KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR’AN oleh Muhammad Husain Haekal
1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN (1/6) Muhammad Husain Haekal MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung, yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu. Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian, bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi terpisahkan. Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini sama seperti yang menjadi pegangan kebudayaan Barat masa kita sekarang, dan kalau pun sebagai agama Islam berpegang pada pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran metafisika namun hubungan antara ketentuan-ketentuan agama dengan dasar kebudayaan itu erat sekali. Soalnya ialah karena cara pemikiran yang metafisik dan perasaan yang subyektif di satu pihak, dengan kaidah-kaidah logika dan kemampuan ilmu pengetahuan di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu ikatan, yang mau tidak mau memang perlu dicari sampai dapat ditemukan, untuk kemudian tetap menjadi orang Islam dengan iman yang kuat pula. Dari segi ini kebudayaan Islam berbeda sekali dengan kebudayaan Barat yang sekarang menguasai dunia, juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya berbeda. Perbedaan kedua kebudayaan ini, antara yang satu dengan yang lain sebenarnya prinsip sekali, yang sampai menyebabkan dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak belakang. Timbulnya pertentangan ini ialah karena alasan-alasan sejarah, seperti sudah kita singgung dalam prakata dan kata pengantar cetakan kedua buku ini. Pertentangan di Barat antara kekuasaan agama dan kekuasaan temporal1 sebagai bangsa yang menganut agama Kristen atau dengan bahasa sekarang antara gereja dengan negara menyebabkan keduanya itu harus berpisah, dan kekuasaan negara harus ditegakkan untuk tidak mengakui kekuasaan gereja. Adanya konflik kekuasaan itu ada juga pengaruhnya dalam pemikiran Barat secara keseluruhan. Akibat pertama dari pengaruh itu ialah adanya permisahan antara perasaan manusia dengar pikiran manusia, antara pemikiran metafisik dengan ketentuan-ketentuan ilmu positif (knowledge of reality) yang berlandaskan tinjauan materialisma. Kemenangan pikiran materialisma ini besar sekali pengaruhnya terhadap lahirnya suatu sistem ekonomi yang telah menjadi dasar utama kebudayaan Barat. Sebagai akibatnya, di Barat telah timbul pula aliran-aliran yang hendak membuat segala yang ada di muka bumi ini tunduk kepada kehidupan dunia ekonomi. Begitu juga tidak sedikit orang rang ingin menempatkan sejarah umat manusia dari segi agamanya, seni, f1lsafat, cara berpikir dan pengetahuannya - dalam segala pasang surutnya pada berbagai bangsa - dengan ukuran ekonomi. Pikiran ini tidak terbatas hanya pada sejarah dan penulisannya, bahkan beberapa aliran filsafat Barat telah pula membuat pola-pola etik atas dasar kemanfaatan materi ini semata-mata. Sungguh pun aliran-aliran demikian ini dalam pemikirannya sudah begitu tinggi dengan daya ciptanya yang besar sekali, namun perkembangan pikiran di Barat itu telah membatasinya pada batas-batas keuntungan materi yang secara kolektif dibuat oleh pola-pola etik itu secara keseluruhan. Dan dari segi pembahasan ilmiah hal ini sudah merupakan suatu keharusan yang sangat mendesak. Sebaiiknya mengenai masalah rohani, masalah spiritual, dalam pandangan kebudayaan Barat ini adalah masalah pribadi semata, orang tidak perlu memberikan perhatian bersama untuk itu. Oleh karenanya membiarkan masalah kepercayaan ini secara bebas di Barat merupakan suatu hal yang diagungkan sekali, melebihi kebebasan dalam soal etik. Sudah begitu rupa mereka mengagungkan masalah kebebasan etik itu demi kebebasan ekonomi yang sudah sama sekali terikat oleh undang-undang. Undang-undang ini akan dilaksanakan oleh tentara atau oleh negara dengan segala kekuatan yang ada. Kebudayaan yang hendak menjadikan kehidupan ekonomi sebagai dasarnya, dan pola-pola etik didasarkan pula pada kehidupan ekonomi itu dengan tidak menganggap penting arti kepercayaan dalam kehidupan umum, dalam merambah jalan untuk umat manusia mencapai kebahagiaan seperti yang dicita-citakannya itu, menurut hemat saya tidak akan mencapai tujuan. Bahkan tanggapan terhadap hidup demikian ini sudah sepatutnya bila akan menjerumuskan umat manusia ke dalam penderitaan berat seperti yang dialami dalam abad-abad belakangan ini. Sudah seharusnya pula apabila segala pikiran dalam usaha mencegah perang dan mengusahakan perdamaian dunia tidak banyak membawa arti dan hasilnya pun tidak seberapa. Selama hubungan saya dengan saudara dasarnya adalah sekerat roti yang saya makan atau yang saudara makan, kita berebut, bersaing dan bertengkar untuk itu, masing-masing berpendirian atas dasar kekuatan hewaninya, maka akan selalu kita masing-masing menunggu kesempatan baik untuk secara licik memperoleh sekerat roti yang di tangan temannya itu. Masing-masing kita satu sama lain akan selalu melihat teman itu sebagai lawan, bukan sebagai saudara. Dasar etik yang tersembunyi dalam diri kita ini akan selalu bersifat hewani, sekali pun masih tetap tersembunyi sampai pada waktunya nanti ia akan timbul. Yang selalu akan menjadi pegangan dasar etik ini satu-satunya ialah keuntungan. Sementara arti perikemanusiaan yang tinggi, prinsip-prinsip akhlak yang terpuji, altruisma, cinta kasih dan persaudaraan akan jatuh tergelincir, dan hampir-hampir sudah tak dapat dipegang lagi. Apa yang terjadi dalam dunia dewasa ini ialah bukti yang paling nyata atas apa yang saya sebutkan itu. Persaingan dan pertentangan ialah gejala pertama dalam sistem ekonomi, dan itu pula gejala pertamanya dalam kebudayaan Barat, baik dalam paham yang individualistis, maupun sosialistis sama saja adanya. Dalam paham individualisma, buruh bersaing dengan buruh, pemilik modal dengan pemilik modal. Buruh dengan pemilik modal ialah dua lawan yang saling bersaing. Pendukung-pendukung paham ini berpendapat bahwa persaingan dan pertentangan ini akan membawa kebaikan dan kemajuan kepada umat manusia. Menurut mereka ini merupakan perangsang supaya bekerja lebih tekun dan perangsang untuk pembagian kerja, dan akan menjadi neraca yang adil dalam membagi kekayaan. Sebaliknya paham sosialisma yang berpendapat bahwa perjuangan kelas yang harus disudahi dengan kekuasaan berada di tangan kaum buruh, merupakan salah satu keharusan alam. Selama persaingan dan perjuangan mengenai harta itu dijadikan pokok kehidupan, selama pertentangan antar-kelas itu wajar, maka pertentangan antar-bangsa juga wajar, dengan tujuan yang sama seperti pada perjuangan kelas. Dari sinilah konsepsi nasionalisma itu, dengan sendirinya, memberi pengaruh yang menentukan terhadap sistem ekonomi. Apabila perjuangan bangsa-bangsa untuk menguasai harta itu wajar, apabila adanya penjajahan untuk itu wajar pula, bagaimana mungkin perang dapat dicegah dan perdamaian di dunia dapat dijamin? Pada menjelang akhir abad ke-20 ini kita telah dapat menyaksikan - dan masih dapat kita saksikan - adanya bukti-bukti, bahwa perdamaian di muka bumi dengan dasar kebudayaan yang semacam ini hanya dalam impian saja dapat dilaksanakan, hanya dalam cita-cita yang manis bermadu, tetapi dalam kenyataannya tiada lebih dari suatu fatamorgana yang kosong belaka. Kebudayaan Islam lahir atas dasar yang bertolak belakang dengan dasar kebudayaan Barat. Ia lahir atas dasar rohani yang mengajak manusia supaya pertama sekali dapat menyadari hubungannya dengan alam dan tempatnya dalam alam ini dengan sebaik-baiknya. Kalau kesadaran demikian ini sudah sampai ke batas iman, maka imannya itu mengajaknya supaya ia tetap terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan hatinya selalu, mengisi jantung dan pikirannya dengan prinsip-prinsip yang lebih luhur - prinsip-prinsip harga diri, persaudaraan, cinta kasih, kebaikan dan berbakti. Atas dasar prinsip-prinsip inilah manusia hendaknya menyusun kehidupan ekonominya. Cara bertahap demikian ini adalah dasar kebudayaan Islam, seperti wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad, yakni mula-mula kebudayaan rohani, dan sistem kerohanian disini ialah dasar sistem pendidikan serta dasar pola-pola etik (akhlak). Dan prinsip-prinsip etik ini ialah dasar sistem ekonominya. Tidak dapat dibenarkan tentunya dengan cara apa pun mengorbankan prinsip-prinsip etik ini untuk kepentingan sistem ekonomi tadi. Tanggapan Islam tentang kebudayaan demikian ini menurut hemat saya ialah tanggapan yang sesuai dengan kodrat manusia, yang akan menjamin kebahagiaan baginya. Kalau ini yang ditanamkan dalam jiwa kita dan kehidupan seperti dalam kebudayaan Barat itu kesana pula jalannya, niscaya corak umat manusia itu akan berubah, prinsip-prinsip yang selama ini menjadi pegangan orang akan runtuh, dan sebagai gantinya akan timbul prinsip-prinsip yang lebih luhur, yang akan dapat mengobati krisis dunia kita sekarang ini sesuai dengan tuntunannya yang lebih cemerlang. Sekarang orang di Barat dan di Timur berusaha hendak mengatasi krisis ini, tanpa mereka sadari - dan kaum Muslimin sendiri pun tidak pula menyadari - bahwa Islam dapat menjamin mengatasinya. Orang-orang di Barat dewasa ini sedang mencari suatu pegangan rohani yang baru, yang akan dapat menanting mereka dari paganisma yang sedang menjerumuskan mereka; dan sebab timbulnya penderitaan mereka itu, penyakit yang menancapkan mereka ke dalam kancah peperangan antara sesama mereka, ialah mammonisma - penyembahan kepada harta. Orang-orang Barat mencari pegangan baru itu didalam beberapa ajaran di India dan di Timur Jauh; padahal itu akan dapat mereka peroleh tidak jauh dari mereka, akan mereka dapati itu sudah ada ketentuannya didalam Qu'ran, sudah dilukiskan dengan indah sekali dengan teladan yang sangat baik diberikan oleh Nabi kepada manusia selama masa hidupnya. Bukan maksud saya hendak melukiskan kebudayaan Islam dengan segala ketentuannya itu disini. Lukisan demikian menghendaki suatu pembahasan yang mendalam, yang akan meminta tempat sebesar buku ini atau lebih besar lagi. Akan tetapi - setelah dasar rohani yang menjadi landasannya itu saya singgung seperlunya - lukisan kebudayaan itu disini ingin saya simpulkan, kalau-kalau dengan demikian ajaran Islam dalam keseluruhannya dapat pula saya gambarkan dan dengan penggambaran itu saya akan merambah jalan ke arah pembahasan yang lebih dalam lagi. Dan sebelum melangkah ke arah itu kiranya akan ada baiknya juga saya memberi sekadar isyarat, bahwa sebenarnya dalam sejarah Islam memang tak ada pertentangan antara kekuasaan agama (theokrasi) dengan kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal ini dapat menyelamatkan Islam dari pertentangan yang telah ditinggalkan Barat dalam pikiran dan dalam haluan sejarahnya. Islam dapat diselamatkan dari pertentangan serta segala pengaruhnya itu, sebabnya ialah karena Islam tidak kenal apa yang namanya gereja itu atau kekuasaan agama seperti yang dikenal oleh agama Kristen. Belum ada orang di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang khalifah - yang akan mengharuskan sesuatu perintah kepada orang, atas nama agama, dan akan mendakwakan dirinya mampu memberi pengampunan dosa kepada siapa saja yang melanggar perintah itu. Juga belum ada di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang khalifah - yang akan mengharuskan sesuatu kepada orang selain yang sudah ditentukan Tuhan di dalam Qur'an. Bahkan semua orarg Islam sama di hadapan Tuhan. Yang seorang tidak lebih mulia dari yang lain, kecuali tergantung kepada takwanya - kepada baktinya. Seorang penguasa tidak dapat menuntut kesetiaan seorang Muslim apabila dia sendiri melakukan perbuatan dosa dan melanggar penntah Tuhan. Atau seperti kata Abu Bakr ash-Shiddiq kepada kaum Muslimin dalam pidato pelantikannya sebagai Khalifah "Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasul maka gugurkanlah kesetiaanmu kepada saya." Kendatipun pemerintahan dalam Islam sesudah itu kemudian dipegang oleh seorang raja tirani, kendatipun di kalangan Muslimin pernah timbul perang saudara, namun kaum Muslimin tetap berpegang kepada kebebasan pribadi yang besar itu, yang sudah ditentukan oleh agama, kebebasan yang sampai menempatkan akal sebagai patokan dalam segala hal, bahkan dijadikan patokan didalam agama dan iman sekalipun. Kebebasan ini tetap mereka pegang sekalipun sampai pada waktu datangnya penguasa-penguasa orang-orang Islam yang mendakwakan diri sebagai pengganti Tuhan di muka bumi ini - bukan lagi sebagai pengganti Rasulullah. Padahal segala persoalan Muslimin sudah mereka kuasai belaka, sampai-sampai ke soal hidup dan matinya. Sebagai bukti misalnya apa yang sudah terjadi pada masa Ma'mun, tatkala orang berselisih mengenai Qur'an: makhluk atau bukan makhluk - yang diciptakan atau bukan diciptakan! Banyak sekali orang yang menentang pendapat Khalifah waktu itu, padahal mereka mengetahui akibat apa yang akan mereka terima jika berani menentangnya. Dalam segala hal akal pikiran oleh Islam telah dijadikan patokan. Juga dalam hal agama dan iman ia dijadikan patokan. Dalam firman Tuhan: "Perumpamaan orang-orang yang tidak beriman ialah seperti (gembala) yang meneriakkan (ternaknya) yang tidak mendengar selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, sebab mereka tidak menggunakan akal pikiran." (Qur'an, 2: 171) Oleh Syaikh Muhammad Abduh ditafsirkan, dengan mengatakan: "Ayat ini jelas sekali menyebutkan, bahwa taklid (menerima begitu saja) tanpa pertimbangan akal pikiran atau suatu pedoman ialah bawaan orang-orang tidak beriman. Orang tidak bisa beriman kalau agamanya tidak disadari dengan akalnya, tidak diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin. Kalau orang dibesarkan dengan biasa menerima begitu saja tanpa disadari dengan akal pikirannya, maka dalam melakukan suatu perbuatan, meskipun perbuatan yang baik, tanpa diketahuinya benar, dia bukan orang beriman. Dengan beriman bukan dimaksudkan supaya orang merendah-rendahkan diri melakukan kebaikan seperti binatang yang hina, tapi yang dimaksudkan supaya orang dapat meningkatkan daya akal pikirannya, dapat meningkatkan diri dengan ilmu pengetahuan, sehingga dalam berbuat kebaikan itu benar-benar ia sadar, bahwa kebaikannya itu memang berguna, dapat diterima Tuhan. Dalam meninggalkan kejahatan pun juga dia mengerti benar bahaya dan berapa jauhnya kejahatan itu akan membawa akibat." Inilah yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat ini, yang di dalam Qur'an, selain ayat tersebut sudah banyak pula ayat-ayat lain yang disebutkan secara jelas sekali. Qur'an menghendaki manusia supaya merenungkan alam semesta ini, supaya mengetahui berita-berita sekitar itu, yang kelak renungan demikian itu akan mengantarkannya kepada kesadaran tentang wujud Tuhan, tentang keesaanNya, seperti dalam firman Allah: (bersambung ke bagian 2/6) 1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN (2/6) Muhammad Husain Haekal "Bahwasanya dalam penciptaan langit dan bumi, dalam pergantian malam dan siang, bahtera yang mengarungi lautan membawa apa yang berguna buat umat manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkanNya bumi yang sudah mati kering, kemudian disebarkanNya di bumi itu segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikemudikan dari antara langit dan bumi - adalah tanda-tanda (akan keesaan dan kebesaran Tuhan) buat mereka yang menggunakan akal pikiran." (Qur'an, 2: 164) "Dan sebagai suatu tanda buat mereka, ialah bumi yang mati kering. Kami hidupkan kembali dan Kami keluarkan dari sana benih yang sebagian dapat dimakan. Disana Kami adakan kebun-kebun kurma dan palm dan anggur dan disana pula Kami pancarkan mata air - supaya dapat mereka makan buahnya. Semua itu bukan usaha tangan mereka. Kenapa mereka tidak berterima kasih. Maha Suci Yang telah menciptakan semua yang ditumbuhkan bumi berpasang-pasangan, dan dalam diri mereka sendiri serta segala apa yang tiada mereka ketahui. Juga sebagai suatu tanda buat mereka - ialah malam. Kami lepaskan siang, maka mereka pun berada dalam kegelapan. Matahari pun beredar menurut ketetapan yang sudah ditentukan. Itulah ukuran dari Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Juga bulan, sudah Kami tentukan tempat-tempatnya sampai ia kembali lagi seperti mayang yang sudah tua. Matahari tiada sepatutnya akan mengejar bulan dan malam pun tiada akan mendahului siang. Masing-masing berjalan dalam peredarannya. Juga sebagai suatu tanda buat mereka - ialah turunan mereka yang Kami angkut dalam kapal yang penuh muatan. Dan buat mereka Kami ciptakan pula yang serupa, yang dapat mereka kendarai. Kalau Kami kehendaki, Kami karamkan mereka. Tiada penolong lagi buat mereka, juga mereka tak dapat diselamatkan. Kecuali dengan rahmat dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai pada waktunya." (Qur'an, 36: 33-44.) Anjuran supaya memperhatikan alam ini, menggali segala ketentuan dan hukum yang ada di dalam alam ini serta menjadikannya sebagai pedoman yang akan mengantarkan kita beriman kepada Penciptanya, sudah beratus kali disebutkan dalam pelbagai Surah dalam Qur'an. Semuanya ditujukan kepada tenaga akal pikiran manusia, menyuruh manusia menilainya, merenungkannya, supaya imannya itu didasarkan kepada akal pikiran, dan keyakinan yang jelas. Qur'an mengingatkan supaya jangan menerima begitu saja apa yang ada pada nenek moyangnya, tanpa memperhatikan, tanpa meneliti lebih jauh serta dengan keyakinan pribadi akan kebenaran yang dapat dicapainya itu. Iman demikian inilah yang dianjurkan oleh Islam. Dan ini bukan iman yang biasa disebut "iman nenek-nenek," melainkan iman intelektual yang sudah meyakinkan, yang sudah direnungkan lagi, kemudian dipikirkan matang-matang, sesudah itu, dengan renungan dan pemikirannya itu ia akan sampai kepada keyakinan tentang Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya rasa tak ada orang yang sudah dapat merenungkan dengan akal pikiran dan dengan hatinya, yang tidak akan sampai kepada iman. Setiap ia merenungkan lebih dalam, berpikir lebih lama dan berusaha menguasai ruang dan waktu ini serta kesatuan yang terkandung di dalamnya, yang tiada berkesudahan, dengan anggota-anggota alam semesta tiada terbatas, yang selalu berputar ini - sekelumit akan terasa dalam dirinya tentang anggota-anggota alam itu, yang semuanya berjalan menurut hukum yang sudah ditentukan dan dengan tujuan yang hanya diketahui oleh penciptanya. Ia pun akan merasa yakin akan kelemahan dirinya, akan pengetahuannya yang belum cukup, jika saja ia tidak segera dibantu dengan kesadarannya tentang alam ini, dibantu dengan suatu kekuatan diatas kemampuan pancaindera dan otaknya, yang akan menghubungkannya dengan seluruh anggota alam, dan yang akan membuat dia menyadari tempatnya sendiri. Dan kekuatan itu ialah iman. Jadi iman itu ialah perasaan rohani, yang dirasakan oleh manusia meliputi dirinya setiap ia mengadakan komunikasi dengan alam dan hanyut kedalam ketak-terbatasan ruang dan waktu. Semua makhluk alam ini akan terjelma dalam dirinya. Maka dilihatnya semua itu berjalan menurut hukum yang sudah ditentukan, dan dilihatnya pula sedang memuja Tuhan Maha Pencipta. Ada pun Ia menjelma dalam alam, berhubungan dengan alam, atau berdiri sendiri dan terpisah, masih merupakan suatu perdebatan spekulatif yang kosong saja. Mungkin berhasil, mungkin juga jadi sesat, mungkin menguntungkan dan mungkin juga merugikan. Disamping itu hal ini tidak pula menambah pengetahuan kita. Sudah berapa lama penulis-penulis dan failasuf-failasuf itu satu sama lain berusaha hendak mengetahui zat Maha Pencipta ini, namun usaha dan daya upaya mereka itu sia-sia. Dan ada pula yang mengakui, bahwa itu memang berada di luar jangkauan persepsinya. Kalau memang akal yang sudah tak mampu mencapai pengertian ini, maka ketidak mampuannya itu lebih-lebih lagi memperkuat keimanan kita. Perasaan kita yang meyakinkan tentang adanya Wujud Maha Tinggi, Yang Maha Mengetahui akan segalanya dan bahwa Dialah Maha Pencipta, Maha Perencana, segalanya akan kembali kepadaNya, maka keadaan semacam itu akan sudah meyakinkan kita, bahwa kita takkan mampu menjangkau zatNya betapa pun besarnya iman kita kepadaNya itu Demikian juga, kalau sampai sekarang kita tak dapat menangkap apa sebenarnya listrik itu meskipun dengan mata kita sendiri kita melihat bekasnya, begitu juga eter yang tidak kita ketahui meskipun sudah dapat ditentukan, bahwa gelombangnya itu dapat inemindahkan suara dan gambar, pengaruh dan bekasnya itu buat kita sudah cukup untuk mempercayai adanya listrik dan adanya eter. Alangkah angkuhnya kita, setiap hari kita menyaksikan keindahan dan kebesaran yang diciptakan Tuhan, kalau kita masih tidak mau percaya sebelum kita mengetahui zatNya. Tuhan Yang Maha Transenden jauh di luar jangkauan yang dapat mereka lukiskan. Kenyataan dalam hidup ialah bahwa mereka yang mencoba menggambarkan zat Tuhan Yang Maha Suci itu ialah mereka yang dengan persepsinya sudah tak berdaya mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi dalam melukiskan apa yang diatas kehidupan insan. Mereka ingin mengukur alam ini serta Pencipta alam menurut ukuran kita yang nisbi dan terbatas sekali dalam batas-batas ilmu kita yang hanya sedikit itu. Sebaliknya mereka yang sudah benar-benar mencapai ilmu, akan teringat oleh mereka firman Tuhan ini: "Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Jawablah: Ruh itu termasuk urusan Tuhan. Pengetahuan yang diberikan kepada kamu itu hanya sedikit sekali." (Qur'an, 17: 85) Kalbu mereka sudah penuh dengan iman kepada Pencipta Ruh dan Pencipta semesta Alam ini, sesudah itu tidak perlu mereka menjerumuskan diri ke dalam perdebatan spekulatif yang kosong, yang takkan memberi hasil, takkan mencapai suatu kesimpulan. Islam yang dicapai dengan iman dan Islam yang tanpa iman oleh Qur'an dibedakan: "Orang-orang Arab badwi itu berkata: 'Kami sudah beriman.' Katakanlah 'Kamu belum beriman, tapi katakan saja: kami sudah islam.' Iman itu belum lagi masuk ke dalam hati kamu." (Qur'an, 49: 14) Contoh Islam yang demikian ini ialah yang tunduk kepada ajakan orang karena kehendaknya atau karena takut, karena kagum atau karena mengkultuskan diluar hati yang mau menurut dan memahami benar-benar akan ajaran itu sampai ke batas iman. Yang demikian ini belum mendapat petunjuk Tuhan sampai kepada iman yang seharusnya dicapai, dengan jalan merenungkan alam dan mengetahui hukum alam, dan yang dengan renungan dan pengetahuannya itu ia akan sampai kepada Penciptanya - melainkan jadi Islam karena suatu keinginan atau karena nenek-moyangnya memang sudah Islam. Oleh karenanya iman itu belum merasuk lagi kedalam hatinya, sekalipun dia sudah Islam. Manusia-manusia Muslim semacam ini ada yang hendak menipu Tuhan dan menipu orang-orang beriman, tetapi sebenarnya mereka sudah menipu diri sendiri dengan tiada mereka sadari. Dalam hati mereka sudah ada penyakit. Maka oleh Tuhan ditambah lagi penyakit mereka itu. Mereka itulah orang-orang beragama tanpa iman; islamnya hanya karena didorong oleh suatu keinginan atau karena takut, sedang jiwanya tetap kerdil, keyakinannya tetap lemah dan hatinya pun bersedia menyerah kepada kehendak manusia, menyerah kepada perintahnya. Sebaliknya mereka, yang keimanannya kepada Allah itu dengan imam yang sungguh-sungguh, diantarkan oleh akal pikiran dan oleh jantung yang hidup, dengan jalan merenungkan alam ini, mereka itulah orang yang beriman. Mereka yang akan menyerahkan persoalannya hanya kepada Tuhan, mereka itulah orang yang tidak mengenal menyerah selain kepada Allah. Dengan Islamnya itu mereka tidak memberi jasa apa-apa kepada orang. "Tetapi sebenarnya Tuhanlah yang berjasa kepada kamu, karena kamu telah dibimbingNya kepada keimanan, kalau kamu memang orang-orang yang benar." (Qur'an, 49: 17) Jadi barangsiapa menyerahkan diri patuh kepada Allah dan dalam pada itu melakukan perbuatan baik, mereka tidak perlu merasa takut, tidak usah bersedih hati. Mereka tidak takut akan menghadapi hidup miskin atau hina, sebab dengan iman itu mereka sudah sangat kaya, sangat mendapat kehormatan. Kehormatan yang ada pada Tuhan dan pada orang-orang beriman. Jiwa yang rela dan tenteram dengan imannya ini, ia merasa lega bila selalu ia berusaha hendak mengetahui rahasia-rahasia dan hukum-hukum alam, yang berarti akan menambah hubungannya dengan Tuhan. Dan langkah kearah pengetahuan ini ialah dengan jalan membahas dan merenungkan segala ciptaan Tuhan yang ada dalam alam ini dengan cara ilmiah seperti dianjurkan oleh Qur'an dan dipraktekkan pula sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin dahulu, yaitu seperti cara ilmiah yang modern di Barat sekarang. Hanya saja tujuannya dalam Islam dan dalam kebudayaan Barat itu berbeda. Dalam Islam tujuannya supaya manusia membuat hukum Tuhan dalam alam ini menjadi hukumnya dan peraturannya sendiri, sementara di Barat tujuannya ialah mencari keuntungan materi dan apa yang ada dalam alam ini. Dalam Islam tujuan yang pertama sekali ialah 'irfan - mengenal Tuhan dengan baik, makin dalam 'irfan atau persepsi (pengenalan) kita makin dalam pula iman kita kepada Tuhan. Tujuan ini ialah hendak mencapai 'irfan yang baik dari segi seluruh masyarakat, bukan dari segi pribadi saja. Masalah integritas rohani bukan suatu masalah pribadi semata. Tak ada tempat buat orang mengurung diri sebagai suatu masyarakat tersendiri. Bahkan ia seharusnya menjadi dasar kebudayaan untuk masyarakat manusia sedunia - dari ujung ke ujung. Oleh karena itu seharusnya umat manusia berusaha terus demi integritas (kesempurnaan) rohani itu, yang berarti lebih besar daripada pengamatannya mengenai hakekat indera (sensibilia). Persepsi2 mengenai rahasia benda-benda dan hukum-hukum alam yang hendak mencapai integritas itu lebih besar daripada persepsi sebagai alat guna mencapai kekuasaan materi atas benda-benda itu. Untuk mencapai integritas rohani ini tidak cukup kita bersandar hanya kepada logika kita saja, malah dengan logika itu kita harus membukakan jalan buat hati kita dan pikiran kita untuk sampai ke tingkat tertinggi. Hal ini bisa terjadi hanya jika manusia mencari pertolongan dari Tuhan, menghadapkan diri kepadaNya dengan sepenuh hati dan jiwa. Hanya kepadaNya kita menyembah dan hanya kepadaNya kita meminta pertolongan, untuk mencapai rahasia-rahasia alam dan undang-undang kehidupan ini. Inilah yang disebut hubungan dengan Tuhan, mensyukuri nikmat Tuhan, supaya bertambah kita mendapat petunjuk akan apa yang belum kita capai, seperti dalam firman Tuhan: "Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakan) Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang bermohon - apabila dia bermohon kepadaKu. Maka sambutlah seruanKu dan berimanlah kepadaKu, kalau-kalau mereka terbimbing ke jalan yang lurus." (Qur'an 2: 186) "Dan carilah pertolongan Tuhan dengan tabah, dan dengan menjalankan sembahyang, dan sembahyang itu memang berat, kecuali bagi orang-orang yang rendah hati-kepada Tuhan. Orang-orang yang menyadari bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan dan kepadaNya mereka kembali." (Qur'an 2: 45-46) Salat ialah suatu bentuk komunikasi dengan Tuhan secara beriman serta meminta pertolongan kepadaNya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan salat bukanlah sekadar ruku' dan sujud saja, membaca ayat-ayat Qu'ran atau mengucapkan takbir dan ta'zim demi kebesaran Tuhan tanpa mengisi jiwa dan hati sanubari dengan iman, dengan kekudusan dan keagungan Tuhan. Tetapi yang dimaksudkan dengan salat atau sembahyang ialah arti yang terkandung di dalam takbir, dalam pembacaan, dalam ruku', sujud serta segala keagungan, kekudusan dan iman itu. Jadi beribadat demikian kepada Tuhan ialah suatu ibadat yang ikhlas - demi Tuhan Cahaya langit dan bumi. "Kebaikan itu bukanlah karena kamu menghadapkan muka ke arah timur dan barat, tetapi kebaikan itu ialah orang yang sudah beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, malaikat-malaikat, Kitab, dan para nabi serta mengeluarkan harta yang dicintainya itu untuk kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta, untuk melepaskan perbudakan, mengerjakan sembahyang dan mengeluarkan zakat, kemudian orang-orang yang suka memenuhi janji bila berjanji, orang-orang yang tabah hati dalam menghadapi penderitaan dan kesulitan dan di waktu perang. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itu orang-orang yang dapat memelihara diri." (Qur'an, 2: 177) Orang mukmin yang benar-benar beriman ialah yang menghadapkan seluruh kalbunya kepada Allah ketika ia sedang sembahyang, disaksikan oleh rasa takwa kepadaNya, serta mencari pertolongan Tuhan dalam menunaikan kewajiban hidupnya. Ia mencari petunjuk, memohonkan taufik Allah dalam memahami rahasia dan hukum alam ini. Orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah tengah ia sembahyang akan merasakannya sendiri, selalu akan merasa, dirinya adalah sesuatu yang kecil berhadapan dengan kebesaran Allah Yang Maha Agung. Apabila kita dalam pesawat terbang diatas ketinggian seribu atau beberapa ribu meter, kita melihat gunung-gunung, sungai dan kota-kota sebagai gejala-gejala kecil di atas bumi. Kita melihatnya terpampang di depan mata kita seperti jalur-jalur yang tergaris di atas sebuah peta dan seolah permukaannya sudah rata mendatar tak ada gunung atau bangunan yang lebih tinggi, tak ada ngarai, sumur atau sungai yang lebih rendah, warna-warna sambung-menyambung, saling berkait, tercampur, makin tinggi kita terbang warna-warna itu makin tercampur. Seluruh bumi kita ini tidak lebih dari sebuah planet kecil saja. Dalam alam ini terdapat ribuan tata surya dan planet-planet. Semua itu tidak lebih dari sejumlah kecil saja dalam ketakterbatasan seluruh eksistensi ini. Alangkah kecilnya kita, alangkah lemahnya kcadaan kita berhadapan dengan Pencipta dan Pengurus wujud ini. KebesaranNya diatas jangkauan pengertian kita! Dalam kita menghadapkan seluruh kalbu kita dengan penuh ikhlas kepada Kebesaran Tuhan Yang Maha Suci, kita mengharapkan pertolongan kepadaNya untuk memberikan kekuatan atas kelemahan diri kita ini, memberi petunjuk dalam mencari kebenaran - alangkah wajarnya bila kita dapat melihat persamaan semua manusia dalam kelemahannya itu, yang dalam berhadapan dengan Tuhan tak dapat ia memperkuat diri dengan harta dan kekayaan, selain dengan imannya yang teguh dan tunduk hanya kepada Allah, berbuat kebaikan dan menjaga diri. Persamaan yang sesungguhnya dan sempurna ini di hadapan Tuhan tidak sama dengan persamaan yang biasa disebut-sebut dalam kebudayaan Barat waktu-waktu belakangan ini, yaitu persamaan di hadapan hukum. Sudah begitu jauh kebudayaan itu memandang persamaan, sehingga hampir-hampir pula tidak lagi diakui di depan hukum. Buat orang-orang tertentu sudah tidak berlaku lagi untuk menghormatinya. Persamaan di hadapan Tuhan, persamaan yang kenyataannya dapat kita rasakan dikala sembahyang, yang dapat kita capai dengan pandangan kita yang bebas - tidak sama dengan persamaan dalam persaingan untuk mencari kekayaan, persaingan yang membolehkan orang melakukan segala tipu-daya dan bermuka-muka, kemudian orang yang lebih pandai mengelak dan bisa main, ia akan selamat dari kekuasaan hukum. Persamaan dihadapan Allah ini menuju kepada persaudaraan yang sebenarnya, sebab semua orang dapat merasakan bahwa mereka sebenarnya bersaudara dalam berihadat kepada Allah dan hanya kepadaNya mereka beribadat. Persaudaraan demikian ini didasarkan kepada saling penghargaan yang sehat, renungan serta pandangan yang bebas seperti dianjurkan oleh Qur'an. Adakah kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang lebih besar daripada umat ini di hadapan Allah, semua menundukkan kepala kepadaNya, bertakbir, ruku' dan bersujud. Tiada perbedaan antara satu dengan yang lain - semua mengharapkan pengampunan, bertaubat, mengharapkan pertolongan. Tak ada perantara antara mereka itu dengan Tuhan kecuali amalnya yang saleh (perbuatan baik) serta perbuatan baik yang dapat dilakukannya dan menjaga diri dari kejahatan. Persaudaraan yang demikian ini dapat membersihkan hati dari segala noda materi dan menjamin kebahagiaan manusia, juga akan mengantarkan mereka dalam memahami hukum Tuhan dalam kosmos ini, sesuai dengan petunjuk dalam cahaya Tuhan yang telah diberikan kepada mereka. Tidak semua orang sama kemampuannya dalam melakukan baktinya sebagaimana diperintahkan Allah. Adakalanya tubuh kita membebani jiwa kita, sifat materialisma kita dapat menekan sifat kemanusiaan kita, kalau kita tidak melakukan latihan rohani secara tetap, tidak menghadapkan kalbu kita kepada Allah selama dalam salat kita; dan sudah cukup hanya dengan tatatertib sembahyang, seperti ruku', sujud dan bacaan-bacaan. Oleh karena itu harus diusahakan sekuat tenaga menghentikan daya tubuh yang terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma yang sangat menekan sifat kemanusiaan. Untuk itu Islam telah mewajibkan puasa sebagai suatu langkah mencapai martabat kebaktian (takwa) itu seperti dalam firman Tuhan: "Orang-orang beriman! Kepadamu telah diwajibkan berpuasa, seperti yang sudah diwajibkan juga kepada mereka yang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa - memelihara diri dari kejahatan." (Qur'an, 2: 183) Bertakwa dan berbuat baik (birr) itu sama. Yang berbuat baik orang yang bertakwa dan yang berbuat baik ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab dan para nabi dan diteruskan dengan ayat yang sudah kita sebutkan. (bersambung ke bagian 3/6 1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN (3/6) Muhammad Husain Haekal Kalau tujuan puasa itu supaya tubuh tidak terlampau memberatkan jiwa, sifat materialisma kita jangan terlalu menekan sifat kemanusiaan kita, orang yang menahan diri dari waktu fajar sampai malam, kemudian sesudah itu hanyut dalam berpuas-puas dalam kesenangan, berarti ia sudah mengalihkan tujuan tersebut. Tanpa puasa pun hanyut dalam memuaskan diri itu sudah sangat merusak, apalagi kalau orang berpuasa, sepanjang hari ia menahan diri dari segala makanan, minuman dan segala kesenangan, dan bilamana sudah lewat waktunya ia lalu menyerahkan diri kepada apa saja yang dikiranya di waktu siang ia tak dapat menikmatinya! Kalau begitu Tuhan jugalah yang menyaksikan, bahwa puasanya bukan untuk membersihkan diri, mempertinggi sifat kemanusiaannya, juga ia berpuasa bukan atas kehendak sendiri karena percaya, bahwa puasa itu memberi faedah kedalam rohaninya, tapi ia puasa karena menunaikan suatu kewajiban, tidak disadari oleh pikirannya sendiri perlunya puasa itu. Ia melihatnya sebagai suatu kekangan atas kebebasannya, begitu kebebasan itu berakhir pada malam harinya, begitu hanyut ia kedalam kesenangan, sebagai ganti puasa yang telah mengekangnya tadi. Orang yang melakukan ini sama seperti orang yang tidak mau mencuri, hanya karena undang-undang melarang pencurian, bukan karena jiwanya sudah cukup tinggi untuk tidak melakukan perbuatan itu dan mencegahnya atas kemauan sendiri pula. Sebenarnya tanggapan orang mengenai puasa sebagai suatu tekanan atau pencegahan dan pembatasan atas kebebasan manusia adalah suatu tanggapan yang salah samasekali, yang akhirnya akan menempatkan fungsi puasa tidak punya arti dan tidak punya tempat lagi. Puasa yang sebenarnya ialah membersihkan jiwa. Orang berpuasa diharuskan oleh pikiran kita yang timbul atas kehendak sendiri, supaya kebebasan kemauan dan kebebasan berpikirnya dapat diperoleh kembali. Apabila kedua kebebasan ini sudah diperolehnya kembali, ia dapat mengangkat ke martabat yang lebih tinggi, setingkat dengan iman yang sebenarnya kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman Tuhan - setelah menyebutkan bahwa puasa telah diwajibkan kepada orang-orang beriman seperti sudah diwajibkan juga kepada orang-orang yang sebelum mereka: "Beberapa hari sudah ditentukan. Tetapi barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau sedang dalam perjalanan, maka dapat diperhitungkan pada kesempatan lain. Dan buat orangorang yang sangat berat menjalankannya, hendaknya ia membayar fid-yah dengan memberi makan kepada orang rniskin, dan barangsiapa mau mengerjakan kebaikan atas kemauan sendiri, itu lebih baik buat dia; dan bila kamu berpuasa, itu lebih baik buat kamu, kalau kamu mengerti." (Qur'an, 2: 184) Seolah tampak aneh apa yang saya katakan itu, bahwa dengan puasa kita dapat memperoleh kembali kebebasan kemauan dan kebebasan berpikir kalau yang kita maksudkan dengan puasa dengan segala apa yang baik itu untuk kehidupan rohani kita. Ini memang tampak aneh, karena dalam bayangan kita bentuk kebebasan ini telah dirusak oleh pikiran modern, bilamana batas-batas rohani dan mental itu dihancurkan, kemudian batas-batas kebendaannya dipertahankan, yang oleh seorang prajurit dapat dilaksanakan dengan pedang undang-undang. Menurut pikiran modern, manusia tidak bebas dalam hal ia melanda harta atau pribadi orang lain. Akan tetapi ia bebas terhadap dirinya sendiri sekalipun hal ini sudah melampaui batas-batas segala yang dapat diterima akal atau dibenarkan oleh kaidah-kaidah moral. Sedang kenyataan dalam hidup bukan yang demikian. Kenyataannya ialah manusia budak kebiasaannya. Ia sudah biasa makan di waktu pagi; waktu tengah hari, waktu sore. Kalau dikatakan kepadanya: makan pagi dan sore sajalah, maka ini akan dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya. Padahal itu adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya, kalau benar ungkapan demikian ini. Orang yang sudah biasa merokok sampai kebatas ia diperbudak oleh kebiasaan merokoknya itu, lalu dikatakan kepadanya: sehari ini kamu jangan merokok, maka ini dianggapnya suatu pelanggaran atas kebebasannya. Padahal sebenarnya itu tidak lebih adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya. Ada lagi orang yang sudah biasa minum kopi atau teh atau minuman lain apa saja dalam waktu-waktu tertentu lalu dikatakan kepadanya: gantilah waktu-waktu itu dengan waktu yang lain, maka pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya itu dianggapnya sebagai pelanggaran atas kebebasannya. Budak kebiasaan serupa ini merusak kemauan, merusak arti yang sebenarnya dari kebebasan dalam bentuknya yang sesungguhnya. Disamping itu, ini juga merusak cara berpikir sehat, sebab dengan demikian berarti ia telah ditunjukkan oleh pengaruh hajat jasmani dari segi kebendaannya, yang sudah dibentuk oleh kebiasaan itu. Oleh karena itu banyak orang yang telah melakukan puasa dengan cara yang bermacam-macam, yang secara tekun dilakukannya dalam waktu-waktu tertentu setiap minggu atau setiap bulan. Tetapi Tuhan menghendaki yang lebih mudah buat manusia dengan diwajibkan kepada mereka berpuasa selama beberapa hari yang sudah ditentukan, supaya dalam pada itu semua sama, dengan diberikan pula kesempatan fid-yah. Mereka masing-masing yang telah dibebaskan karena dalam keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan dapat mengganti puasanya itu pada kesempatan lain. Kewajiban berpuasa selama hari-hari yang sudah ditentukan untuk memperkuat arti persaudaraan dan persamaan di hadapan Tuhan, sungguh suatu latihan rohani yang luarbiasa. Semua orang, selama menahan diri sejak fajar hingga malam hari mereka telah melaksanakan persamaan itu antara sesama mereka, sama halnya seperti dalam sembahyang jamaah. Dengan persaudaraan demikian selama itu mereka merasakan adanya suatu perasaan yang mengurangi rasa kelebihan mereka dalam mengecap kenikmatan rejeki yang diberikan Tuhan kepadanya. Dengan demikian puasa berarti memperkuat arti kebebasan, persaudaraan dan persamaan dalam jiwa manusia seperti halnya dengan sembahyang. Kalau kita menyambut puasa dengan kemauan sendiri dengan penuh kesadaran bahwa perintah Tuhan tak mungkin bertentangan dengan cara-cara berpikir yang sehat, yang telah dapat memahami tujuan hidup dalam bentuknya yang paling tinggi, tahulah kita arti puasa yang dapat membebaskan kita dari budak kebiasaan itu, yang juga sebagai latihan dalam menghadapi kemauan dan arti kebebasan kita sendiri. Disamping itu kita pun sudah diingatkan, bahwa apa yang telah ditentukan manusia terhadap dirinya sendiri - dengan kehendak Tuhan - mengenai batas-batas rohani dan mentalnya sehubungan dengan kebebasan yang dimilikinya untuk melepaskan diri dari beberapa kebiasaan dan nafsunya, ialah cara yang paling baik untuk mencapai martabat iman yang paling tinggi itu. Apabila taklid dalam iman belum dapat disebut iman, melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka taklid dalam puasa juga belum dapat disebut puasa. Oleh karena itu orang yang bertaklid menganggap puasanya suatu kekangan dan membatasi kebebasannya - sebaliknya daripada dapat memahami arti pembebasan dari belenggu kebiasaan serta konsumsi rohani dan mental yang sangat besar itu. Apabila dengan jalan latihan rohani ini manusia telah sampai kepada arti hukum dan rahasia-rahasia alam dan mengetahui pula dimana tempatnya dan tempat anak manusia ini, cintanya kepada sesama anak manusia akan lebih besar lagi, dan semua anak manusia saling cinta dalam Tuhan. Mereka akan saling tolong-menolong untuk kebaikan dan rasa takwa - menjaga diri dari kejahatan. Yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya mengulurkan tangan kepada yang tidak punya. Ini adalah zakat, dan selebihnya sedekah. Dalam sekian banyak ayat Qur'an selalu mengaitkan zakat dengan salat. Kita sudah membaca firman Tuhan: "Tetapi kebaikan itu ialah orang yang sudah beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, malaikat, Kitab dan para nabi; mengeluarkan harta yang dicintainya itu kepada kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang melepaskan perbudakan, mengerjakan salat dan mengeluarkan zakat." (Qur'an, 2: 177) "Kamu kerjakanlah sembahyang dan keluarkan pula zakat serta tundukkan kepala (ruku') bersama orang-orang yang menundukkan kepala." (Qur'an, 2: 43) "Beruntunglah orang-orang yang sudah beriman. Mereka yang dengan khusyu' mengerjakan sembahyang. Mereka yang menjauhkan diri dan percakapan yang tiada berguna. Dan mereka yang mengeluarkan zakat." (Qur'an, 23: 1-4) Ayat-ayat yang mengaitkan zakat dengan salat itu banyak sekali. Apa yang disebutkan dalam Qur'an tentang zakat dan sedekah cukup menyeluruh dan kuat sekali. Dalam melakukan perbuatan baik, sedekah itu terletak pada tempat pertama, orang yang melakukannya akan mendapat pahala yang amat sempurna. Bahkan ia terletak disamping iman kepada Allah, sehingga kita merasa seolah itu sudah hampir sebanding. Tuhan berfirman: "Tangkaplah orang itu dan belenggukanlah. Kemudian campakkan kedalam api menyala. Sesudah itu belitkan dengan rantai yang panjangnya tujuhpuluh hasta. Dahulu ia sungguh tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Juga tidak mendorong orang memberi makan orang miskin." (Qur'an, 69: 30-34) "... Dan sampaikan berita gembira kepada mereka yang taat. Yaitu mereka, yang apabila disebutkan nama Tuhan hatinya merasa takut karena taatnya, dan mereka yang tabah hati terhadap apa yang menimpa mereka serta mereka yang mengerjakan salat dan menafkahkan sebagian rejeki yang diberikan Tuhan kepada mereka."' (Qur'an, 22: 34-35) "Mereka yang menafkahkan hartanya - baik di waktu malam atau di waktu siang, dengan sembunyi atau terang-terangan, mereka akan mendapat pahala dari Tuhan. Tidak usah mereka takut, juga jangan bersedih hati" (Qur'an, 2: 274) Qur'an tidak hanya menyebutkan masalah-masalah sedekah serta pahalanya yang akan diberikan Tuhan yang sama seperti pahala orang beriman dan mengerjakan sembahyang, bahkan adab sedekah itu telah dilembagakan pula dengan suatu tatacara yang sungguh baik sekali. "Bilamana kamu memperlihatkan sedekah itu, itu memang baik sekali. Tetapi kalau pun kamu sembunyikan memberikannya kepada orang fakir, maka itu pun lebih baik lagi buat kamu." (Qur'an, 2: 271) "Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai hal-hal yang tidak menyenangkan hati Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun. Orang-orang beriman, janganlah kamu hapuskan nilai sedekahmu itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti hati orang." (Qur'an, 2: 263-264) Firman Tuhan itu memberikan pula penjelasan kepada siapa sedekah itu harus diberikan: Sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya, untuk melepaskan perbudakan, orang-orang yang dibebani utang, untuk jalan Allah dan mereka yang sedang dalam perjalanan. Inilah yang telah diwajibkan oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Bijaksana." (Qur'an, 9: 60) Zakat dan sedekah itu salah satu kewajiban dalam Islam, termasuk salah satu rukun Islam. Tetapi apakah kewajiban ini termasuk ibadat, ataukah masuk bagian akhlak? Tentu ini termasuk ibadat. Semua orang beriman bersaudara, dan iman seseorang belum lagi sempurna sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Dengan berpegang pada Nur Ilahi antara sesama mereka, orang-orang beriman saling cinta-mencintai. Kewajiban zakat dan sedekah terikat oleh persaudaraan ini, bukan oleh akhlak dan disiplinnya serta oleh hubungan antar-manusia dengan segala tata-tertibnya. Segala yang terikat oleh persaudaraan, terikat juga oleh iman kepada Allah, dan segala yang terikat oleh iman kepada Allah ialah ibadah. Itu sebabnya maka zakat menjadi salah satu rukun Islam yang lima, dan karena itu pula setelah Nabi wafat Abu Bakr menuntut supaya Muslimin menunaikan zakatnya. Setelah dilihatnya ada sebagian orang yang mau membangkang, Pengganti Muhammad itu melihat pembangkangan ini sebagai suatu kelemahan dalam iman mereka; mereka lebih mengutamakan harta daripada iman, mereka hendak meninggalkan disiplin rohani yang telah ditentukan Qur'an itu. Dengan demikian ini merupakan kemurtadan dari Islam. Karena 'perang ridda' itu jugalah Abu Bakr berhasil mengukuhkan kembali sejarah Islam itu selengkapnya, dan yang tetap menjadi kebanggaan sepanjang sejarah. Dengan fungsi zakat dan sedekah sebagai kewajiban yang bertalian dengan iman dalam disiplin rohanl ia dianggap sebagai salah satu unsur yang harus membentuk kebudayaan dunia. Inilah hikmah yang paling tinggi yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaannya. Harta dan segala keserakahan orang memupuk-mupuk harta merupakan sebab timbulnya superioritas (rasa keunggulan) seorang kepada yang lain. Sampai sekarang ia masih merupakan sebab timbulnya penderitaan dunia ini dan sumber pemberontakan dan peperangan selalu. Sampai sekarang mammonisma - penyembahan harta - masih tetap merupakan sebab timbulnya dekadensi moral yang selalu menimpa dunia dan dunia tetap bergelimang dibawah bencana itu. Memupuk-mupuk harta dan keserakahan akan harta itulah yang telah menghilangkan rasa persaudaraan umat manusia, dan membuat manusia satu sama lain saling bermusuhan. Sekiranya pandangan mereka itu lebih sehat dengan pikiran yang lebih luhur, tentu akan mereka lihat bahwa persaudaraan itu lebih kuat menanamkan kebahagiaan daripada harta, mereka akan melihat juga bahwa memberikan harta kepada yang membutuhkan akan lebih terhormat pada Tuhan dan pada manusia daripada orang harus tunduk kepada harta itu. Kalau benar-benar mereka beriman kepada Allah tentu mereka akan saling bersaudara, dan manifestasi persaudaraan ini ialah pertolongan kepada orang yang sedang dalam penderitaan, membantu orang yang membutuhkannya dan dapat pula menghapuskan kemiskinan yang akan menjerumuskan manusia kedalam penderitaan itu. (bersambung ke bagian 4/6) 1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN (4/6) Muhammad Husain Haekal Apabila negara-negara yang sudah tinggi kebudayaannya pada zaman kita sekarang ini mendirikan rumah-rumah sakit, lembaga-lembaga sosial dan amal untuk menolong fakir-miskin, atas nama kasih sayang dan kemanusiaan, maka didirikannya lembaga-lembaga itu karena didorong oleh rasa persaudaraan serta rasa cinta dan syukur kepada Allah atas nikmat yang diterimanya, sungguh ini suatu pikiran yang lebih tinggi dan lebih tepat memberikan kebahagiaan kepada seluruh umat manusia, seperti dalam firman Tuhan: "Dengan kenikmatan yang telah diberikan Allah kepadamu, carilah kebahagiaan akhirat, tapi jangan kaulupakan nasibmu dalam dunia ini. Berbuatlah kebaikan (kepada orang lain) seperti Tuhan telah berbuat kebaikan kepadamu, dan jangan engkau berbuat bencana di muka bumi ini. Allah sungguh tidak mencintai orang-orang yang berbuat bencana." (Qur'an, 28: 77) Persaudaraan insani ini akan menambah rasa cinta manusia satu sama lain. Dalam Islam, rasa cinta demikian ini tidak seharusnya akan terhenti pada batas-batas tanah air tertentu, atau hanya terbatas pada salah satu benua. Yang seharusnya bahkan tidak boleh mengenal batas samasekali. Oleh karena itu, dari seluruh pelosok bumi manusia harus saling mengenal, supaya satu sama lain dapat menambah rasa cinta kepada Allah, dan rasa cinta ini akan menambah tebal iman mereka kepada Allah. Untuk mencapai itu manusia dari segenap penjuru bumi harus berkumpul dalam satu irama yang sama, tanpa diskriminasi, dan tempat berkumpul yang terbaik untuk itu ialah di tempat memancarnya cinta ini. Dan tempat itu ialah Baitullah di Mekah, dan inilah yang disebut ibadah haji. Orang-orang beriman tatkala berkumpul disana, tatkala mereka melaksanakan segala upacara, mereka menempuh cara hidup yang luhur sebagai teladan iman kepada Allah, dengan niat yang ikhlas menghadapkan diri kepadaNya. "Musim haji itu ialah dalam beberapa bulan yang sudah ditentukan. Barangsiapa sudah membulatkan niat selama bulan-bulan itu hendak menunaikan ibadah haji, maka tidak boleh ada suatu percakapan kotor, perbuatan jahat dan berbantah-bantahan selama dalam mengerjakan haji. Segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Tuhan mengetahuinya. Bawalah perbekalanmu, dan perbekalan yang paling baik ialah menjaga diri dari perbuatan hina. Patuhilah Aku, wahai orang-orang yang berpikiran sehat." (Qur'an. 2: 197) Di dataran tinggi ini, di tempat orang-orang beriman menunaikan ibadah haji untuk saling berkenalan, untuk saling mempererat tali persaudaraan, dan tali persaudaraan ini akan lebih memperkuat iman di tempat ini - segala perbedaan dan diskriminasi yang bagaimanapun di kalangan orang-orang beriman itu harus hilang. Mereka harus merasa, bahwa dihadapan Tuhan mereka itu sama. Mereka menghadapkan seluruh hati sanubarinya untuk mernenuhi panggilan Tuhan, benar-benar beriman akan keesaanNya, bersyukur akan nikrnat yang telah diberikanNya. Rasanya tak ada kenikmatan yang lebih besar daripada nikmat iman akan keagungan Tuhan, sumber segala kebahagiaan. Dihadapan cahaya iman serupa ini, segala angan-angan kosong tentang hidup akan sirna, segala kebanggaan dan kecongkakan karena harta, karena turunan, karena kedudukan dan kekuasaan akan lenyap. Dan karena cahaya iman itu juga, maka manusia akan dapat menyadari arti kebenaran, kebaikan dan keindahan yang ada dalam dunia ini, akan dapat memahami undang-undang Tuhan yang abadi, dalam semesta alam ini, yang takkan pernah berubah dan berganti. Suatu pertemuan umum yang luas ini telah dapat melaksanakan arti persaudaraan dan persamaan semua orang beriman dalam bentuknya yang paling luas, luhur dan bersih. Inilah ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah Islam seperti yang diwahyukan kepada Muhammad 'alaihissalam. Ini terrnasuk prinsip-prinsip iman seperti sudah kita lihat dalam ayat-ayat yang kita kutip tadi, dan sebagai prinsip-prinsip kehidupan rohani Islam. Sesudah semua kita lihat, akan mudah sekal kita menilai, norrna-norma etika apa yang harus kita terapkan atas dasar itu. Norma-norma ini memang sungguh luhur sekali, yang memang belum ada tandingannya dalam kebudayaan mana pun atau dalam zaman apa pun. Apa yang akan membawa manusia untuk mencapai kesempurnaannya bila saja ia dapat melatih diri sebagaimana mestinya, oleh Qur'an sudah dirumuskan, bukan hanya dalam satu surah saja hal ini disebutkan, bahkan disana-sini juga disebut. Begitu salah satu surah kita baca, kita sudah dibawa ke puncak yang lebih tinggi, yang belum dicapai oleh suatu kebudayaan sebelum itu, juga tidak mungkin akan dicapai oleh kebudayaan yang sesudah itu. Untuk mengetahui betapa agungnya klimaks yang telah dicapai itu cukup kita lihat misalnya adat sopan santun atas dasar rohani ini yang bersumberkan keimanan kepada Allah serta latihan mental dan hati kita atas dasar tersebut, tanpa orang melihat akan mencari keuntungan materi di balik sernua itu. Dalam berbagai zaman dan bangsa, penulis-penulis sudah sering sekali melukiskan gambar Manusia Sempurna - atau Superman. Penyair-penyair, para pengarang, filsuf-filsuf dan penulis-penulis drama, sejak zaman dahulu mereka sudah pernah melukiskan gambaran ini, dan sampai sekarang masih terus melukiskan. Tetapi sungguhpun demikian, tidak akan ada sebuah gambaran manusia sempurna yang dilukiskan begitu cemerlang dan unik seperti disebutkan dalam rangkaian Surah al-Isra' (17). Ini baru sebagian saja hikmah yang diwahyukan Allah kepada Rasul, bukan dimaksudkan untuk melukiskan Manusia Sempurna melainkan untuk mengingatkan manusia tentang beberapa kewajiban. Dalam hal ini firman Allah: "Dan Tuhanmu sudah memerintahkan, jangan ada yang kamu sembah selain Dia dan supaya berbuat baik kepada ibu-bapa. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, janganlah kamu mengucapkan kata "ah" kepada mereka dan jangan pula kamu membentak mereka, tapi ucapkanlah dengan kata-kata yang mulia kepada mereka (93). Dan rendahkanlah harimu dengan penuh kesayangan kepada mereka, dan doakan: 'Ya Allah, beri rahmatlah kepada mereka berdua, seperti kasih-sayang mereka mendidikku sewaktu aku kecil' (24) Tuhan kamu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Kalau kamu orang-orang yang berguna. Dia Maha Pengampun kepada mereka yang mau bertaubat (25). Berikanlah kepada keluarga yang dekat itu bagiannya, begitu juga kepada orang-orang miskin dan orang dalam perjalanan. Tetapi jangan kamu hambur-hamburkan secara boros (26). Pemboros-pemboros itu sungguh golongan setan, sedang setan sungguh ingkar kepada Tuhan (27). Dan jika kamu berpaling dari mereka karena hendak mencari kurnia Tuhan yang kauharapkan, katakanlah kepada mereka dengan kata-kata yang lemah lembut (28). Jangan kaujadikan tanganmu terbelenggu ke kuduk, dan jangan pula engkau terlalu mengulurkannya, supaya engkau tidak jadi tercela dan menyesal (29). Sesungguhnya Tuhan melimpahkan rejeki kepada siapa saja dan menentukan ukurannya. Dia Maha mengetahui akan hamba-hambaNya (30). Dan jangan kamu membunuhi anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami yang memberi rejeki mereka, juga rejeki kamu: sebab membunuh mereka suatu kesalahan besar (31). Janganlah kamu mendekati perjinahan, sebab perbuatan itu sungguh keji, dan cara yang sangat buruk (32). Janganlah kamu menghilangkan nyawa orang yang sudah dilarang Tuhan, kecuali atas dasar yang benar. Dan barangsiapa dibunuh tidak pada tempatnya, maka kepada penggantinya telah kami berikan kekuasaan; tetapi janganlah dia membunuh dengan melanggar batas karena dia pun (yang dibunuh) mendapat pertolongan (33). Harta anak yatim jangan kamu dekati, kecuali dengan cara yang baik sekali - sampai dia dewasa. Dan penuhilah janji itu, sebab setiap janji menghendaki tanggungjawab (34). Jagalah sukatanmu bila kamu menakar, penuhilah dan timbanglah dengan timbangan yang jujur. Itulah cara yang baik dan akan lebih baik sekali kesudahannya (35). Dan janganlah engkau mencampuri persoalan yang tidak kauketahui; sebab segala pendengaran, penglihatan dan isi hati orang, semua itu akan dimintai pertanggunganjawaban (36). Juga janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan congkak, sebab engkau tidak akan dapat menembus bumi ini, juga tidak akan sampai setinggi gunung (37). Semua itu suatu kejahatan yang dalam pandangan Tuhan sangat buruk sekali." (38) (Qur'an, 17: 23 - 38) Sungguh ini suatu budi pekerti yang luhur, suatu integritas moral yang sempurna sekali! Setiap ayat yang tersebut ini akan membuat pembaca jadi tertegun membacanya, ia akan mengagungkannya melihat susunan yang begitu kuat, begitu indah, dengan daya tarik kata-katanya, artinya yang sangat luhur serta cara melukiskannya yang sudah merupakan suatu mujizat.3 Sayang sekali disini tempatnya tidak mengijinkan kita menyatakan rasa kekaguman itu! Ya, bagaimana akan mungkin, sedang untuk membicarakan keenam belas ayat itu saja seharusnya diperlukan sebuah buku tersendiri yang cukup besar! Kalau kita mau membawakan satu segi saja dari budi-pekerti dan pendidikan akhlak yang terdapat dalam Qur'an, tentunya bidangnya akan luas sekali, yang tidak mungkin dapat ditampung dalam penutup buku ini. Cukup kiranya kalau kita sebutkan, bahwa tidak ada sebuah buku pun yang pernah memberikan dorongan begitu besar kepada orang supaya melakukan kebaikan, seperti yang diberikan oleh Qur'an itu. Tidak ada buku yang begitu agung mengangkat martabat manusia seperti yang diperlihatkan Qur'an. Juga yang bicara tentang perbuatan baik dan kasih-sayang, tentang persaudaraan dan cinta-kasih, tentang tolong-menolong dan keserasian, tentang kedermawanan dan kemurahan hati, tentang kesetiaan dan menunaikan amanat, tentang kehersihan dan ketulusan hati, keadilan dan sifat pemaat, kesabaran, ketabahan, kerendahan hati dan dorongan melakukan perbuatan terhormat, berbakti dan mencegah melakukan perbuatan jahat, dengan i'jaz4 (mujizat) yang tak ada taranya dalam menyajikan seperti yang dikemukakan oleh Qur'an itu. Tak ada buku melarang sikap lemah dan pengecut, sifat egoisma dan dengki, kebencian dan kezaliman, berdusta dan mengumpat, pemborosan, kekikiran, tuduhan palsu dan perkataan buruk, permusuhan, perusakan, tipu-muslihat, pengkhianatan dan segala sifat dan perbuatan hina dan mungkar - seperti yang dilarang oleh Qur'an, dengan begitu kuat, meyakinkan, dengan i'jaz (mujizat), yang diturunkan dalam wahyu kepada Nabi berbangsa Arab itu. Tiada sebuah surah pun yang kita baca, yang tidak akan memberi anjuran yang mendorong kita melakukan perbuatan baik, menganjurkan kita berbakti dan mencegah kita melakukan perbuatan jahat. Dianjurkannya orang mencapai kesempurnaan yang akan membawa kepada kehidupan harga diri dan budipekerti yang luhur. Kita dengarkan Qur'an mengenai toleransi: "Tangkislah kejahatan itu dengan cara yang sebaik-baiknya. Kami mengetahui apa yang mereka sebutkan." (Qur'an, 23: 96) "Kebaikan dan kejahatan itu tidak sama. Tangkislah (kejahatan) itu dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga orang yang tadinya bermusuhan dengan engkau, akan menjadi sahabat yang akrab sekali." (Qur'an, 41: 34) Tetapi toleransi yang dianjurkan Qur'an ini tidak mendorong orang bersikap lemah, melainkan menyuruh orang supaya berwatak terhormat (nobility of character), selalu berlumba untuk kebaikan dan menjauhkan diri dari segala kehinaan: "Apabila ada orang memberi salam penghormatan kepadamu, balaslah dengan cara yang lebih baik, atau (setidak-tidaknya) dengan yang serupa." (Qur'an, 4: 86) "Dan kalau kamu mengadakan (pukulan) pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi kalau kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati tabah (sabar)." (Qur'an, 16: 126) Dan ini jelas sekali, bahwa toleransi yang dianjurkan itu ialah dalam arti yang terhormat, tanpa bersikap lemah samasekali, melainkan sepenuhnya sikap yang disertai harga diri. Toleransi yang dianjurkan oleh Qur'an dengan cara yang terhormat ini dasarnya ialah persaudaraan, yang oleh Islam dijadikan tiang kebudayaan, dan yang dimaksud pula menjadi persaudaraan antar-manusia di seluruh jagat. Corak persaudaraan Islam ini ialah yang terjalin dalam keadilan dan kasih-sayang tanpa suatu sikap lemah dan menyerah. Persaudaraan atas dasar persamaan dalam hak, dalam kebaikan dan kebenaran tanpa terpengaruh oleh untung-rugi kehidupan duniawi, sekalipun mereka dalam kekurangan. Mereka ini lebih takut kepada Allah daripada kepada yang lain. Mereka ini orang-orang yang punya harga diri. Sungguhpun begitu mereka sangat rendah hati. Mereka orang-orang yang dapat dipercaya, yang menepati janji bila mereka berjanji, orang-orang yang sabar dan tabah dalam menghadapi kesulitan, yang apabila mendapat musibah, mereka berkata: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun - 'Kami kepunyaan Allah dan kepadaNya juga kami kembali.' Tak ada yang membuang muka dan berjalan di muka bumi dengan sikap congkak. Tuhan menjauhkan mereka dari sifat serakah dan kikir, tiada berkata dusta, terhadap Tuhan dan kepada sesamanya. Mereka tidak mau menyebarkan perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, mereka menjauhkan diri dari segala dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka segera meminta maaf. Mereka dapat menahan amarah dan dapat pula memaafkan orang lain. Sedapat mungkin mereka menghindarkan prasangka, mereka tidak mau saling memata-matai atau saling menggunjing dari belakang. Mereka tidak boleh memakan harta sesamanya dengan cara yang tidak sah, lalu akan membawa perkara itu kepada hakim, supaya mereka dapat memakan harta orang lain dengan cara dosa itu. Jiwa mereka dibersihkan dari segala sifat dengki, tipu-menipu, cakap kosong dan segala perbuatan yang rendah. Ciri-ciri khas watak dan etika yang menjadi landasan budi-pekerti dan pendidikan akhlak yang murni itu dasarnya ialah - seperti yang sudah kita sebutkan - disiplin rohani seperti yang ditentukan oleh Qur'an dan yang bertalian pula dengan iman kepada Allah. Inilah soal yang pokok sekali dan ini pula yang akan menjamin adanya sistem moral dalam jiwa orang dengan tetap bersih dari segala noda, jauh dari segala penyusupan yang mungkin akan merusak. Moral yang dasarnya memperhitungkan untung-rugi segera akan diperbesar selama ia yakin bahwa kelemahan demikian itu tidak akan menggangu keuntungannya. Orang yang dasar moralnya memperhitungkan untung-rugi demikian ini sikap luarnya akan berbeda dengan isi hati. Keadaannya yang disembunyikan akan berbeda dengan yang diperlihatkan kepada orang. Ia berpura-pura jujur, tapi tidak akan segan-segan ia menjadikan itu hanya sebagai tameng untuk memancing keuntungan. Ia berpura-pura benar, tapi tidak akan segan-segan ia meninggalkannya kalau dengan meninggalkan itu ia akan mendapat keuntungan. Orang yang pertimbangan moralnya demikian ini dalam menghadapi godaan mudah sekali jadi lemah, mudah sekali terbawa arus nafsu dan tujuan-tujuan tertentu! Kelemahan ini ialah gejala yang jelas terlihat dalam dunia kita sekarang. Sudah sering sekali orang mendengar adanya perbuatan-perbuatan skandal dan korupsi dimana-mana dalam dunia yang sudah beradab ini. Sebabnya ialah karena kelemahan, orang lebih mencintai harta dan kedudukan atau kekuasaan daripada nilai moral yang tinggi dan iman yang sebenarnya. Tidak sedikit mereka terjerumus masuk ke dalam jurang tragedi moral dan melakukan kejahatan yang paling keji, kita lihat pada mulanya mereka pun berakhlak baik, tetapi masih untung-rugi itu juga yang menjadi dasar moralnya. Tadinya mereka menganggap bahwa sukses dalam hidup ini bergantung pada kejujuran. Lalu mereka bersikap jujur karena ingin sukses, bukan bersikap jujur karena terikat oleh akidahnya -oleh keyakinan batinnya. Mereka berhenti hanya sampai disitu, meskipun ini sangat membahayakan dirinya. Tetapi setelah mereka lihat bahwa mengabaikan masalah kejujuran dalam peradaban abad kini merupakan salah satu jalan mencapai sukses, maka kejujuran itu pun mereka abaikan. Yang demikian ini ada yang tetap tertutup dari mata orang, rahasianya tidak sampai terbongkar dan akan tetap dipandang terhormat, tetapi ada juga yang rahasianya terbongkar dan ia tercemar, yang kadang berakhir dengan bunuh diri. (bersambung ke bagian 5/6) 1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN (5/6) Muhammad Husain Haekal Jadi pembinaan sistem watak dan moral atas dasar untung-rugi ini sewaktu-waktu akan menjerumuskannya kedalam bahaya. Sebaliknya, apabila pembinaannya itu didasarkan atas sistem rohani seperti dirumuskan oleh Qur'an, ini akan menjamin tetap bertahan, takkan terpengaruh oleh sesuatu kelemahan. Niat yang menjadi pangkal bertolaknya perbuatan ialah dasar perbuatan itu dan sekaligus harus menjadi kriteriumnya pula. Orang yang membeli undian untuk Pembanguman sebuah rumahsakit, ia tidak membelinya dengan niat hendak beramal, melainkan karena mengharapkan keuntungan. Orang yang memberi karena ada orang yang datang meminta secara mendesak dan ia memberi karena ingin melepaskan diri, tidak sama dengan orang yang memberi karena kemauan sendiri, yaitu memberi kepada mereka yang tidak meminta secara mendesak, mereka yang oleh orang yang tidak mengetahui dikira orang-orang yang berkecukupan karena mereka memang tidak mau meminta-minta itu. Orang yang berkata sebenarnya kepada hakim karena takut akan sanksi hukum terhadap seorang saksi palsu, tidak sama dengan orang yang berkata sebenarnya karena ia memang yakin akan arti kebenaran itu. Juga moral yang landasannya perhitungan untung rugi kekuatannya tidak akan sama dengan moral yang sudah diyakini benar bahwa itu bertalian dengan kehormatan dirinya sebagai manusia, bertalian dengan keimanannya kepada Allah. Dalam hatinya sudah tertanam landasan rohani yang dasarnya keimanan kepada Allah itu. Qur'an tetap menekankan, bahwa pikiran yang rasionil harus tetap bersih, jangan dimasuki oleh sesuatu yang akan mempengaruhi lukisan iman dan watak yang indah itu. Oleh karenanya minuman keras dan judi itu dipandang kotor sebagai perbuatan setan. Kalaupun ada manfaatnya buat orang, namun dosanya lebih besar dari manfaatnya. Dengan demikian harus dijauhi. Perjudian akan mengalihkan perhatian si penjudi dari persoalan lain, waktunya akan habis dan hiburan ini akan membuatnya lupa dari segala kewajiban moral yang baik. Sedang minuman keras akan menghilangkan pikiran dan harta - untuk meminjam katakata Umar bin'l-Khattab, ketika ia berharap Tuhan akan memberikan penjelasan mengenai hal ini. Sudah wajar sekali pikiran yang rasionil itu akan jadi sesat kalau ia hilang atau berubah, dan kesesatan itu akan lebih mudah mendorong orang melakukan perbuatan rendah, sebaliknya daripada akan menjauhkan diri dari kejahatan. Sistem moral yang dibawa Qur'an untuk 'negara utama' itu bukan dengan tujuan supaya jiwa manusia samasekali jauh dari kenikmatan hidup yang diberikan Tuhan, sehingga karenanya ia akan hanyut ke dalam hidup pertapaan dalam merenungkan alam, dan menyiksa diri dalam menuntut ilmu untuk itu. Sistem moral ini tidak rela membiarkan manusia menyerahkan diri kepada kesenangan supaya jangan ia tenggelam kedalam jurang kemewahan dan karenanya ia akan melupakan segalanya. Bahkan moral ini hendak membuat manusia menjadi umat pertengahan, mengarahkan mereka kepada lembaga budi yang lebih murni, lembaga yang mengenal alam dan segala isinya ini. Qur'an bicara tentang ciptaan Tuhan yang ada dalam alam ini dengan suatu pengarahan yang hendak mengantarkan kita sejauh mungkin dapat kita ketahui. Ia bicara tentang bulan hari Pertama, tentang matahari dan bulan, tentang siang dan malam, tentang bumi dan apa yang dihasilkan bumi, tentang langit dan bintang-bintang yang menghiasinya, tentang samudera, dengan kapal yang berlayar supaya kita dapat menikmati karunia Tuhan, tentang binatang untuk beban dan ternak, tentang ilmu dan segala cabangnya yang terdapat dalam alam ini. Qur'an bicara tentang semua ini, dan menyuruh kita merenungkan dan mempelajarinya, supaya kita menikmati segala peninggalan dan hasilnya itu sebagai tanda kita bersyukur kepada Allah. Apabila Qur'an telah mengajarkan etika Qur'an kepada manusia, menganjurkan mereka supaya berusaha terus untuk mengetahui segala yang ada dalam alam ini, sudah sepatutnya pula bila dari pengamatan mereka dengan jalan akal pikiran itu, mereka akan sampai ke tujuan sejauh yang dapat ditangkap oleh akal pikirannya itu. Sudah sepatutnya pula mereka membangun sistem ekonominya itu atas dasar yang sempurna. Sistem ekonomi yang dibangun atas dasar moral dan rohani seperti yang sudah kita sebutkan itu, sudah seharusnya akan mengantarkan manusia ke dalam hidup bahagia, dan menghapus segala penderitaan dari muka bumi ini. Prinsip-prinsip agung yang oleh Qur'an ditekankan sekali supaya ditanamkan kedalam jiwa seperti di tempat akidah dan iman itu, akan membuat orang tidak sudi melihat masih adanya penderitaan di muka bumi ini, atau masih adanya kekurangan yang dapat diberantas tapi tidak dilakukan. Bagi orang yang sudah mendapat ajaran ini yang pertama sekali akan ditolaknya ialah riba yang menjadi dasar kehidupan ekonomi dewasa ini, dan yang menjadi sumber pendieritaan seluruh umat manusia. Oleh karena itu Qur'an secara tegas sekali mengharamkan, seperti dalam firman Tuhan: "Mereka yang memakan riba tidak akan dapat berdiri, kalau pun berdiri hanya akan seperti orang yang sudah kemasukan setan karena penyakit gila." (Qur'an 2: 275) "Setiap riba yang kamu lakukan untuk menambah harta orang lain dalam pandangan Allah tidak akan dapat bertambah. Tetapi zakat yang kamu lakukan demi keridaan Allah, mereka itu yang akan mendapat balasan berlipat ganda." (Qur'an 30: 39) Diharamkannya riba adalah norma dasar untuk kebudayaan yang akan dapat menjamin kebahagiaan dunia. Bahaya riba dalam bentuknya yang paling kecil ialah ikut sertanya orang yang tidak bekerja dalam suatu hasil usaha orang lain hanya karena ia sudah meminjamkan uang kepadanya, dengan alasan lagi bahwa dengan meminjamkan itu ia sudah membantu orang lain memperoleh hasil keuntungan itu. Sebaliknya kalau ini tidak dilakukan si peminjam tidak akan dapat berusaha dan dengan sendirinya takkan dapat memungut keuntungan. Kalau hanya ini saja satu-satunya bentuk riba itu, ini pun takkan dapat dijadikan alasan. Kalau orang yang meminjamkan uang itu mampu menjalankan sendiri, ia tidak akan meminjamkannya kepada orang lain, dan kalau uang itu tetap ditangannya sendiri tidak dijalankan dalam usaha, maka uang itu pun tidak akan mendatangkan keuntungan. Sebaliknya, sedikit demi sedikit uangnya itu akan habis dimakan pemiliknya sendiri. Jika ia akan meminta bantuan orang lain menjalankan uangnya dengan bagi hasil menurut keuntungan yang akan diperoleh, tentu caranya bukan dengan jalan dipinjamkan sebagai modal dengan laba tertentu, melainkan dengan cara si pemilik uang itu ikut serta dengan orang yang menjalankan uangnya atas dasar bagi untung. Kalau si pengusaha beruntung, maka si pemilik modal itu pun akan mendapat bagian keuntungan; kalau rugi, dia pun akan turut memikul kerugiannya. Sebaliknya kalau kepada pemilik modal itu akan ditentukan suatu laba, meskipun yang mengusahakan tidak mendapat keuntungan apa-apa, maka itu adalah suatu eksploitasi illegal, suatu pemerasan yang tidak sah. Dan tidak akan dapat terjadi bahwa harta itu dapat diperlakukan seperti yang lain-lain, dapat dipersewakan seperti menyewakan tanah atau menyewakan hewan, dan bahwa laba uang tunai harus sesuai dengan hasil sewa barang-barang yang lain itu. Uang yang dapat dipakai untuk pengeluaran dan dapat juga dipakai untuk produksi, yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan dan juga dapat menimbulkan kejahatan (dosa), dengan harta bergerak dan tidak bergerak lainnya, besar sekali perbedaannya. Orang yang menyewa tanah, rumah, hewan atau barang apa pun, tentu karena ingin dimanfaatkan, yang berarti akan sangat berguna buat dia, kecuali jika dia memang orang bodoh atau orang edan, yang segala gerak-geriknya sudah tidak lagi diperhitungkan orang. Sebaliknya yang mengenai uang modal, yang biasanya dipinjam untuk tujuan-tujuan perdagangan yang sebaik-baiknya. Perdagangan itu senantiasa dihadapkan kepada soal untung atau rugi. Sedang mengenai sewa-menyewa barang-barang bergerak dan tidak bergerak untuk dijalankan dalam usaha, sedikit sekali yang mengalami kerugian, kecuali dalam keadaan yang abnormal, yang tidak masuk dalam keadaan biasa. Apabila keadaan abnormal ini yang terjadi, maka kekuasaan hukum segera pula campur tangan antara si pemilik dengan si penyewa - seperti yang sering terjadi dalam semua negara di dunia - untuk menghilangkan ketidak adilan terhadap si penyewa serta menolongnya dari tindakan si pemilik yang hanya akan memungut laba dari usahanya itu. Sebaliknya, dengan menentukan bunga uang tunai, dengan lebih-kurang 7% atau 9%, maka ini tidak akan mengubah, bahwa si peminjam dapat terancam oleh kerugian modal, disamping kerugian usahanya sendiri. Apabila disamping itu dia masih juga lagi dituntut dengan bunga, maka inilah yang disebut kejahatan (dosa). Akibat ini akan menimbulkan permusuhan, sebaliknya daripada persaudaraan; akan menimbulkan kebencian, bukan cinta kasih. Inilah sumber kesengsaraan dan segala krisis yang diderita umat manusia dewasa ini. Kalau memang inilah bahaya riba dalam bentuknya yang paling kecil, dan begitu pula akibat-akibat yang timbul, apalagi dengan bentuk lain tatkala si pemberi pinjaman itu sudah lebih mendekati binatang buas daripada manusia, atau sipeminjam itu sudah sangat membutuhkan uang di luar keperluan penanaman modal atau produksi. Adakalanya ia sangat membutuhkan uang untuk keperluan nafkah yang konsumtif, untuk keperluan makannya atau makan keluarganya. Ketika itulah perhatiannya hanya pada yang lebih mudah saja dulu, sebelum ia dapat memegang sesuatu pekerjaan yang dapat menjamin keperluan hidupnya dan kemudian dapat membayar kembali utangnya. Ini sudah merupakan satu tugas perikemanusiaan sebagai langkah pertama. Dan ini pula yang dirumuskan oleh Qur'an. Bukankah dalam keadaan serupa ini pemberian pinjaman dengan riba sudah merupakan suatu kejahatan yang sama dengan pembunuhan? Yang lebih parah lagi dari kejahatan ini ialah adanya segala macam tipu-muslihat dengan jalan riba itu untuk merampas harta orang-orang yang lemah, orang-orang yang tidak pandai menjaga hartanya. Tipu muslihat ini tidak kurang pula jahatnya dari pencurian yang rendah. Dan setiap pelaku ke arah ini harus dihukum seperti pencuri atau lebih keras lagi. Riba adalah salah satu faktor yang turut menjerumuskan dunia ke dalam bencana penjajahan, dengan segala macam penderitaan yang ditimbulkan oleh penjajahan itu. Sebagian besar masalah penjaJahan itu dimulai oleh sekelompok tukang-tukang riba - secara perseorangan atau dalam bentuk badan-badan usaha - yang mendatangi beberapa negara dengan memberikan pinjaman kepada penduduk. Kemudian mereka menyusup masuk lebih dalam lagi sampai mereka dapat menguasai sumber-sumber kekayaan. Bilamana kelak anak negeri sudah menyadari kembali dan hendak mempertahankan diri dan harta mereka, orang-orang asing itu cepat-cepat meminta bantuan negaranya. Negara ini pun kemudian masuk atas nama hendak melindungi rakyatmya. Kemudian ia menyusup juga masuk lebih dalam lagi, lalu berkuasa sebagai penjajah. Sekarang mereka sebagai yang dipertuan. Kemerdekaan orang lain dirampas. Sebagian besar sumber-sumber kskayaan negeri itu mereka kuasai. Dengan demikian kekayaan mereka jadi hilang, penderitaan mulai mencekam seluruh kawasan itu dan bayangan kesengsaraan sudah pula merayap-rayap kedalam hati mereka. Pikiran mereka jadi kacau, moral jadi lemah, iman mereka pun mulai goyah. Martabat mereka jadi turun dari taraf manusia yang sebenarnya ke taraf yang lebih hina, yang bagi orang yang beriman kepada Allah tidak akan sudi hidup demikian, sebab, hanya kepada Allah semata orang merendahkan diri dan harus mengabdi. Juga penjajahan itu sumber peperangan, sumber penderitaan besar yang sangat menekan kehidupan seluruh umat manusia dewasa ini. Selama ada riba, selama ada penjajahan, jangan diharap manusia akan dapat kembali ke masa persaudaraan dan saling cinta antara sesamanya. Harapan akan kembali ke masa serupa itu tidak akan ada, kecuali jika kebudayaan atas dasar yang dibawa oleh Islam dan diwahyukan dalam Qur'an itu dapat dibangun kembali. Didalam Qur'an ada konsepsi sosialisma yang belum lagi dibahas orang. Sosialisma ini tidak didasarkan kepada perang modal dan perjuangan kelas, seperti yang terdapat sekarang dalam sosialisma Barat, melainkan dasarnya ialah karakter dan moral yang tinggi yang akan menjamin adanya persaudaraan kelas, adanya kerja-sama dan saling bantu atas dasar kebaikan dan kebaktian, bukan kejahatan dan saling permusuhan. Tidak sulit orang akan melihat landasan sosialisma atas dasar persaudaraan ini, seperti yang sudah ditentukan oleh Qur'an mengenai zakat dan sedekah misalnya. Orang dapat menilai, bahwa ini bukanlah sosialisma dengan dominasi suatu kelas atas kelas yang lain, atau kekuasaan suatu golongan atas golongan yang lain. Kebudayaan yang dilukiskan oleh Qur'an tidak mengenal adanya dominasi atau sikap berkuasa, melainkan atas dasar persaudaraan yang sungguh-sungguh yang didorong oleh keyakinan yang kuat akan persaudaraan itu; suatu keyakinan yang membuat orang dengan mengingat karunia Tuhan itu mau memberi untuk si miskin, orang melarat, orany yang membutuhkan dan segala yang diperlukannya akan makanan, tempat tinggal, obat-obatan, pengajaran dan pendidikan. Mereka memberikan itu atas dasar keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian penderitaan dapat dihilangkan, karunia Tuhan dan kebahagiaan dapat merata kepada umat manusia. Sosialisma Islam ini tidak sampai menghapuskan hak milik secara mutlak, seperti halnya dengan sosialisma Barat. Kenyataan sudah membuktikan - bolsyevisma di Rusia dan negara-negara sosialis lainnya - bahwa menghapuskan hak milik itu suatu hal yang tidak mungkin. Sungguhpun begitu, namun perusahaan-perusahaan negara harus tetap menjadi milik bersama untuk kepentingan semua orang. Mengenai ketentuan perusahaan-perusahaan negara itu terserah kepada negara. Oleh karena itu mengenai ketentuan ini sejak abad-abad permulaan dalam sejarah Islam sudah terdapat perbedaan pendapat. Dari kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri ada yang terlampau keras menjalankan ketentuan sosialisma ini, sehingga segala yang diciptakan Tuhan dijadikan milik bersama dan untuk kepentingan umum. Mereka memandang tanah dan segala yang terkandung, sama dengan air dan udara, tidak boleh menjadi milik pribadi. Yang boleh dimiliki hanya hasilnya, yang disesuaikan dengan usaha dan perjuangan masing-masing. Ada juga yang tidak berpendapat demikian. Mereka menyatakan bahwa tanah boleh dimiliki dan dianggap sebagai barang-barang yang boleh dipertukarkan. Akan tetapi persetujuan yang sudah dicapai di kalangan mereka ialah sama dengan yang berlaku di Eropa sekarang, yaitu menentukan bahwa setiap orang harus mencurahkan segala kemampuannya untuk kepentingan masyarakat, dan masyarakat harus pula berusaha, untuk kepentingan pribadi dalam mengatasi segala keperluannya. Setiap Muslim berhak menerima kebutuhannya serta kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya dari baitulmal (perbendaharaan negara) Muslimin, selama ia belum mendapat pekerjaan yang akan menjamin keperluan hidupnya, atau selama pekerjaan yang dipegangnya itu tidak mencukupi keperluannya dan keperluan keluarganya. Selama norma-norma etik di dalam Qur'an seperti yang sudah kita sebutkan itu dijalankan, maka tidak akan ada orang yang mau berdusta; tidak akan ada orang yang mau mengatakan, bahwa ia penganggur, padahal yang sebenarnya dia tidak mau bekerja, tidak akan ada orang yang mau menyatakan, bahwa penghasilan dari pekerjaannya tidak mencukupi, padahal sebenarnya sudah lebih dari cukup. Khalifah-khalifah pada masa permulaan Islam dahulu sudah mewajibkan diri menyelidiki sendiri keadaan umat Islam untuk kemudian dapat mengatasi segala keperluan orang yang memang berada dalam kebutuhan. (bersambung ke bagian 6/6) --------------------------------------------- S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980 Seri PUSTAKA ISLAM No.1
http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/Budaya5.html
===========================================================================================
1. ISLAMIC CULTURE as described QUR’AN (sixth)
Muhammad Husain Haekal
MUHAMMAD has left a great spiritual legacy,
that has overshadowed the world and give direction to
world culture during the several centuries ago.
He will continue to do so until God perfected
light to the world. Heritage that has given
major influence on the past, and will thus,
even more so in the future, is
because he has brought the true religion and put
cultural basis only thing that will guarantee
happiness of this world. Religion and culture had
brought Muhammad to mankind through the revelation of God
, it has been so cohesive that can no longer
integral.
If any Islamic culture is based on methods
knowledge and capability ratio, – and in this same
such that the grip of Western culture of our time
now, and if Islam was a religion of holding on
subjective thinking and the thinking of metaphysics but
relationship between the provisions on the basis of religion
culture intimately. Because is because of the way
thinking that metaphysical and subjective feelings in one
parties, with the rules of logic and science capability
knowledge on the other by Muslims are united by one
ties, who would not want it to look up to
found, to then remain a Muslim with
strong faith as well. From this aspect of Islamic culture is different
once with Western culture now rules the world,
also in describing the life and become the basic foundation
different. The second difference is culture, among which one
with others is actually very principle, which until
basic cause of both is mutually exclusive of each other
rear.
The emergence of this conflict is due to historical reasons,
as we have seen in the foreword and preface
second printing of this book. Conflicts in the West between the power
religion and power as a nation that embraces temporal1
Christian religion or the language is now among church
with state causes the two will have to part, and
state power must be enforced to not recognize
power of the church. The existence of that power there is also conflict
its influence in Western thought as a whole. Result
It is the first of the influence of stratification between
human feeling to hear people’s minds, between thoughts
metaphysical with the provisions of positive knowledge (knowledge
of reality) that are based on a review materialisma.
Victory materialisma mind this enormous influence
to the birth of an economic system that has become
The main basis of Western culture.
As a result, in the West has also arise streams
who want to make everything on this earth is subject
to the life of the world economy. So is not small
people now want to put the history of mankind in terms of
religion, art, f1lsafat, ways of thinking and knowledge –
in all its highs and lows of the various nations – with
economic size. The mind is not confined to history
and writing, even some strands of Western philosophy has
also create patterns of conduct on the basis of expediency this material
solely. It was such flows in
his thinking is so high with a creative,
immense, but the developments in Western thought that has
limit on the boundaries of the material benefits that
collectively created by the patterns of conduct as a whole.
And in terms of scientific discussion of this case already a
a very urgent necessity.
Sebaiiknya about spiritual issues, spiritual issues, in
view of Western culture is merely a personal matter,
people do not need to pay attention to it together. By
therefore let the matter this belief freely
West was a thing once exalted, exceeding
freedom in the matter of ethics. It’s so much they
magnify the problem of freedom of ethics for the sake of economic freedom
which has been completely bound by the law.
This law will be carried out by soldiers or by
state with all its existing strengths.
Culture is about to make economic life as
Basically, and patterns of conduct are based also on life
economic importance on it with no sense of trust
in public life, in exploring the way for mankind
pursuit of happiness as it ideally citakannya,
in my opinion will not reach the destination. Even
responses to life so it is fitting when
will plunge humanity into a severe pain
as experienced in recent centuries. Already
should also where all the thoughts in an attempt to prevent
war and seeking world peace does not bring much
meaning and the results are not much. During my relationship
with brother basically is a piece of bread that I eat
or that you eat, we fight, compete and fight
to it, each contention on the basis of strength
animal, it will always be waiting for each of us
good opportunity to get a slice of bread sly
in whose hands his friend. Each of us from one another
Friends will always see it as an opponent, not as
brother. Basis of conduct that is hidden in us this will
always be animal, even if still remains hidden
until in time he will arise. The always will
to handle this ethical foundation is the only advantage.
While a high sense of humanity, the principles
an admirable character, altruisma, love and brotherhood
will fall slip, and almost gone to
held again.
What happens in the world today is evidence
The most obvious of what I mentioned it. Competition and
The first symptom is a contradiction in the economic system, and
It is also the first symptom in Western culture, both in
individualistic understanding, as well as socialistic same
existence. In understand individualisma, workers compete with
workers, owners of capital by capital owners. Workers with
owners of capital are two competing opponents.
The proponents of this understanding of the opinion that competition and
This conflict will bring goodness and progress to
mankind. According to them it is a stimulant that
work more diligently and stimulants for the division of labor, and
would be a fair balance in sharing the wealth.
Conversely understand sosialisma who believes that the struggle
class that must be quits with the power in the hands of
the workers, is one of natural necessity. During
competition and struggle of the property was used as the principal
life, during the inter-class opposition is reasonable, then
inter-nation conflict is also reasonable, with the same purpose
as on class struggle. From this conception
nationalism is, by itself, giving effect
determine the economic system. If the struggle
nations to master the natural treasure, if there
occupation for the fair also, how could war
can be prevented and peace in the world can be guaranteed? In
towards the end of the 20th century we have been able to watch –
and still we can see – the existence of evidence, that
peace on earth with a sort of cultural basis
only in dreams alone can be exercised, only in
sweet ideals have a co-wife, but in reality no
more than a mirage that nonsense.
Islamic culture was born on the basis of contrasting
on the basis of Western culture. He was born on a spiritual basis
invite people to realize that once the first
relationship with nature and its place in this natural
best. If this realization is already down to
boundaries of faith, the faith it took her so that she remains
continually educate and train yourself, clean heart
always, fills the heart and mind with the principles
more noble – the principles of dignity, brotherhood,
love, kindness and devotion. On the basis of the principles
This man should formulate its economic life. How to
gradually so this is the basis of Islamic culture, such as
revelation which was revealed to Muhammad, which first
spiritual culture, and spirituality here is the basic system
education system and the basic patterns of conduct (morals). And
These ethical principles are the basis of its economic system. No
certainly be justified in any way compromising
These ethical principles for the sake of economic systems
earlier.
Feedback about the culture of Islam so this opinion
My response is consistent with human nature, which
will guarantee happiness for him. If this is embedded
in our spirit and life like in Western culture
there was also the course, shades of humanity that undoubtedly will
changed, the principles that have been the holder
people will collapse, and instead will arise
the principles of a more noble, which will be able to treat
Our current world crisis in accordance with the guidance of
more brilliant.
Now people in the West and East tried going to cope with
this crisis, without them knowing it – and the Muslims themselves
nor even aware of – that Islam can guarantee
overcome them. People in the West today are looking for
a new spiritual grip, which will be able menanting
paganisma them from being plunged them; and
because the emergence of their suffering, the disease
plugging them into the cauldron of war between fellow
them, is mammonisma – worship of wealth.
Western people looking for a new grip that within a few
teachings in India and the Far East, though it will be able to
they do not get away from them, will they find it
existing provisions in the Qu’ran, is depicted with
very beautiful with a very good example given by
Prophets to mankind during his lifetime.
I do not mean going to portray Islamic culture with
all of its provisions it here. Painting thus requires
an in-depth discussion, which will require the
registration book or even greater. However – after
spiritual foundation that became the foundation that I alluded
as needed – painting the culture here I want to
conclude, therefore in case of Islamic teachings in
I can also describe the whole and with
depiction that I will explore the way to a discussion
deeper. And before moving in that direction
it would be a good idea also I give just a hint,
that in fact in the history of Islam does not exist
conflict between religious power (theokrasi) with
temporal power, ie, between church and state. This
to save Islam from the opposition that has been
West left in the mind and in the course of its history.
Islam can be saved from the opposition and all
influence it, why is because Islam does not know what
whose name the church or religious authority as
known by the Christian religion. Yet there are people among
Muslims – even though he was a caliph – who will
command requires something to someone, the name of religion,
and will accuse himself able to give remission of sins
to anyone who violates the order. Also there has been no
among Muslims – even though he is a caliphate – which
would require something to people other than those already
determined by God in the Quran. Even all of Islam orarg
equal before God. Which one is more noble than
others, except depending on the takwanya – to
terms of office. A ruler can not demand loyalty
a Muslim if he himself committed sin
and violate penntah God. Or in the words of Abu Bakr
as-Siddiq to the Muslims in his inaugural address
as Caliph “Obey me as long as I obey
(Command) of Allah and His Messenger. But if I violate
(Command) of Allah and the Messenger then gugurkanlah loyalty to
I am. ”
Despite the government in Islam after that then
held by a tyrannical king, even among
Muslim civil war ever arise, but the Muslims
still hold on to great personal freedom, which
is determined by religion, freedom to put
reason as the benchmark in everything, even made
benchmark within the religion and faith though. Freedom is still
they hold even until the time of arrival
rulers of the Islamic people claiming self
in place of God on this earth – no longer as
Messenger replacement. Yet all the Muslim issues already
they control only, to the extent that the question of life and death.
As evidence such as what has happened in the
Ma’mun, when people disagree about the Qur’an: a creature or
not a creature – which was created or not created! Many
people who oppose the opinion of the Caliph at that time,
when they know the result of what they will receive
if you dare to oppose it.
In any case by the Islamic mind had been made
benchmark. Also in terms of religion and faith he used as a benchmark.
In the word of God:
“The parable of those who do not believe is like
(Shepherds) who chanted (flocks) that are not heard
in addition to voice calls and calls only. They are deaf, dumb and
blind, because they do not use common mind. “(Qur’an,
2: 171)
By Shaykh Muhammad Abduh interpreted, by saying:
“This verse clearly states, that imitation (receiving
just like that) without consideration or a reasonable mind
guidance is innate people do not believe. People do not
could believe that his religion is not realized in their minds,
can not know himself until he was sure. If people
grew up with the ordinary takes for granted without realizing it
with common thoughts, and while doing an act,
despite good deeds, without knowing it is true, he
not a believer. With the believer is not intended to be
lowered self-humble people to do good as
despicable animals, but that is intended so that people can
increase the sense of his mind, to enhance self-
with science, so that doing the good that
he really knew, that kindness is indeed useful,
acceptable to God. In leaving the crime was also
he understood the dangers and how far away the crime
will take effect. ”
This is what Shaykh Muhammad Abduh in interpreting
This paragraph, which in the Quran, in addition to the verse already
there are many other verses mentioned clearly
once. Qur’an wants mankind to ponder nature
this universe, in order to learn the news about it, which
Such reflections will be delivered to
awareness about the existence of God, the oneness, such as
in the word of God:
(Continued on part 2 / 6)
1. ISLAMIC CULTURE as described QUR’AN (2 / 6)
Muhammad Husain Haekal
“Behold in the creation of the heavens and the earth, in turn
night and day, the Ark sailed the seas to bring what
which is useful for mankind, and what Allah revealed
from the sky in the form of water, then with water dihidupkanNya earth
a dead dry, then disebarkanNya on earth
all kinds of animals, wind and cloud pengisaran driven
from between heaven and earth – are the signs (to be unity
and greatness of God) for those who use common
the mind. “(Qur’an, 2: 164)
“And as a sign for them, is the dead earth
dry. We turn it on again and we remove it from there
seeds which can be partially eaten. There we held
palm gardens and palm and grapes and there is also Us
exude water – so can they eat the fruit. All
it is not the business of their hands. Why are they not grateful
love. Glorified be He who created all that is grown
earth in pairs, and in themselves as well as
all that they know nothing. Also as a sign
for them – is the night. We remove the day, then they
even in darkness. The sun was circulated by
provisions that have been determined. That’s the size of the Most
The Power and omniscient. Also the moon, already we define
place-place until he returned again as Mayang yang
old. The sun should not be chasing the moon and
Nor do the night will precede the afternoon. Each run
in circulation. Also as a sign for them –
is derivative of those who We carried in a ship full of
charge. And for those We created too similar, which
can they drive. If We willed, We karamkan
them. There is no helper for them again, they also can not
saved. Unless by mercy from Us and for
give pleasure to live up to in time. “(Qur’an,
36: 33-44.)
Recommendation to pay attention to the physical universe, exploring all
provisions and existing law in this natural and
make it as a guideline that will take us
believe in the Creator, has hundreds of times mentioned
in various Surah in the Qur’an. Everything is addressed to
power the human mind, telling people to judge,
meditate on it, so that his faith was based on reason
mind, and clear conviction. The Qur’an reminds order
Do not blindly accept what is on his ancestors,
without notice, without further research and with
personal conviction of the truth that can accomplish that.
Thus faith is what is recommended by Islam. And it is not
faith in the so-called “faith granny,” but faith
intellectuals who are convinced, that has been contemplated
again, then think carefully, after that, with
reflections and thoughts that he would come to faith
about God the Almighty. I think nobody
been able to contemplate with the mind and the intellect
his heart, which will not come to faith. Any he
reflect deeper, think longer and try to
control of space and time as well as unity contained
in it, the never-ending, with members
not limited universe, which is always spinning this –
bit will be felt within himself about the members
nature, which all goes according to existing law
determined and with a purpose known only to
creator. He also will feel confident of her weakness,
would knowledge that has not been enough, if only she had not
immediately assisted by an awareness of the physical universe, aided
with a force beyond the capacity of faculty and
brain, which would connect it with all members
nature, and that will make him realize his own place.
And that power is faith.
So that faith is a spiritual feeling, which is felt by
man he held over her every communication
with nature and wander into the skinfold-and space limitations
time. All creatures of this nature will incarnate in him.
Then he saw it all go according to existing law
determined, and saw also is worship of God Almighty
Creator. There was He incarnated in nature, dealing with
nature, or stand alone and separate, still represents a
speculative debate an empty course. Maybe successful,
may also be misguided, might be beneficial and may
also harmful. Besides, this is not also add
our knowledge. How long have the writers and
failasuf-failasuf that one another try going
know the substance of this Creator, but the effort and effort
they were in vain. And some are admitted, that it
indeed beyond the reach of perception. If it is reasonable
that is not able to achieve this understanding, the lack
ability is even more strengthen our faith.
The feeling we are convinced about the existence of Supreme Being
High, the All-Knowing would be everything and that he
The Supreme Creator, Supreme Planner, everything will be back
Him, then such a state would have to convince
us, that we would not be able to reach no matter how much substance
size of our faith in Him that
Likewise, if until now we can not capture
what electricity actually was even with our own eyes
we see the scar, as well as the ether that we do not
to know even though it can be determined, that the waves
It can inemindahkan sound and images, and traces the influence
It is enough to make us believe in electricity and
the ether. How proud we are, every day we
see the beauty and greatness that God made,
if we still do not want to believe before we know
his substance. God the Supreme Transcendent far beyond reach
can they describe. The reality in life is that
those who try to describe the substance of God the Most Holy
are those with a perception already helpless
achieve a higher level again in describing what
the above human life. They want to measure this nature
and Creator of nature according to our measure of the relative and
once confined within the limits of our knowledge which is only slightly
it. Conversely those who have really reached a science,
will be remembered by their word of God this:
“They ask thee concerning the spirit. Answer: The Spirit
including God’s business. Knowledge given to you
it’s just very little. “(Qur’an, 17: 85)
Their hearts are filled with faith in the Creator Spirit and
Creator of the universe of this nature, after it did not need them
plunges himself into the debate an empty speculative,
who would not give results, would not reach a conclusion.
Islam reached with the Islamic faith and without faith by
Qur’an distinguished:
“The Arabs badwi said: ‘We have faith.”
Say ‘You’re not believers, but let us say: we have
of Islam. ” Faith had not yet entered into your hearts. ”
(Qur’an, 49: 14)
Such examples of this is Islam, which is subject to the invitation
people because of their will or because of fear, because of awe or
because the cult outside the heart that would think and understand
really going to offer it up to the limits of faith.
That is yet to receive God’s guidance until the
faith that should be achieved, by way of contemplating nature
and know the laws of nature, and that the reflection and
knowledge that he will be up to the Creator –
but so Islam because of a desire or because
his ancestors had been Islamic. Therefore faith
has not penetrated into his heart again, even though he was Muslim.
Muslim men of this kind have anything to deceive
God and deceive the believers, but they actually
are cheating yourself by not they realize. In
they already have heart disease. And by God plus
their disease. They are religious people without
faith, the Islamic only driven by a desire or
because of fear, while his soul remains stunted, his conviction still
weak and his heart was willing to surrender to the will of
man, surrendered to his orders. Instead they, who
his faith in God that the earnest priest,
delivered by the sense of mind and the heart of the living,
by way of contemplating nature, they are the people who
believers. Those who will submit the matter only
to God, they are the people who do not know surrender
in addition to God. With Islam they do not give
any services to the people.
“But in fact God is worthy to you, because
dibimbingNya to the faith you have, if you really
the right people. “(Qur’an, 49: 17)
So whoever gave himself obedient to God and in
on it to do good deeds, they do not need to feel
be afraid, do not grieve. They do not fear
facing life or abject poverty, because by faith
they’re very rich, very honored.
Honor is in God and the believers.
Souls who are willing and comforted by his faith, he was relieved
when he tried always wanted to know the secrets and
laws of nature, which means it will add to its relationship
with God. And step towards this knowledge is by
way to discuss and reflect on all God’s creation is
in this natural scientific manner as recommended by
Qur’an and practiced really well by the
Muslims first, as a modern scientific way in
West now. It’s just that purpose in Islam and in
Western culture is different. In Islam the aim to
man makes the law of God in this natural law
and its own rules, while in the West aim is
looking for material gains and what is in nature.
In Islam once the first goal is to ‘irfan – know
God well, more and more in ‘irfan or perception
(Introduction), we also increasingly in our faith in God.
This goal is about to reach ‘irfan good in terms of
whole community, not just in terms of personal. Problem
Spiritual integrity is not a purely private matter. No
a place for people confine ourselves as a society
own. In fact he should be the basis of culture
for human society worldwide – from end to end. By
therefore human beings should strive for
integrity (perfection) that spiritual, which means greater
rather than observations about the nature of the senses (sensibilia).
Persepsi2 about secret things and natural laws
who want to achieve that integrity is greater than
perception as a tool to achieve power over matter
objects.
To achieve this spiritual integrity of our inadequate
we rely only on logic alone, even with the logic
that we have paved the way for our hearts and minds
us to get to the highest level. This can happen
only if people seek help from God,
expose yourself to Him with heart and soul.
Only we worship Him and only Him we
ask for help, to achieve the secrets of nature and
the law of life. This is called relationship
with God, grateful for favors of your Lord, so that we increase
get a clue of what we have achieved, such as
in the word of God:
“And when My servants ask thee concerning Me, then
(Say) I’m close. I granted the request of the person
plead – if she plead to me. So welcome
cry and believe me, just in case they
guided to the straight path. “(Qur’an 2: 186)
“But seek God’s help with the brave, and with
start praying, and praying it was heavy,
except for those of humble-to the Lord.
People who realize that they will meet with
God and to Him they return. “(Qur’an 2: 45-46)
Prayer is a form of communication with God
believe and ask Him for help. Thus
intended to prayer is not just bowing and prostration
course, reading the Qu’ran verses or pronounce Takbir and
ta’zim for the greatness of God without filling the soul and heart
hearts with faith, with holiness and majesty of God.
But what is meant by prayer or worship is
meaning contained in the Takbir, in reading, in
bowing, prostration and all the majesty, holiness and faith.
So this worship to God is a worship
sincere – for the sake of God Light of the heavens and the earth.
“Goodness is not since you expose the face in the direction
east and west, but goodness it is the person who has
believe in Allah, the Hereafter, angels,
The Book and the prophets and issued his beloved treasure
it to relatives, orphans, poor people
and displaced persons in transit, the people who
request, to let go of slavery, doing prayer
and issued a charity, then the people who love
fulfill the promise when the promise, the people who brave hearts
in the face of suffering and hardship and in time
war. They are the people who are right and they were
people who can maintain themselves. “(Qur’an, 2: 177)
Believers who really believe it was he who confronts
all his heart to God when he was praying,
witnessed by a sense of piety to Him, and seek
God’s help in fulfilling his obligations. He
search for clues, asking for God in understanding taufik
secret and the law of this nature.
Believer who truly believes in Allah he middle
Prayer will feel it yourself, always be felt,
he is dealing with something small greatness
Allah the Most Great. If we are in an aircraft
above the height of a thousand or several thousand meters, we
see the mountains, rivers and cities as
minor symptoms on the earth. We see it posted
in front of our eyes like pathways above tergaris
a map and as a horizontal flat surface is not
there is a mountain or building a higher, no canyons,
wells or the river is lower, the colors
-to-back, linked to each other, mixed, the higher the
we fly the colors are more mixed. The whole earth
we are nothing more than a small planet. In nature
Reply