetapi engkau adalah orang yang mementingkan diri sendiri.” Ubayd dipaksa untuk pergi dan Muhammad menikahi isterinya. Pada waktu itu, Umm Habibah adalah seorang wanita cantik, berusia dua puluh tiga tahun.
9. Maryam Qibtiyah (Maria, Kristen Mesir)
[41]
Kisah Muhammad dengan Maria orang Mesir agak berbeda. Amro bin Al-Aaz membawa sebuah surat dari Muhmmad kepada Al-Muqawqis, penguasa Mesir, dan memerintahkan untuk memeluk Islam. Mengetahui kelemahan Muhammad, agar tidak beresiko, dia memberikannya hadiah berupa dua orang saudara perempuannya yang sangat cantik. Jika bukan karena sebuah ayat Al-Quran yang turun sebelumnya yang melarang menikahi dua orang saudara perempuan, Muhammad mungkin akan melakukannya. Walaupun demikian, dia hampir melanggar ayat Allah itu, dan menikahi mereka berdua, jika bukan karena nasihat ayah mertuanya, Umar, yang menegurnya. Muhammad puas dengan Maria, mengunjunginya dan menghabiskan banyak waktu siang dan malam dengannya tanpa bosan-bosan.
Satu kali Maria ingin bertemu dengan Muhammad, jadi dia pergi untuk menemuinya di rumah istrinya, Hafsah, puteri dari Umar, yang sedang tidak ada di rumah pada waktu itu. Tetapi ketika Hafsah tiba-tiba pulang, dia menemukan Muhammad sedang berhubungan intim dengan Maria di tempat tidurnya sendiri! Dia berkata kepada Muhammad:
“Di dalam rumahku dan di atas tempat tidurku dan pada hari yang ditentukan untukku…” Nabi, yang menerima pewahyuan Allah berkata: “Rahasiakanlah dan jangan katakan siapapun. Jangan katakan kepada Aisyah (karena ia sangat takut terhadap Aisyah). Dia menambahkan: “Saya tidak akan menyentuh Maria lagi. Dan saya nyatakan kepadamu dan ayahmu serta ayah Aisyah, bahwa mereka akan memimpin bangsaku setelah aku. Saya tinggalkan hal itu kepada mereka”. Tetapi Hafsah memberitahu Aisyah dan Muhammad menceraikan Hafsah.
Ketika kabar mengenai perceraian tersebut terdengar oleh Umar, ayah Hafsah, dia menjadi sangat marah dan nyaris meninggalkan Islam. Ketika Muhammad mendengar reaksi Umar, dia mengambil kembali Hafsah dengan sebuah perintah dari “jibril”yang berkata kepadanya: “Hafsah akan menjadi istrimu pada hari pengangkatan.”
Dalam surat 66:4-5, Allahnya Muhammad memberitahu istri-istri sang nabi:
“Jika kalian berdua (merujuk kepada Aisyah dan Hafsah) bertobat kepadanya, hatimu memang demikian keinginannya; namun jika kalian saling mendukung melawannya, sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan jibril dan (semua) orang benar diantara mereka yang beriman dan lebih dari itu, para malaikat akan mendukungnya. Jikapun, bila diinginkannya sang nabi untuk menceraikan kamu semua, Allah akan memberikan kepadanya (Muhammad) sebagai gantinya, pendamping-pendamping yang lebih baik darimu.”
Tidakkah itu semua menunjukkan bahwa Muhammad memiliki tuhan yang mendukungnya secara kebablasan?
*[Coba bayangkan sejenak, untuk menyelesaikan love affair dan kecemburuan akibat ulah Muhammad sendiri, Allah sampai mengerahkan diriNya serta “jibril” dan seluruh umat beriman untuk membela sang nabi, dalam menentang dua wanita tak berdaya, Aisyah dan Hafsah, dengan memberikan ancaman dan ultimatum yang mematikan masa depan mereka.]
Allah berkata: “Jika kamu tidak berhenti menentang rasul Allah, Aku, Tuhannya, akan membuatnya menceraikanmu dan menikahi istri-istri lebih baik darimu.” Apakah Sang Pencipta dari alam semesta ini benar-benar tidak mempunyai pekerjaan yang lebih layak daripada mengurus langsung permasalahan yang amat sepele?
*[Dimanakah hikmat yang telah Allah berikan kepada setiap orang, apalagi kepada nabiNya, untuk private problem solving masing-masing?]
Saya yakini bahwa tuhan dengan kwalitas seperti itu pastilah bukan Tuhan, kecuali jebakan yang saling menipu daya dari atas ke bawah.
Terdapat banyak keganjilan mengenai kehidupan seorang nabi. Tetapi yang lebih ganjil lagi jika melihat umat Muslim yang membaca dan melihat realitas kehidupan Muhammad, namun tetap berjalan di belakang orang tersebut! Mengapa? Saya sudah ungkapkan mengenai “ketakutan terhadap yang menakutkan” yang menguasai dunia (pikiran) Islam. Dalam kenyataannya, banyak orang Muslim mengetahui betul sejarah hidup Muhammad; tetapi terperangkap dalam rethorika, intimidasi, teror dan ketakutan yang menguasai mereka. Kematian adalah hukuman bagi mereka yang meninggalkan Islam.
[46] Sejarah telah menceritakan kepada kita bahwa Abu Bakar memerintahkan sepuluh ribu orang dibunuh dalam tiga hari karena mereka memilih meninggalkan Islam.
10. Maimunah bint al-Haris
Maimunah mengakhiri bab (topik kawin-mawin) kita yang amat sangat melecehi dan menyakitkan wanita. Saya mengkisahkan kepada Anda, cerita dari Maimunah untuk memperjelas sebuah unsur penting: Muhammad melarang banyak hal untuk orang lain, tetapi dia mengizinkannya untuk dirinya sendiri. Kaum Muslim mengetahui bahwa selama musim haji (Al-Hajj) pernikahan dilarang46a, namun Muhammad justru menikahi Maimunah bint al-Haris pada saat musim haji. Maimunah sedang berada di atas untanya, tetapi ketika dia melihat sang nabi, dia menjatuhkan dirinya dihadapannya dan berkata kepadanya bahwa unta dan semua yang di atasnya adalah milik nabi. Muhammad masih sempat mengingatkan dia bahwa mereka tengah dalam musim haji, namun Maimunah menjawab bahwa dia tidak ingin menunggu.
Apakah mungkin untuk Muhammad untuk menahan diri hingga akhirnya musim haji? Pengalaman masa lalunya membuktikan dua hal: dia tidak dapat menolak kecantikan wanita dan sebuah solusi selalu tersedia untuknya. Sorenya pada hari yang sama, sang nabi berkata kepadanya, “Sebuah ayat diturunkan kepadaku”:
”… dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min … supaya tidak menjadi kesempitan bagimu…”
Sehingga Al-Abbas, paman nabi meresmikan, walau ia pernah mengomentari bahwa Muhammad sedang dalam pakaian Haji.
Terlepas bahwa Muhammad memiliki banyak istri, Rasul Allah ini lagi-lagi tidak dapat menunggu berakhirnya masa datang bulan istri-istrinya. Dia memasuki mereka pada saat mereka sedang datang bulan, walaupun hal demikian diharamkan dalam Surat Al-Baqara.
“Jika salah satu dari kita sedang datang bulan, Rasul Allah memerintahkannya untuk datang kepadanya (Muhammad) untuk berhubungan intim, pada saat dia (istrinya) sedang berada dalam puncak datang bulannya.”
Maimunah berkata: ”Rasul Allah biasa melakukan hubungan intim denganku ketika aku sedang datang bulan.” Umm Salamah mengatakan hal yang sama.
Bagaimana bisa sang nabi itu dapat melakukan semua hal yang terlarang dalam agama Islam yang disiarkannya? Sangat jelas, kehidupan, tindakan dan perilakunya tidak pernah sesuai dengan model yang Tuhan perintahkan dalam ajaran-ajaran suciNya. Bagaimana mungkin para ulama berseru agar umat Muslim meneladani hidup sang Nabi?! Semoga umat Muslim dapat menggunakan kekuatan penalaran mereka untuk keluar dari bondage yang menjeratnya!
erzal 8:13 am on 12/09/2009 Permalink |
Tulisan mereka itu tulisan sampah yg bertujuan menjatuhkan citra Nabi Muhammad,…tentang istri2 nabi bisa dilihat disini :
dan disini : https://erzal.wordpress.com/2009/09/12/perkawinan-rasulullah/
mari kita kaum muslimin sama2 membela Islam dan Nabi Muhammad dimana dan kapanpun kita berada….
hasan tiro 2:58 pm on 20/08/2012 Permalink |
menurut gw itu benar kok mas, buat yang mau referensi dan sumbernya bisa baca ttg muhammad, berikut :
1. The Truth about Muhammad (Penulis Robert Spencer)
2. Living by the Point of My Spear (Penulis Zaki Ameen)
3. Setelah membaca ada baiknya anda menyiapkan Hadist dan semua referensi yang diperlukan untuk melihat buktinya yang well-documented.
selamat mengembara kebenaran.
SERBUIFF 11:00 pm on 20/08/2012 Permalink |
pake jurus paulus,…..pake nama hasan tiro,..seolah2 islam ….lu mah kristen bung….dasar gerombolan pendusta…
wikki 5:38 am on 21/08/2012 Permalink |
Muhammad meninggal ketika berumur 63 tahun. Dengan demikian ia tentu telah mengawini Aisha ketika berumur 51 tahun dan menghampirinya tatkala berumur 54 tahun (karena mereka hidup bersama serumah selama 9 tahun).pada saat muhammad meninggal aisyah berumur 18 thn
erzal 7:18 am on 19/09/2009 Permalink |
Age of Aishah
Rho-V 8:53 am on 22/09/2010 Permalink |
kesucian Nabi Muhammad SAW tidak akan ternodai oleh orang2 yang memfitnah beliau tidak ada yg tahu alasan Nabi menikahi istrinya kecuali Allah dan Rasul sendiri yang kita bisa ambil adalah hikmah dari pernikahan tersebut hikmah dari pernikahan beliau dg Khadijah kuat dan bertahannya dakwah islam dimasa awal dari Aisyah diriwayatkan banyak hadist shahih yang menjadi hujah & sumber hukum islam dari Zainab berbedanya hukum syariat tentang anak kandung & angkat & bnyk hkmh lainya yg tdk bisa saya sebutkan
imanuddin87 12:28 pm on 23/09/2010 Permalink |
Orang yang mengatakan bahwa poligami itu sama dengan selingkuh, maka secara tidak langsung ia menuduh bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam itu juga selingkuh, bahkan para nabi dan rasul juga selingkuh. Nabi-nabi yang diakui oleh umat Yahudi dan Kristiani, dan termaktub di dalam kitab suci mereka –walau telah ditahrif / diubah-ubah- juga melakukan poligami. Nabi Ibrahim (Abraham) ’alaihi Salam, memiliki beberapa orang isteri, diantaranya adalah : Sarah (Sara) yang melahirkan Ishaq (Isaac) –kakek buyut bangsa Israil- dan Hajar (Hagar) yang melahirkan Ismail (Ishmael) –kakek buyut bangsa Arab- ’alaihimus Salam.
Nabi Ya’qub (Jacob) ’alaihi Salam dikisahkan juga memiliki dua orang isteri kakak adik puteri dari saudara ibunya, yang bernama Lia (Liya) dan Rahil (Rachel) [catatan : mengumpulkan dua orang saudara (adik kakak) dalam satu pernikahan dahulu diperbolehkan lalu dilarang pada zaman Rasulullah oleh al-Qur’an]. Demikian pula dengan Nabi Dawud (David) dan puteranya Nabi Sulaiman (Solomon) ’alaihima Salam yang memiliki banyak isteri dan budak wanita.
Lantas, apakah mereka semua ini dikatakan telah melakukan selingkuh, manusia yang ’gila wanita’, hipersex, atau tuduhan-tuduhan keji lainnya? Na’udzu billahi min dzaalik. Semua umat beragama pasti faham dan yakin, bahwa para Nabi itu ma’shum (infallible/terjaga dari dosa) dan menuduh keburukan pada salah satu Nabi berimplikasi pada kekafiran… Tidakkah mereka juga mengetahui bahwa Nabi Dawud itu adalah seorang Nabi yang paling banyak beribadah kepada Alloh, bahkan beliau adalah orang yang paling sering melaksanakan puasa. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari dan sunnah ini pun akhirnya dikenal di dalam Islam dengan mana Puasa Dawud. Apakah mungkin orang yang sibuk dengan ibadah dan banyak puasanya dikatakan sebagai manusia ’haus seks’ –wal’iyadzubillah-? Bahkan bisa jadi orang-orang yang menghujat itulah yang sebenarnya haus seks sehingga ia menuduh untuk menyembunyikan sifat buruknya ini.
imanuddin87 12:33 pm on 23/09/2010 Permalink |
Tidak ada manusia terbaik di muka bumi ini selain Rasullullah dan tidak ada manusia teradil di muka bumi ini selain Nabi yang mulia ‘alaihi ash-Sholatu was Salam. Beliau adalah qudwah (tauladan) bagi umat manusia yang tiada sesuatu keluar dari lisan dan perilaku beliau melainkan adalah wahyu yang diwahyukan kepada beliau.
Kaum kuffar orientalis dan pembebeknya dari kalangan liberalis sosialis feminis mencela beliau dengan celaan yang jelek dan buruk. Mereka mencela Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagai manusia biasa yang memiliki syahwat besar dan kelainan orientasi seksual –ma’adzallah-; semua celaan dan hujatan keji ini berangkat dari hasad, kedengkian dan kebodohan mereka terhadap figur yang mulia ini dan sejarah beliau.
Bagi siapa yang menelaah sejarah dan perikehidupan beliau, niscaya akan mendapatkan bahwa apa yang beliau lakukan adalah bebas dari tuduhan-tuduhan kaum kuffar yang dengki itu, sebagaimana bebasnya darah serigala dari baju Yusuf ‘alaihis Salam. Bagi mereka yang menggunakan kaca mata obyektivitas dan keadilan, niscaya mereka akan mendapatkan bahwa pernikahan Nabi itu adalah pernikahan yang berangkat dari upaya untuk ta`liful Qulub (melunakkan hati), tatyibun Nufus (mengobati jiwa), tamhidul ardh lid da’wah (membuka jalan dakwah), munashoroh (menolong/membantu) dan yang terakhir adalah tathbiqu haqqohu ath-thabi’i (memenuhi hak beliau sebagai tabiat/fithrah manusia), karena beliau adalah manusia biasa dan bukanlah seorang malaikat yang tidak berhasrat.
Kami telah menyebutkan di awal pembahasan bahwa menikah merupakan sunnah para Nabi dan tabiat mendasar manusia. Bahkan Isa (Jesus) dan Yahya (John The Baptist) yang diklaim kaum Kristiani tidak menikah, tetap tidak menunjukkan akan adanya larangan menikah dan poligami baik di dalam empat injil (gospels) maupun di dalam bible, dan mereka pun tidak akan mampu menunjukkannya, walau menurut keyakinan kami kitab injil tersebut telah ditahrif (diubah-ubah).
Kita lihat, isteri pertama Rasulullah adalah Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, seorang janda Abu Hala Hind bin Nabbasy at-Tamimi, lalu ketika Abu Hala meninggal, Sayyidah Khadijah menikah dengan ‘Atiq bin ‘Abid al-Makhzumi. Rasulullah menikahi beliau pada usia 25 tahun sedangkan Sayyidah Khadijah berusia 40 tahun. Perhatikanlah wahai kaum yang berakal, Rasulullah selama 25 tahun masa lajangnya, yang dikenal dengan orang yang jujur, amanah dan menjaga diri beliau dari keburukan, tidak pernah berhubungan dengan wanita dan wanita pertama yang beliau nikahi adalah Khadijah. Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah
seorang yang gila wanita dan syahwatnya besar –ma’adzallah, semoga Alloh melaknat kaum yang berkata demikian- niscaya beliau akan menikahi wanita-wanita pada usia remaja dimana kaumnya saat itu telah terbiasa dengan pernikahan poligami tidak terbatas dan menikah pada usia muda. Perkawinan pertama Rasulullah dengan Sayyidah Khadijah berlangsung hingga tahun sepuluh kenabian atau tiga tahun menjelang hijrah.
Sepeninggal Khadijah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ditawari oleh Khaulah binti Hakim untuk menikahi salah satu dari dua orang wanita, satu perawan (Aisyah), dan satu lagi janda (Saudah), dan lihatlah!!! Rasulullah lebih memilih menikahi Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anhu, seorang janda dari Kasron bin ‘Amru bin ‘Abdi asy-Syams yang merupakan sepupunya sendiri. Sayyidah Saudah ini berbadan gemuk dan berkulit hitam –Allohumma, kami tidak bermaksud sedikitpun mencela penampilan fisik Sayyidah Saudah, dimana beliau adalah diantara wanita terbaik dan ahli surga, ibu kami kaum mukminin-. Rasulullah mau menikahi Sayyidah Saudah yang jauh lebih tua dan seorang janda yang memiliki anak banyak. Apabila Rasulullah menikahi wanita hanya untuk mengumbar syahwat, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak akan menikahi Sayyidah Saudah radhiyallahu ‘anha.
Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar adalah isteri ketiga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Pinangan Rasulullah atas Aisyah telah menyelamatkan Abu Bakar dari dilema antara menikahkan putrinya dengan seorang kafir atau mengingkari janjinya kepada Muth’im bin ‘Adi orang tua dari pemuda kafir tersebut yang telah dijanjikan untuk menikahi putrinya. Sungguh beruntung bahwa yang terjadi justru istri Muth’im bin ‘Adi tidak menghendaki anaknya menikahi Aisyah karena tidak menginginkan anaknya masuk agama baru yang dibawa Nabi, maka pinangan Rasulullah pun diterima. Hal itu terjadi pada tahun yang sama -sepuluh kenabian-, namun baru berkumpul pada saat di Madinah tiga tahun kemudian-. Sejarah mencatat perbedaan pendapat tahun berapa Sayyidah ‘Aisyah dinikahi dan digauli, mulai usia 9-15 tahun. Namun suatu hal yang perlu dicatat, pernikahan dini usia muda ketika wanita telah mencapai baligh, bukanlah suatu penyakit pedofili atau kelainan seksual –ma’adzalloh-, namun ini kembali ke kultur adat dan budaya setempat. Kaum Quraisy telah terbiasa menikahkan puteri mereka yang berusia belia, terutama kepada orang yang mereka hormati.
Sensitifitas modern kadang merasa risih dengan hal ini, tapi hal ini terjadi pada satu komunitas yang memandang usia 9-15 th, adalah usia terendah bagi seorang anak perempuan untuk dikawini, itupun 14 abad yang lalu. Hingga akhir-akhir inipun beberapa komunitas masih memberlakukan adat pernikahan dini. Namun demikian pernikahan anak usia dini adalah lebih baik ketimbang merebaknya pergaulan bebas yang membuat anak usia tersebut sudah tidak ada yang perawan, walaupun secara resmi mereka menikah pada usia 28 ke atas. Toh kenyataannya usia 28 sebagai patokan perkawinan di beberapa negara maju hanya berdasarkan faktor psikologis dan masalah karir serta emansipasi, namun diluar formalitas itu kebejatan seksual merebak dimana-mana pada tingkat yang paling vulgar. Perbandingannya jika ada komunitas (manapun) yang mengawinkan putrinya pada usia dini di Amerika anak usia yang sama sudah tidak perawan lagi. Perbedaan dalam agama, yang satu formal, yang satu lagi zina. Perzinaan sejak dini akan dibawa hingga masa perkawinan, maka akibatnya penyelewengan suami atau istri adalah hal biasa, dan ajaran Yesus yang tidak mengizinkan perceraian menjadi lelucon belaka. [Irene Handono, Menjawab Buku “The Islamic Invasion”, versi CHM download dari http://www.pakdenono.com]
Isteri keempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah Hafshah binti ‘Umar bin Khaththab, janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi yang masuk Islam dan berhijrah ke Madinah bersamaan dengan Sayyidah Hafshoh. Beliau radhiyallahu ‘anhu syahid di perang Uhud. Ketika selesai masa ‘iddah-nya, ‘Umar menawarkan puterinya kepada Sahabat agung Abu Bakr namun Abu Bakr diam tidak meresponnya, sehingga marahlah ‘Umar. Lalu beliau datang ke Sahabat agung ‘Utsman bin ‘Affan dan menawarkan puterinya kepadanya, namun ‘Utsman tidak menyetujuinya sehingga murkalah ‘Umar. Melihat hal ini, Abu Bakr mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan mengadu kepada beliau, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri yang melamar Hafshoh dan menikahinya sebagai penghormatan dan pemuliaan kepada ‘Umar sebagaimana Rasulullah menikahi ‘Aisyah sebagai penghormatan kepada Abu Bakr. Setelah itu Abu Bakr pun berkata kepada ‘Umar bahwa beliau diam tidak mau menjawab permintaan ‘Umar karena Abu Bakr pernah mendengar bahwa Rasulullah menyebut-nyebutnya…
Demikianlah pernikahan nabi dengan para isteri sahabat-sahabat yang mulia ini radhaiyallahu ‘anhum ajma’in, dan beliau tidaklah menikahi mereka melainkan diantaranya adalah sebagai penghormatan dan pemuliaan kepada Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Siapakah gerangan yang tidak menginginkan puterinya dinikahi oleh manusia terbaik dan teragung sepanjang masa? Siapakah gerangan yang tidak ingin dinikahi oleh manusia terbaik dan teragung sepanjang zaman?
Sayyidah Zainab binti Khuzaimah yang digelari Ummu Masakin (Ibunya kaum miskin) radhiyallahu ‘anhu adalah isteri kelima Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Beliau adalah janda dari Thufail bin al-Harits bin ‘Abdul Muthollib yang menceraikannya, lalu dinikahi oleh sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ‘Ubaidah bin al-Harits yang juga saudara mantan suaminya, dan beliau syahid pada perang Badar meninggalkan seorang isteri yang menjadi janda tidak ada lagi yang melindunginya. Maha Besar Alloh, apakah menjaga dan menikahi janda sahabat dan sepupu Nabi yang syahid merupakan suatu bentuk kelainan seksual dan gila wanita?!! Apakah suatu bentuk mengikat jalinan silaturrahim kepada keluarga sahabat dan syahid dengan memberikan hak-hak pemeliharaan dan perlindungan atasnya adalah suatu keburukan?!! Dimanakah gerangan akal kaum yang berakal?!! Allohumma, Sayyidah Zainab pun meninggal beberapa bulan setelah pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Semoga Alloh meridhainya dan menjadikannya bidadari surga.
Isteri berikut Nabi yang mulia adalah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhu yang nama asli beliau adalah Hindun bintu Suhail bin al-Mughiroh yang seorang janda dari Abu Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdul Asad al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu yang syahid di dalam peperangan Sariyah Qothn setelah sebelum sebelumnya beliau terluka para dalam peperangan uhud. Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu meninggalkan isteri dan anak yang banyak. Setelah masa iddah berlalu, Sayyidah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dipinang oleh Abu Bakr dan ‘Umar namun beliau menolaknya. Demikian pula ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meminangnya, beliau juga menolak. Alasan penolakan beliau adalah karena beliau adalah wanita yang sudah tua, banyak anak dan pencemburu. Mendengar ini, Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun menjawab :
أما ما ذكرت من غيرتك فيذهبها الله .. وأما ما ذكرت من سنك فأنا أكبر منك سنا … وأما ما ذكرت من أيتامك فعلى الله وعلى رسوله
“Adapun mengenai sifat pencemburumu semoga Alloh menghilangkannya, mengenai umurmu yang sudah tua maka aku sendiri lebih tua darimua, dan adapun mengenai anak-anakmu yang yatim maka itu tanggungan Alloh dan Rasul-Nya.”
Dalam pembentukan komunitas baru yang menjadikan keluarga dan perkawinan sebagai salah satu instrumennya, maka perhatian terhadap janda dan anak-anak yang ditinggal ayah mereka yang syahid akibat peperangan adalah suatu yang sudah semestinya, apalagi kesempatan mendapatkan kebutuhan sehari-hari di tanah yang gersang tidaklah semudah yang dibayangkan, tidak heran jika ada yang menjual manusia dipasar budak demi mencukupi kehidupan sehari-hari. Langkah Rasulullah yang juga diikuti para sahabatnya untuk memperhatikan para janda dan anak-anaknya, tampak dalam beberapa perkawinan yang kita sebutkan di atas. [Irene Handono, op.cit]
Adapun mengenai isteri beliau, Ummu Habibah Romlah bintu Abi Sufyan bin Harb radhiyallahu ‘anha, ada sebuah kisah yang perlu dijelaskan tentang latar belakang pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Ummu Habibah adalah isteri ‘Ubaidillah bin Jahsyi bin Khuzaimah, yang turut berhijrah dengan isterinya ke Habasyah (Abesinia) pada hijrah kedua. Namun terjadi fitnah dimana ‘Ubaidillah suami Ummu Habibah murtad keluar dari Islam –wal’iyadzubillah- sedangkan Ummu Habibah tetap kokoh di atas keislamannya. Beliau (Ummu Habibah) tidak dapat kembali ke Makkah dikarenakan ayahanda beliau, Abu Sufyan adalah termasuk pembesar Quraisy yang senantiasa berupaya mencederai Nabi dan para sahabat beliau. Seandainya Ummu Habibah kembali ke Makkah, akan membahayakan agama dan keadaannya. Oleh karena itu haruslah memuliakan dan membebaskan Ummu Habibah dari suaminya yang telah murtad kemudian mati di Habasyah.
Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengirim surat kepada Najasyi (Negus) Raja Habasyah yang telah masuk Islam, memintanya untuk menjaga Ummu Habibah. Setelah hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ke Madinah, Najasyi mengirimkan Ummu Habibah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan penuh penghormatan. Ketika Abu Sufyan mendengar bahwa puterinya dinikahi oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam, begitu riang dan gembiranya dirinya dan mengakui bahwa Muhammad adalah menantu terbaiknya yang pernah ia miliki, walaupun ia memusuhi Muhammad dan agamanya… [Thobaqot Ibnu Sa’d, juz VIII, hal. 109 dst.; melalui Zaujaat Laa ‘Ayisqoot, op.cit.].
Wahai kaum yang berakal, apakah menyelamatkan seorang wanita yang tengah bertahan mempertahankan aqidahnya dengan menikahinya, menjaganya dan melindunginya dari suaminya yang murtad dan bapaknya yang masih musyrik saat itu merupakan tindakan gila wanita dan bersyahwat besar??!!! Na’udzubillah!! Pergunakanlah akal anda wahai kaum…
Pada tahun ke-5 H. Rasulullah menikahi, Zainab binti Jahsy, setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah yang diangkat anak oleh Rasulullah pada masa sebelum kenabian, dan dinikahkan dengan kerabat Rasulullah Zainab yang tentu saja memiliki nasab tinggi di kalangan Quraisy [dari pihak ibu Zainab adalah sepupuh nabi atau cucu Abdul Mutholib]. Pada masa itu masalah nasab (keturunan) sangatlah diperhatikan oleh masyarakat Arab. Pencapaian ketinggian derajat nasab seringkali diupayakan melalui perkawinan, maka tidak heran jika satu orang bisa memiliki istri banyak, bukan sekedar karena mereka suka, tapi para istri memiliki kepentingan sendiri dengan pernikahan tersebut, termasuk untuk masalah nasab, apalagi bahwa penghormatan kepada wanita pada masa itu amatlah rendah. Fenomena tersebut tldaklah aneh saat itu, karena bangsa lain juga memiliki adat yang tidak jauh berbeda. Bahkan hingga saat ini masalah keturunan sangat diperhatikan, terlepas dari pandangan yang melatar-belakangnya: apakah karena status sosial, kekayaan, atau kebangsawanan; di kalangan muslim sebagian memandang nasab berdasarkan kesalehan beragama.
Kembali pada masalah perkawinan Sayyidah Zainab radhiyallahu ‘anha, Rasulullah yang ingin merombak adat tersebut, demi tujuan pokok menyamakan umat manusia di hadapan Allah (tauhid), mencoba mempertemukan antara bangsawan dan mantan budak (walaupun sudah diangkat anak), rupanya hal itu belum mampu meruntuhkan rasa kebangsawanan Zainab hingga perkawinan tersebut gagal.
Namun demikian tanggung jawab Rasulullah menghendaki beliau untuk menikahinya. Lain dari pada itu bahwa pernikahan tersebut atas perintah langsung dari Allah, sebab sebelumnya setiap kali Zaid mengadu kepada Rasulullah atas sikap Zainab, Rasulullah menasehatinya agar mempertahankan perkawinannya serta takut kepada Allah. Dengan begitu, tidak hanya masalah tanggung jawab Rasulullah mengembalikan Zainab yang merasa martabatnya telah terendahkan, namun menjadi panutan hukum bahwa anak angkat tidaklah sama dengan anak kandung, maka istri yang telah diceraikannya boleh dinikahi bapak angkatnya. Namun sebaliknya wanita yang diceraikan oleh seseorang tidak boleh dikawini anaknya. [Irene Handono, op.cit.]
Menurut Ibnu Ishaq, seorang dari sejarawan awal Muslim, Pada tahun ke 6 H. terjadi peperangan antara kaum Muslim dengan kaun Yahudi Bani Mushthaliq. Akibat peperangan ini, sebagaimana hukum peperangan yang berlaku saat itu, mereka yang kalah menjadi tawanan dan budak bagi pemenang. Diantara mereka yang tertawan adalah Juwairiyah binti al-Harits, seorang putri dari al-Harits bin Abi Dlorror pemimpin Bani Mushtholiq. Sebagai putri seorang terpandang Juwairiyah tidak rela dirinya dijadikan budak, maka ia berniat menebus kepada Tsabit bin Qois yang kebetulan saat pembagian harta rampasan mendapat dirinya. Karena tidak memiliki harta lagi, maka ia pergi menghadap Rasulullah agar dibantu melunasi tebusan tersebut. Rasulullah yang telah mengajarkan kepada para sahabatnya agar mendidik budak dan kalau bisa memerdekakan dan menikahinya (lihat bahasan tentang perbudakan), memberikan contoh dengan memerdekakan Juwairiyah dan menawarkan pinangannya, ternyata Juwairiyah mengiyakan. Dengan persetujuan Juwairiyah ini maka Rasulullah menikahinya, dan dengan pernikahan tersebut para sahabat mengembalikan harta rampasan perang, sekaligus memerdekakan ± 100 keluarga. Ibnu Ishaq mengomentari: “Saya tidak pernah melihat keberkahan seseorang atas kaumnya melebihi Juwairiyah”. [Ibid]
Pada tahun ketujuh H, terjadi perang Khaibar. Pada saat penyerbuan ke benteng al-Qomush milik bani Nadlir, pemimpin benteng ini yaitu Kinanah bin Rabi’ suami Shofiyah binti Hay terbunuh. Dan istrinya juga istri-istri bani Nadlir yang lain menjadi tawanan. Dan seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap bani Mushtholiq, maka Rasulullah menikahi Shofiyah. Menurut keterangan Shofiyah sendiri, yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq bahwa sebelum kejadian ini ia telah bermimpi melihat bulan jatuh di kamarnya. Ketika mimpi tersebut diceritakan kepada suaminya, ia malah mendapat tamparan dan dampratan, “Itu berarti engkau menginginkan raja Hijaz Muhammad”, kata suaminya. Tentang apakah harta dikembalikan dan tawanan dibebaskan dengan perkawinan ini, tidak kami dapatkan keterangan yang jelas, namun diceritakan bahwa mahar perkawinan tersebut adalah pembebasan Shofiyyah. Walaupun masih muda, usia 17 th, tapi sebelumnya Shofiyah telah menikah dua kali, dengan Salam bin Misykarn kemudian dengan Kinanah bin Rabi’. [ibid].
Dari dua perkawinan di atas, dapat kita lihat bahwa upaya pembebasan perbudakan -akibat peperangan- lebih menonjol ketimbang masalah lainnya. Di sisi lain dua pernikahan ini semakin mengokohkan kedudukan Muslim dalam rangka pembentukan komunitas bersama yang tidak saling bermusuhan. Selanjutnya, bahwa melihat usia Shofiyah yang masih 17 th. dan sudah menikah dua kali, setidaknya menunjukkan bahwa selain masyarakat Arab, komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar juga memiliki adat mengawinkan seorang wanita sejak masih dini. [ibid].
Pada tahun ketujuh Hijriah ini juga, utusan Rasulullah ke Iskandariah-Mesir telah datang dengan membawa hadiah dua orang budak dari Mesir, yang pertama bernama Maria binti Syam’un dan Sirin. Yang pertama dinikahi oleh Rasulullah dan yang kedua diberikan kepada Hassan bin Tsabit. Seperti yang telah kita bahas sebelum ini, bahwa Rasulullah yang mengajarkan agar para budak dididik kemudian dibebaskan dan dinikahi, dicontohkan sekali lagi oleh Rasulullah. Maria alQibthiah yang menjadi budak di Iskandariah, kini menjadi istri seorang pemimpin besar di tanah Hijaz. Ia bahkan telah memberikan keturunan yang diberi nama Rasulullah seperti nama kakeknya “Ibrahim”, walaupun tidak berusia panjang. Rasulullah menyatakan : “Ia telah dimerdekakan oleh anaknya”. [ibid].
Para istri nabi -termasuk yang sebelumnya menjadi budak-, mendapat penghormatan yang tinggi dikalangan para sahabat dan umat Muslim, maka tidak mengherankan jika banyak wanita yang ingin dinikahi oleh nabi. Salah satu dari mereka adalah Maimunah yang dalam al-Qur’an disebut “Seorang wanita mu’min yang menyerahkan dirinya kepada nabi”. Penawaran itu dilakukan oleh Maimunah melalui saudaranya Ummul Fadl, kemudian Ummul Fadl menyerahkan masalah ini kepada suaminya yaitu Abbas bin Abdil Muththolib (paman nabi). Maka `Abbas menikahkan Maimunah kepada Rasulullah dan memberikan mahar kepada Maimunah atas nama Nabi sebesar 400 dirham. Pernikahan ini terjadi pada akhir tahun ke 7 H. tepatnya pada bulan Dzul-Qo’dah. Selain Maimunah masih banyak wanita lain yang ingin dinikahi oleh Nabi, tapi beliau menolak. Jika dilihat dari seluruh pernikahan nabi seperti yang telah kita bahas, maka penolakan nabi tersebut agaknya lebih dilandaskan pada sisi kemanfaatan dan kemaslahatan, baik bagi umat maupun bagi wanita itu sendiri. Hal ini sekaligus menampik tuduhan bahwa perkawinan Rasulullah dilandaskan pada kepentingan pemuasan seksual. [ibid].
Fahamkah kaum penghujat tersebut dengan sejarah Nabi ini?!! Ataukah mereka hanya mengandalkan subyektivitas yang berangkat dari hasad, dengki dan kebodohan belaka?!! Fa’tabiru Ya Ulil Albaab.
imanuddin87 12:46 pm on 23/09/2010 Permalink |
Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah thd orang tua dan suami tua tersebut.
Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur dibawah 18 tahun , dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.
Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya thd Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya.
Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tsb sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisyanm ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.
BUKTI #1: PENGUJIAN THD SUMBER
Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya,Yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.
Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.
Tehzibu’l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : ” Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq ” (Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibn Hajar Al-`asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).
Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ” Saya pernah dikasih tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tehzi’b u’l-tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).
Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).
KESIMPULAN: berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindha ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.
KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
pra-610 M: Jahiliya (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama AbuBakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah
BUKTI #2: MEMINANG
Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.
Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya ” (Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).
Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M).
Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.
KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.
BUKTI # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
Menurut Ibn Hajar, “Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah ” (Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).
Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.
KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.
BUKTI #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’
Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992).
Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).
Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisuh usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).
Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.
Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.
Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?
kesimpulan: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.
BUKTI #5: Perang BADAR dan UHUD
Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”
Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud and Badr.
Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”
Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 years akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perangm, dan (b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud
KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.
BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).
Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih
suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karean itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.
Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.
BUKTI #7: Terminologi bahasa Arab
Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepada nya ttg pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya ttg identitas gadis tsb (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yangmasih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”.
Oleh karean itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).
Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karean itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.
BUKTI #8. Text Qur’an
Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat , yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid doaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri. Ayat tsb mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)
Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.
Disini, ayat Qur’an menyatakan ttg butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.
Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tsb secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karean itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa AbuBakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.
Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,” berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar. Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?
AbuBakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karean itu menentang hukum-hukum Quran.
Kesimpulan: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.
BUKTI #9: Ijin dalam pernikahan
Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.
Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
Adalah tidak terbayangkan bahwa AbuBakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras ttg persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.
Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.
kesimpulan: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami ttg klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karean itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.
SUMMARY:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernha keberatan dengan pernikahan seperti ini, karean ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.
Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di
Iraq adalah tidak reliable. Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karean adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.
Oleh karean itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.
chachachichi 7:29 am on 25/05/2011 Permalink |
assalamu’alaikum,langsung saja,saya hanya ingin tau hadits dan kitab yang menjelaskan nabi SAW MENIKAHI SITI AISYAH waktu umur 7thn itu,atas kebaikannya saya ucapkan terima kasih banyak.
agama saya islam tulen mulai dari kakek buyut saya.m.mughits.
Hampir mualaf 9:52 pm on 16/07/2011 Permalink |
Banyak Hadis yg menyatakan itu.Artinya berwibawa dlm nuansa islam,Sumbernya literaturnya hadis2 islam.Yang pasti bukan Yahudi dan AS yg mengatakan itu.
Webworker 7:34 am on 04/02/2012 Permalink |
I know this site offers quality based posts and other data, is there any other web site which gives such data in quality?
CIKK 4:04 am on 10/02/2012 Permalink |
TUHAN(HANTU) SUKA KEMENYAN DI AL KITAB.
this is it ramuan ala tuhan(hantu) di al kitab
mana bener dan mana mulia, pikir bagi yang berotak.
Al Quran
22:37. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan)
Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
KITA BACA BAIK2 APA KATA AL KITAB DIBAWAH INI
ayat ini menyebabkan orang2 kembali ke islam
(1) Apabila seseorang hendak mempersembahkan persembahan berupa korban sajian kepada TUHAN, hendaklah persembahannya itu tepung yang terbaik dan ia harus menuangkan minyak serta membubuhkan kemenyan ke atasnya
apa korban sajiannya(untuk tuhan/hantu)?
(3) Kemudian dari korban keselamatan itu ia harus mempersembahkan lemak yang menyelubungi isi perut, dan segala lemak yang melekat pada isi perut itu sebagai korban api-apian bagi TUHAN,
14) Kemudian dari kambing itu ia harus mempersembahkan lemak yang menyelubungi isi perut, dan segala lemak yang melekat pada isi perut itu sebagai persembahannya berupa korban api-apian bagi TUHAN
16) Imam harus membakar semuanya itu di atas mezbah sebagai santapan berupa korban api-apian menjadi bau yang menyenangkan. Segala lemak adalah kepunyaan TUHAN
xi xi xi santapan tuhan, anda mau coba bung fajar???
muaaal ngga???lemak isi perut dibakar pake menyan???
this is it ramuan ala tuhan(hantu) di al kitab
jadi bung masihkan anda nongkrong di kristen katolik yahudi???kalau sudah begini, kembalilah ke islam ajarannya mulia.
CIKK Says:
February 9, 2012 at 9:24 am
KALAU MANUSIA BERAKAL JELAS PILIH ISLAM KARENA ALLAH MEMANDANG HATI.
TERBUKTI AYAT DIATAS MENUNJUKKAN BAHWA KORBAN DINILAI ATAS DASAR TAQWA.
DI AL KITAB TUHAN KOK IKUT MAKAN.ARTINYA YANG MAKAN ITU MAKHUK. PAKE PILIH2 LAGI.
HUA HA HA HA..KALO UMATNYA BILANG , BODOH BENER TUHAN NIH, AMBIL DAH LEMAK TUH SEKALIAN IIIIISI PERUTNYA, YANG PENTING GUE SIKAT PAHA.HE HE HE.
nonon Says:
February 9, 2012 at 9:26 am
metul bung cikk, makhluk tidak layak dijadikan tuhan dan disembah, kalau yang kayak gini nih suka menyan, pasti yang disembah tuh tuyul. xi xi xi al kitab nyuruh nyembah tuyul.
ISLAM JALAN YANG LURUS.KEMBALI KE ISLAM JANGAN MATI SEBELUM MENJADI ISLAM
wikki 5:56 am on 21/08/2012 Permalink |
Bisa dilihat bukan, bagaimana Muslim berdoa kepada ZAT, bukan Roh yg hidup, melainkan benda mati (kabaah–>hajar aswad)
QS 10:3 Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan
memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya. (Zat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu,
maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? llah = Benda MatI
Warawiy’an Rasullullah shallahu alaihi wasalam anhu qala : ( al’hajar yaminullah fi ?ardhi famin masihah masaha yad’ullah ) (10).
:= Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dan ia berkata: ( Hajar aswad adalah tangan kanan Allah dibumi, sungguh tanganNya yang memberikan pengampunan ) (10
Waqala Rasullullah (shallahu alaihi ): (alhajar yaminullah fi ?ardhi yasafaha bihi ?abda’ha) (11).?
:= Dan sabda Rasulullah SAW: ( Hajar aswad adalah tangan kanan Allah di bumi, berjabat tangan dengan hamba-hamba-Nya) (11).
:Waqala Rasullullah (shallahu alaihi ): (alhajar yaminullah fi ?ardhi famin masaha yad’ullah al hajar faqad bai’atullah in la yasyah) (12).?
:= Dan sabda Rasulullah SAW: ( Hajar aswad adalah tangan kanan Allah di bumi, sungguh di atas tangan-Nya sang Hajar aswad, berjanji setialah kepada Allah dan janganlah tidak mematuhi-Nya) (12).
Nabi Muhammad SAW nan agung berkata, “Lakukan Tawaf di Ka’bah dan gosokkan tanganmu di ujung Ka’bah di mana terdapat Hajr Aswad – Batu Hitam, karena INILAH TANGAN KANAN ALLAH di bumiNya yang digunakanNya untuk berjabatan tangan dengan ciptaanNya
Sabda-sabda yang mengatakan ”Hajar aswad adalah tangan Allah di bumi” membuat umat mencium Hajar Aswad sebagai tangan Allah, sebagaimana manusia mencium tangan manusia lain yang memiliki kedudukan lebih tinggi.
: 😀 i-sunnah-kan dalam kitab “Nubdzah min Asraril Hajj”, bahwa saat mencium, dan sejajar Hajar Aswad, doa yang di panjatkan adalah untuk Allah swt semata.
: 😀 OA SAAT MENCIUM HAJAR ASWAD
:Bismillâhir Rahmânir Rahîm
:Allâhumma shalli ‘alâ Muhammadin wa âli Muhammad
:
:Allâhumma amânatî addaytuhâ, wamitsâqî ta’ahadtuhu litasyhadalî bilmuwâfâti. Allâhumma tashdîqan bikitâbika wa ’alâ sunnati nabiyyika shalawâtka ‘alayhi wa âlihi. Asyhadu allâilâha illallâhu wahdahu lâ syarîkalah, wa anna Muham-madan ‘abduhu warasûluh, amantu billâhi wa kafartu biljibti waththâghûti wallâta wal ’uzzâ wa `ibâdatisy syaythâni wa `ibâdati kulli niddin yud’â min dûnillâh.
:
:Allâhumma ilayka basathtu yadî, wa fimâ ‘indaka ‘azhumat raghbatî, faqbal subhatî waghfirlî warhamnî. Allâhumma innî a’ûdzubika minal kufri walfaqri wa mawâqifil khizyi fiddun-yâ wal âkhirah.
:
:= Dengan asma AllahYang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
:Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya
:
:Ya Allah, telah kutunaikan amanatku dan kupenuhi janjiku agar Kau saksikan aku sebagai orang yang memenuhi janji. Ya Allah, aku membenarkan kitab-Mu dan sunnah Nabi-Mu (semoga shalawat-Mu tercurahkan padanya dan keluarganya). Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, Tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Mu dan rasul-Mu. Aku mempercayai Allah, dan mengingkari berhala dan thaghut, Lata dan ‘Uzza, dan mengingkari segala bentuk pengabdian kepada setan dan semua sesembahan selain Allah.
:
:Ya Allah, kepada-Mu kuulurkan tanganku, dan pada apa yang ada di sisi-Mu kuarahkan keinginanku yang besar. Ya Allah, terimalah tasbihku, ampuni aku dan sayangi daku. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran, dan dari segala perbuatan yang hina di dunia dan akhirat.
::D OA SAAT SEJAJAR DENGAN HAJAR ASWAD
:Bismillâhir Rahmânir Rahîm
:Allâhumma shalli ‘alâ Muhammadin wa âli Muhammad
:
:Asyhadu allâilâha illallâh wahdahu lâ syarîka lah, wa anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasûluh, amantu billâhi, wa kafartu biljibti wath thâghûti wallâta wal ’uzzâ wa bi’ibâdatisy syaythâni wa bi’ibâdati kulli niddin yud’â min dûnillâh.
:
:= Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
:Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya
:
:Aku bersaksi tiada Tuhan kecuali Allah Yang Maha Esa, Tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Aku beriman kepada Allah, dan mengingkari berhala dan thaghut, Lata dan ‘Uzza, mengingkari segala bentuk pengabdian kepada setan dan seluruh sesembahan selain Allah.
:Hajar Aswad mempunyai makna serupa dengan Allah swt, karena saat mencium Hajar Aswad dan berposisi sejajar dengan Hajar Aswad hanya nama Allah swt yang disebutkan.
3. MAKNA KATA ???? QIBLAH YANG DISAMARKAN.
:
:Umat Islam yang menjalankan Rukun Islam menunaikan sholat lima waktu dalam sehari dengan menghadap qiblah adalah syarat sahnya shalat, dengan demikian tidak sah shalat tanpa menghadap qiblah.
:
:Karena ke-tidak tahu-an umat memaknai kata – qiblah, sebagai arah menghadap dalam shalat.
:
:Sesungguhnya kata qiblah, memiliki makna CIUMAN. Berkaitan dengan sunnah Rasulullah mencium Hajar Aswad.
: 😀 alam setiap shalat, umat dimaksudkan mencium tangan Allah di bumi, yaitu Hajar Aswad.
:
:Berikut ini saya berikan fakta linguistic mengenai kata ???? – qiblah.
:Terjemahan : Memberi penghormatan dengan bibir, sebagai tanda sayang, takzim, tunduk, pengampunan dan lain-lain.
:
:Ritual “CIUMAN” terhadap berhala ini merupakan ritual yang diwariskan dari ajaran syirik pagan Arab, sebagai tanda kepatuhan, tunduknya terhadap berhala yang mereka sembah. Dan ritual ini diabadikan dalam kewajiban menegakan rukun Islam yaitu bershalat menghadap “qiblah” dan ber “hajj”.Salah satu Rukun Islam menunaikan adalah mendirikan sholat lima waktu dalam sehari dengan menghadap qiblah sebagai syarat sahnya shalat.
:
:Karena ke-tidak tahu-an umat memaknai kata ???? – qiblah, sebagai arah menghadap dalam shalat.
:
:Sesungguhnya kata qiblah, memiliki makna CIUMAN. Berkaitan dengan sunnah Rasulullah mencium Hajar Aswad.
:
:Sehingga dalam setiap shalat, dimaksudkan mencium tangan Allah di bumi, yaitu Hajar Aswad.
:
:Ritual “CIUMAN” terhadap berhala ini merupakan ritual yang diwariskan dari ajaran syirik pagan Arab, sebagai tanda kepatuhan, tunduknya terhadap berhala yang mereka sembah. Dan ritual ini diabadikan dalam kewajiban menegakan rukun Islam yaitu bershalat menghadap “qiblah” dan ber “hajj”.
:
:Ciuman sebagai tanda kepatuhan, tunduk ini tercermin pada hadist-hadits di bawah ini :
:
:Hadits Sahih HR Bukhari.
:“Dari Ummu Aban binti al-Warra’ bin Zarra’ dari kakeknya radliyallahu ‘anhum; dan kakeknya merupakan salah satu delegasi Abdul Qais (yang mendatangi Nabi). Kakeknya Ummu Aban berkata: Saat kita sampai di Madinah, kami berlarian dari kendaraan kita untuk mencium kedua tangan dan kaki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”.aku tak mau menyembah hajar aswad
SERBUIFF 7:18 am on 21/08/2012 Permalink |
masalah hajar aswat sudah jelas, jangan lu ulang2 lagi, bosen aku….udah kehabisan topik ya….