Sarah Bokker : Seorang wanita Barat, artis, aktivis feminis liberal, model, yang hidup layaknya seperti para wanita Barat dalam gaya hidup dan cara berpakaian seperti menggunakan bikini, kemudian masuk Islam setelah menyadari bahwa Islam sangat menjaga harga diri dan hak-hak perempuan, dan ia kemudian memakai Niqab yang ia yakini sebagai simbol kebebasan wanita
Aku lepaskan bikini untuk Niqab, akhirnya aku bebas!
Siraaj
Senin, 30 Januari 2012 23:31:13
(Arrahmah.com) – Seorang wanita Barat, artis, aktivis feminis liberal, model, yang hidup layaknya seperti para wanita Barat dalam gaya hidup dan cara berpakaian seperti menggunakan bikini, kemudian masuk Islam setelah menyadari bahwa Islam sangat menjaga harga diri dan hak-hak perempuan, dan ia kemudian memakai Niqab yang ia yakini sebagai simbol kebebasan wanita, ia menulis kisahnya sebagai berikut:
Aku seorang wanita Amerika yang lahir di tengah jantung Amerika. Aku tumbuh seperti gadis lainnya (seperti biasanya wanita Barat –red), terpaku dengan hidup glamor di kota besar. Akhirnya aku pindah ke Flourida dan kemudian ke Pantai selatan Miami, pusatnya bagi yang mencari kehidupan glamor. Tentu saja aku melakukan apa yang rata-rata para wanita Barat lakukan.
Aku fokus pada penampilanku dan mendasarkan diriku “berharga” pada berapa banyak perhatian yang aku dapat dari orang lain. Saya bekerja diluar batas keagamaan dan menjadi personal trainer, memperoleh sebuah rumah tepi pantai kelas atas, menjadi seorang “penunjuk” pantai-bioskop dan dapat mrncapai gaya hidup (ala Barat –red).
Bertahun-tahun berlalu, hanya untuk menyadari bahwa skala ku dalam pemenuhan diri dan kebahagiaaan meluncur turun, semakin aku berkembang di tampilan “feminim” ku. Aku adalah budak fashion, aku adalah seorang sandera dalam penampilanku.
Karena kesenjangan berlanjut semakin melebar antara pemenuhan diri dan gaya hidup, aku mencari pertolongan untuk terlepas dari alkohol dan pesta ke meditasi, aktivisme, dan alternative agama. Akhirnya aku menyadari bahwa semua itu (alkohol dan gaya hidup hedonis –red) hanyalah pembunuh untuk “rasa sakit” bukan obat yang efektif.
Pada saat itu adalah 11 September 2001. Dimana aku menyaksikan serangan berikutnya adalah terhadap Islam, nilai-nilai dan budaya-budaya Islam, dan deklarasi paling terkenal “perang salib baru”, aku mulai melihat sesuatu yang disebut Islam. Hingga pada saat itu, semua aku kaitkan dengan Islam, para wanita yang “terkurung dalam tenda”, para pemukul Istri (kekerasan suami), dan dunia “terorisme”.
Sebagai seorang feminis liberal, dan seorang aktivis yang mengejar dunia yang lebih baik, jalanku bertemu dengan para aktivis lainnya yang telah lama mempimpin “reformasi penyebab diskriminasi dan keadilan untuk semua (kelompok feminis)”.
Suatu hari, aku menemukan sebuah buku yang stereotip negatif di Barat -Kitab suci Al Qur’an- . Awalnya aku tertarik dengan gaya dan pendekatan Al Qur’an, dan kemudian tertarik oleh prospek pada ekistensi, kehidupan, penciptaan, dan hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Aku menemukan Al Qur’an menjadi alamat wawasan untuk hati dan jiwa tanpa perlu seorang penerjemah atau pendeta. Akhirnya aku menyentuh momentum kebenaran: penemuan baruku, pemenuhan diri, aktivisme tidak ada apa-apanya dari menghargai sebuah keimanan yang dinamai Islam, dimana aku dapat hidup di dalam damai sebagai muslim yang fungsional.
Aku membeli sebuah gaun panjang yang indah (abaya) dan penutup kepala (kerdung) menyerupai kode/simbol berpakaian muslimah dan aku berjalan menyusuri jalan dan lingkungan yang sama dimana beberapa hari sebelumnya aku berjalan dengan celana pendek, bikini, atau pakaian bisnis “elegan” Barat. Meskipun orang-orang, wajah-wajah, dan semua toko sama, hal itu sangat berbeda, aku tidak merasa sedamai menjadi seorang wanita yang saya alami untuk pertama kalinya itu. Aku merasa seolah-olah rantai telah rusak dan akhirnya aku bebas. Aku sangat senang dengan penampilan baruku, heran dengan wajah orang-orang (memandang) seperti pemburu melihat mangsanya. Tiba-tiba beban berat dipundakku terangkat. Aku tidak lagi menghabiskan waktuku untuk berbelanja, mengurus rambutku, dan bekerja. Akhirnya, aku bebas!.
Dari semua tempat, saya menemukan Islam saya di jantung apa yang disebut “tempat paling keji di bumi”.
Disaat puas dengan Jilbab, aku menjadi penasaran tentang Niqab, melihat meningkatknya jumlah muslimah memakainya. Aku bertanya kepada suamiku yang Islam-yang aku nikahi setelah aku berpindah ke Islam-apakah aku harus memakai Niqab atau hanya memakai Jilbab yang telah aku pakai. Suamiku hanya menasehatiku bahwa dia meyakini Jilbab adalah wajib sementara Niqab tidak.
Pada saat itu, Jilbabku menutupi semua rambut kecuali wajahku, dan gaun hitam panjang yang dikenal “Abaya” yang menutupi seluruh badanku dari leher hingga kaki.
Setahun setengah berlalu, dan aku mengatakan kepada suamiku, aku ingin memakai Niqab. Alasanku, saat ini adalah aku merasa itu akan membuat Allah Sang Pencipta lebih ridho, meningkatkan perasaan damai karena menjadi lebih sederhana. Dia mendukung keputusanku dan mengajakku untuk membeli “Isdaal”, sebuah gaun hitam panjang yang menutupi tubuh dari kepala hingga kaki, dan Niqab, yang menutupi seluruh kepalaku dan wajahku kecuali mataku.
Tak lama kemudian, berita pelanggaran tentang politisi, pendeta Vatikan, para liberal, dan yang menyebut diri para aktivis “hak asasi manusia” dan “kebebasan” mengutuk Jilbab dan Niqab sebagai tekanan bagi perempuan, hambatan bagi integrasi sosial, dan baru-baru ini, seorang pejabat Mesir mengatakan itu “adalah tanda keterbelakangan”.
Aku merasa ini adalah sebuah kemunafikan terang-terangan ketika pemerintah Barat dan yang menyebut diri kelompok “hak asasi manusia” tergesa-gesa membela “hak-hak wanita” ketika beberapa pemerintahan memberlakukan kode pakaian tertentu terhadap wanita, seperti “para pejuang kebebasan” melihat ke arah lain ketika para wanita dirampas hak-hak mereka, (seperti) pekerjaan dan pendidikan hanya karena mereka memilih hak mereka untuk mengenakan Niqab atau Jilbab. Saat ini, para wanita berjilbab atau yang mengenakan Niqab meningkat dilarang dari pekerjaan dan pendidikan tidak hanya dibawah rezim totaliter seperti Tunisia, Maroko, Mesir, tetapi juga “demokrasi” Barat seperti Prancis, Belanda, dan Inggris.
Hari ini, aku masih seorang “feminis”, tetapi seorang “feminis muslim” yang menyeru para muslimah untuk memikul tanggungjawab mereka dalam memberikan semua dukungan yang mereka bisa untuk suami mereka untuk menjadi seorang muslim yang baik. Untuk membesarkan anak-anak mereka sebagai muslim yang lurus sehingga semoga mereka menjadi cahaya untuk semua ummat manusia, untuk memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan (dakwah). Untuk berbicara kebenaran dan untuk berbicara melawan semua penyakit, untuk memperjuangkan hak-hak kami (muslimah) untuk memakai Niqab atau Jilbab dan untuk mencari ridho Allah Sang Pecipta kita dengan cara apapun yang kita pilih. Tetapi sama pentingnya membawa pengalaman kita dengan Niqab atau Jilbab untuk sesama perempuan yang mungkin tidak pernah memiliki kesempatan untuk memahami bagaimana memakai Niqab atau Jilbab berarti untuk kita dan mengapa kita begitu mahal, dan mendukungnya.
Setuju atau tidak, para wanita (saat ini) dibombardir dengan (propaganda –red) gaya “pakaian ‘sedikit’ tidak apa-apa” hampir di setiap sarana komunikasi di dunia. Sebagai mantan non-Muslim, aku bersikeras untuk hak-hak perempuan untuk sama-sama mengetahui tentang hijab, ini adalah kebajikan, dan kedamaian dan kebahagiaan, membawa kehidupan seorang perempuan seperti yang terjadi denganku. Kemarin, bikini adalah simbol dari “kebebasan” ku, ketika pada kenyataannya itu hanya membebaskan ku dari spiritualitas dan nilai-nilai kebenaran sebagai manusia yang terhormat.
Aku tidak dapat hidup lebih bahagia untuk melepaskan bikini ku di pantai Selatan dan gaya hidup glamor Barat untuk hidup di dalam kedamaian dengan Pencipta ku dan menikmati hidup diantara sesame manusia sebagai seorang yang berharga. Ini mengapa aku memilih Niqab, dan mengapa aku akan mati-matian membela hak asasi ku untuk memakainya. Hari ini, Niqab adalah simbol baru untuk kebebasan wanita!.
Untuk para wanita yang menyerah kepada stereotip buruk melawan kesopanan Islam, Hijab, aku katakan: kalian tidak tahu apa yang kalian telah kehilangan!.
Sara Bokker
Sara Bokker adalah mantan artis/model/instruktur fitness dan aktivis feminis yang telah masuk Islam. Saat ini, Sara adalah direktur Komunikasi pada “The March For Justice”, assisten pendiri “The Global Sisters Network” dan produser terkenal “The Global Sisters Network”
http://arrahmah.com/read/2012/01/30/17705-aku-lepaskan-bikini-untuk-niqab-akhirnya-aku-bebas.html
camar 1:25 am on 14/08/2012 Permalink |
belum tahu dia ……nanti kalau sudah kena dengan wahyuSebuah pepatah Islam berkata, “Surga seorang perempuan terletak dibawah telapak suaminya”. Padahal dalam etika kebudayaan Islam, menunjukkan tapak sepatu pada orang lain dengan maksud merendahkan orang tersebut adalah suatu penghinaan yang paling tinggi.
Suatu kenyataan penting adalah bahwa di dalam dunia Islam, perempuan dianggap hanya sebagai barang kepunyaan. Mereka boleh diperlakukan dengan sangat kasar sesuai dengan kultur mereka di mana pelanggaran terhadap aturan-aturan yang berlaku sesuai dengan Syariat Islam adalah: dihukum cambuk, pukul, rajam bahkan sampai mati.
Hukuman mati cukup banyak divoniskan pada perempuan-perempuan di kultur Islam. Pelanggaran-pelanggaran yang dapat dihukum mati di dalam Syariat Islam bermacam-macam, mulai dari pakaian yang tidak islami sampai jikalau ditemukan berdua dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya.
Salah seorang pemuka agama Islam, Abu Hamed Mohammad al-Ghazzali, yang dijuluki ‘Muslim paling besar setelah Muhammad’ menuliskan bahwa peran muslimah adalah “…tinggal di rumah dan merajut. Muslimah tidak boleh keluar rumah terlalu sering, tidak boleh banyak belajar, dan tidak boleh berbincang-bincang dengan tetangga. Dia hanya boleh mengunjungi tetangga apabila benar-benar penting, dia harus melayani suaminya… dan memuaskan suaminya dalam hal apapun… segala uneg-unegnya harus disimpannya sendiri sebagai ibadah… dia harus selalu bersih dan siap melayani kebutuhan sexual suaminya setiap saat”
Cerita-cerita monoton tentang ke-otoriter-an Islam ini, hanyalah sebagian kecil masalah yang dihadapi para perempuan Islam. Dalam kenyataannya, begitu banyak dan tak terhitung pelanggaran-pelanggaran terhadap hak kemanusiaan perempuan di tangan para leaki muslim ini.
Kesaksian seorang perempuan di dalam pengadilan shariah hanya bernilai setengah dari kesaksian seorang pria. Hal ini menyebabkan keadilan dan kesamaan hak dalam kasus perceraian antara pria dan perempuan sangat tidak mungkin terjadi. Dan sebaliknya yang terjadi di negara-negara yang menganut Syariat Islam seperti Arab Saudi, Iran dan Mesir, seorang pria cukup mengucapkan ‘Aku ceraikan engkau’ tiga kali untuk mengesahkan perceraian antara suami dan istri.
Seorang suami berhak memukul istrinya atas ketidaktaatan seorang istri atau atas perilaku yang tidak menyenangkan hatinya. Menurut hukum Islam, seorang suami boleh menyakiti atau memukul istrinya dengan alasan sbb:
Jika sang istri tidak berusaha tampil cantik di depannya
Jika sang istri menolak berhubungan sexual
Jika sang istri meninggalkan rumah tanpa ijin atau tanpa alasan yang cukup kuat
atau jika sang istri melupakan kewajiban agamanya
Dan hal-hal tersebut di atas sudah cukup untuk menjadi alasan perceraian. Presiden Universitas Al-azhar Cairo menjelaskan cara yang paling tepat dalam menghajar seorang istri dalam sebuah wawancara televisi. “Tidak dengan cara dipukuli”, demikian penjelasan Sheikh Ahmad Al-Tayyeb, “Lebih tepat, ditinju alias diberi ‘bogem mentah’!”
Anak gadis yang masih berumur 9 tahun, seringkali dijual untuk sebuah pernikahan pada pria-pria yang puluhan tahun lebih tua. Ayah mereka akan mendapatkan mas kawin sebagai gantinya. Anak-anak gadis ini, dalam kondisi sebelum puber, diperlakukan seperti budak di siang hari dan dipaksa melayani secara sexual di malam hari
Perempuan juga merupakan sasaran budaya barbar Islam yang disebut dengan “Pembunuhan demi Kehormatan” (honor killing). Di mana seorang perempuan dibunuh oleh keluarga atau kerabat prianya demi kehormatan nama keluarga. Pembunuhan seperti ini memberikan pembunuhnya keleluasaan hukum dan tidak akan ada keadilan bagi korban pembunuhan tersebut.
Seorang istri yang tidak hormat pada suami – atau mungkin hanya sekedar tidak beruntung, bisa disekap dalam sebuah ruangan yang disebut “Ruangan Istri”. Ruangan dalam sebuah rumah keluarga yang digunakan untuk menyekap seorang perempuan, tanpa makanan dan minuman untuk suatu waktu yang lamanya ditentukan oleh suaminya. Di beberapa kasus ruangan-ruangan ini digunakan sebagai ruang teror, di mana perempuan menunggu untuk dipukuli suami mereka sampai mati. Dan memang banyak yang mati
Yang menarik tapi sekaligus mengecewakan, organisasi-organisasi perempuan di seluruh dunia, termasuk yang progresif dan pro-feminist seperti Organisasi Perempuan Nasional hanya bisa memberikan komentar lip-service pada kasus-kasus ini dimana seharusnya kasus-kasus tersebut dapat dan layak memicu kemarahan publik perempuan.
Kolumnis Jeff Jacoby, di sebuah artikel Boston Glove bulan Desember 2007, berjudul “Perang Islami para Muslimah” memberikan daftar pelanggaran-pelanggaran yang brutal terhadap perempuan di tangan Islam.
Di Pakistan, sebuah rapat dewan suatu suku memerintahkan seorang perempuan untuk diperkosa secara massal sebagai hukuman atas kelakuan saudara laki-lakinya yang melakukan hubungan gelap dengan seorang perempuan dari suku lain.
Di San Fransisco, seorang muslimah muda ditembak mati setelah dia membuka jilbabnya dan berdandan memakai make up ketika akan menjadi pendamping perempuan di pernikahan temannya.
Di Teheran, seorang ayah memenggal putrinya yang berumur 7 tahun karena dia menduga anaknya tersebut telah diperkosa. Dia berkata dia lakukan itu semua untuk mempertahankan kehormatan, nama baik dan martabatnya.
Di Arab Saudi, polisi syariah menghalang-halangi anak-anak sekolah meloloskan diri dari gedung yang terbakar karena mereka tidak mengenakan ‘busana islami memadai.’ 15 anak perempuan mati terbakar hidup-hidup di bencana tersebut.
Gubernur Mekah, memeriksa gedung terbakar yg membakar hidup-hidup 15 gadis dan melukai 50 lainnya.
May 2006, di provinsi Punjab, Pakistan. Aisha, seorang perempuan berumur 18 tahun dituduh berzinah oleh suaminya setelah satu setengah bulan menikah karena melarikan diri dari rumah ke rumah saudaranya laki-laki karena takut akan keselamatan dirinya. Suaminya ditemani dengan saudaranya laki-laki membujuk Aisha untuk kembali ke rumah mereka dengan berpura-pura ingin rujuk. Aisha setuju. Dan dari tempat tidurnya di rumah sakit, Aisha bercerita bagaimana dalam perjalan pulang, suaminya dan saudaranya laki-laki berhenti di tempat agak terpencil, memukuli dan menyiksanya. Mereka memotong hidung dan bibir Aisha, meninggalkannya di tengah ladang tidak perduli akan nasibnya akankah dia hidup atau mati.
Sama di bulan Mei 2006, perempuan Pakistan yang lain, Shamin Mai yang dituduh melakukan kejahatan karena menikahi seorang pria pilihannya sendiri dan menolak tali perjodohan yang diputuskan keluarganya. Dipotong kedua kakinya oleh saudaranya laki-laki dan pamannya.
Mutilasi, tradisi barbar Islam yang terikat erat dengan “Pembunuhan demi Kehormatan” adalah suatu tindakan yang digunakan untuk menakut-nakuti perempuan sebagai hukuman atas perlawanan terhadap laki-laki. Baik itu pada ayah atau suami, baik itu adalah tindakan aktual atau hanya sebuah persepsi. Tindakan ini adalah hal yang biasa dan dapat diterima di dalam dunia Islam.
Diketahui bahwa ketika Taliban menguasai Afganistan di tahun 1996, sebuah dekrit dikeluarkan yang melarang perempuan meninggalkan rumah mereka. Sebelumnya, para perempuan Afghanistan melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah sakit, sekolah dan berbagai sektor sipil. Perempuan-perempuan tersebut ada yang berprofesi sebagai dokter dan guru. Mereka adalah kaum profesional. Tapi dengan keluarnya dekrit dari Taliban, pendayagunaan perempuan dan pendidikan bagi perempuan otomatis terhenti seketika. Bahkan, banyak dari mereka akan menjadi pengemis.
Aturan tirani ini juga berlaku bagi para pria yang berusaha membantu perempuan-perempuan tersebut. Pada tahun 2006, bbrp tahun setelah ‘pembebasan’ Afghanistan, seorang guru Afghan berumur 46 tahun diseret dari rumahnya di hadapan keluarganya dan dibunuh dengan mengenaskan – dicincang dan tubuhnya diceraiberaikan- hanya karena menolak perintah untuk tidak memberikan pendidikan bagi perempuan.
link foto
Di Iran, dua orang perempuan, kakak beradik bernama Zohreh dan Azar, dihukum mati dengan dirajam setelah dituduh melakukan perzinahan. Di bawah hukum syariat Islam, hukuman mati diberikan pada perempuan-perempuan yang melakukan perzinahan. Kejahatan yang dituduhkan pada dua perempuan tersebut kebetulan tertangkap dalam sebuah rekaman video. “Perzinahan” itu terjadi ketika dua orang perempuan tersebut ada dihadapan pria lain ketika suami mereka tidak ada. Saya ulangi dan tegaskan, kejahatan mereka yang terekam di rekaman video adalah karena mereka ada di hadapan pria lain ketika suami mereka tidak ada. Tidak ada aktifitas sexual, tidak ada sentuhan apapun. Bahkan susah dibuktikan pula dari rekaman tersebut bahwa mereka sedang terlibat pembicaraan. Tetapi di bawah hukum syariah, mereka melakukan perzinahan dan dihukum mati dengan dirajam. Dan sebelumnya mereka mendapat hukuman 99 cambuk untuk tuduhan “hubungan ilegal”
Dalam hukum rajam, tangan seorang perempuan diikat kebelakang dan tubuhnya di ikat dan dibungkus dengan kain. Setelah ikatan itu dipastikan erat dan tidak lepas, dia dibawah ke sebuah lubang di tengah-tengah garis lingkaran dengan ukuran yang sudah disiapkan baginya, dan dikubur sampai setinggi bahunya. Setelah dia ditimbun di dalam lubang tersebut. Orang-orang mulai berteriak “Allah hu akbar” dan mulai melemparkan batu-batu sebesar kepalan tangan ke arah kepalanya dari jarak yang sudah ditentukan. Batu-batu tersebut dilemparkan sampai dia mati atau sampai dia berhasil meloloskan diri keluar dari lubang kubur dan menyeberang keluar garis lingkaran.
Kejadian nyata yang menyesakkan dada ini terus berlangsung di seluruh dunia bahkan di sini, di Amerika, di tangan para Islam radikal, Islam fundamentalis.
Perlu dicatat disini bahwa di dalam ideologi islam Wahhabist, Muslim sangat dilarang untuk bekerja sama, berteman atau membantu siapapun yang bukan Islam dengan cara apapun. Dalam kepercayaan Wahhabist, para muslim dilarang untuk mencampuradukkan kebudayaan Islam dengan kebudayaan lain. Lebih jauh lagi, para Wahhabist tersebut diajarkan untuk memiliki rasa kebencian terhadap Amerika Serikat karena negara kita berlandaskan hukum konstitusional, bukan tirani syariat Islam. Dua hal ini, yaitu penolakan islam untuk berasimilasi dan terhadap bentuk pemerintahan Amerika Serikat, kasus-kasus seperti pembunuhan Amina dan Sarah Said terjadi di bumi Amerika ini.
Read more: http://islamexpose.blogspot.com/2008/01/derita-perempuan-di-bawah-islam.html#ixzz23Tn6J6PJ