Upaya Islam Membebaskan Perbudakan

Upaya Islam Membebaskan Perbudakan (1)

Selasa, 18 September 2012, 17:40 WIB
crethiplethi.com
Upaya Islam Membebaskan Perbudakan  (1)
Perbudakan zaman jahiliyah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Budak adalah seseorang yang mengabdi, taat, dan merendahkan diri kepada tuannya. Hamba atau budak yang dibeli seseorang dipandang sebagai milik tuannya.

Ia harus taat dan tunduk dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab apa pun yang dibebankan padanya.

Budak telah ada sejak masa sebelum Islam dan ajaran Islam memerintahkan untuk memerdekakan budak. Dalam Alquran tidak ditemukan nash yang membolehkan perbudakan, yang ada justru dorongan dan anjuran untuk memerdekakan budak.

Demikian juga halnya dalam hadis Nabi SAW tidak ditemukan kebolehan memperbudak, yang ada hanya menyangkut budak Makkah, budak Bani Mustaliq, dan budak Hunain.

Dalam sejarah ditemukan bahwa sebagian dari Al-Khulafa Ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar) menjadikan sebagian tawanan perang sebagai budak. Hal tersebut didasarkan pada prinsip memperlakukan hal yang sama terhadap para tawanan yang dilakukan oleh musuh (orang kafir).

Oleh karena itu, perbudakan itu tidak bisa diberlakukan terhadap semua tawanan perang. Status seorang tawanan perang di dalam hukum Islam memiliki berbagai alternatif.

Diantaranya seorang tawanan boleh dilepas dengan pembayaran tebusan, baik tebusan itu berupa harta (uang), pertukaran tawanan kafir dengan tawanan Muslim, atau dengan pemanfaatan jasa yang mereka miliki, misalnya mengajari menulis dan membaca anak-anak Muslim, seperti yang terjadi setelah Perang Badar.

Di sisi lain, berbeda dengan sebelumnya, agama Islam telah memperlakukan kedudukan budak pada posisi yang mulia dan terhormat karena dalam Islam ada seperangkat aturan yang harus dijaga dan dipelihara dalam memperlakukan budak.

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Alquran dan beberapa hadis Rasulullah SAW terdapat paling tidak lima prinsip pokok dalam memperlakukan budak, yaitu;

1. Berbuat baik terhadap hamba sahaya harus dilakukan sebagaimana berbuat baik terhadap kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat, dan tetangga jauh (QS. 4: 36). Hal tersebut berarti telah mengangkat harkat dan martabat budak pada posisi yang mulia.

2. Rasulullah SAW melarang memanggil budak dengan ungkapan yang menghina dan kata yang mengandung konotasi budak. Beliau SAW bersabda, “Janganlah kamu panggil budakmu dengan ‘Hai budakku, hai hambaku,’ tetapi ia harus dipanggil dengan ‘Hai pemudaku, hai remajaku’.” (HR. Muslim).

3. Makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang digunakan budak sama dengan yang digunakan tuannya. Bahkan dituntut agar mereka makan dalam satu meja dan waktu yang sama.

Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Budak adalah para pembantu dan saudaramu yang dijadikan Allah berada di bawah pengawasanmu, maka siapa saja di antara saudaramu yang berada di bawah kekuasaanmu berilah ia makanan seperti yang kamu makan, serta berilah ia pakaian seperti yang kamu pakai. Dan jangan sekali-kali beri mereka tugas atau beban yang tidak bisa mereka lakukan. Dan bila diberi tugas yang agak berat, bantulah mereka sehingga mereka merasa senang untuk melakukannya.” (HR. Bukhari).

4. Budak dilarang untuk dianiaya dan disakiti. Hal ini berdasarkan hadis yang menyatakan, “Siapa yang menampar (menganiaya) budaknya, maka ia wajib memerdekakannya.” (HR. Ahmad bin Hanbal).

Dalam hadis lain dikemukakan bahwa Ibnu Mas’ud memukul budaknya. Tiba-tiba datang Rasulullah SAW seraya bersabda, “Wahai Ibnu Mas’ud, Allah telah menetapkan terhadapmu sebuah kewajiban mengenai budakmu itu.”

Ibnu Mas’ud menjawab, “Kalau demikian, karena Allah ia merdeka.” Rasulullah SAW selanjutnya bersabda, “Seandainya engkau tidak memerdekakannya, ia akan menyeretmu ke neraka.” (HR. Muslim).

REPUBLIKA.CO.ID, 5.  Anjuran untuk mendidik dan mengajari budak. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memiliki budak. maka ia harus mengajarinya dan memperlakukannya dengan baik serta mengawinkannya. Dengan demikian ia mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat kelak.” (HR. Abu Dawud).

Adapun langkah-langkah yang ditempuh Islam dalam menghapus perbudakan antara lain sebagai berikut.

1. Memerdekakan budak. Hal ini merupakan suatu kebaikan yang membawa pelakunya dekat dengan rahmat Allah SWT, di samping mendapat janji baik dengan mendapatkan surga.

2. Menetapkan sanksi berbagai pelanggaran hukum untuk memerdekakan budak, seperti sanksi sumpah palsu, pembunuhan tidak sengaja, dan zihar.

3. Memerintahkan majikan agar memberi kesempatan bagi budaknya untuk menebus diri (mukatabah). Dengan demikian, budak berhak untuk mendapatkan bagian zakat sebagai usaha untuk memerdekakan dirinya.

4. Melaksanakan nazar yang berisi memerdekakan budak bila persyaratan yang diucapkan dalam nazar tersebut terpenuhi.

Kedudukan Budak dalam Hukum Islam.
Menurut jumhur ulama, aurat bagi budak perempuan ialah anggota badan antara pusat dan lutut. Hai ini berdasarkan hadis dari Amr bin Syu’aib bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seseorang kamu menikahi budak wanitanya, maka janganlah kamu melihat daerah antara pusar dan lututnya karena daerah antara pusar dan lutut adalah aurat.” (HR. Daruqutni, al-Hakim, Abu Dawud, dan Ahmad bin Hanbal).

Sedangkan Ibnu Hazm tidak membedakan aurat wanita budak dengan wanita merdeka karena tidak ada alasan yang membedakannya. Menurutnya, hadis Amr bin Syu’aib di atas adalah hadis daif.

Dalam masalah haji, bila seseorang masih berstatus sebagai budak sewaktu bemiat ihram, maka hajinya jatuh menjadi sunah dan ia masih diwajibkan untuk melaksanakan haji bila ia kelak merdeka karena menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, esensi dari pelaksanaan haji dimulai sejak melakukan niat haji dengan memakai pakaian ihram.

Hal tersebut didasarkan pada sabda Rasullulah SAW, “Siapa saja di antara hamba yang melakukan haji kemudian ia merdeka, maka ia masih berkewajiban untuk melaksanakan haji.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/18/majpj5-upaya-islam-membebaskan-perbudakan-3