Korban Westerling tuntut kompensasi 

Korban Westerling tuntut kompensasi

Terbaru  8 Mei 2012 – 11:17 WIB
Korban RawagedePemerintah Belanda sebelumnya memberikan ganti rugi terhadap korban kekejaman tentara Belanda di Rawagede.

Sepuluh perwakilan keluarga korban pembantaian tentara Belanda di Indonesia pada 1947 secara resmi menuntut kompensasi dan permintaan maaf dari pemerintah Belanda, Senin (07/05).

Pengacara Liesbeth Zegveld yang mendampingi mereka mengatakan para korban dibunuh dalam serangkaian pembantaian di desa-desa yang terletak di provinsi Sulawesi Selatan.

Sejarah Indonesia mencatat peristiwa itu sebagai “pembantaian Westerling” yang diambil dari nama pemimpin pasukan pasukan Belanda Depot Speciale Troepen, Raymond Pierre Paul Westerling.

Lebih dari 3.000 orang dibunuh dalam waktu tiga bulan dalam operasi militer Belanda yang bertujuan untuk “membersihkan” provinsi itu dari pejuang-pejuang pro kemerdekaan dan kini saatnya pemerintah Belanda mengakui perbuatan itu.

”Tuntutannya bertanggung jawab meminta kehormatan kembali dan ganti rugi, dalam surat itu kami ceritakan bahwa mereka punya ayah, anak dieksekusi begitu saja, dan Westerling ini mendapatkan mandat dari pemerintah Belanda,” kata Ketua Tatasan Komite Utang Kehormatan Belanda, KUKB, Jeffry Pondakh, selaku pendamping keluarga korban saat dihubungi wartawan BBC Sri Lestari.

”Dengan kata lain pemerintah Belanda ikut bertanggung jawab,” tambahnya.

Jefry menyebutkan memberikan waktu selama tiga minggu kepada pemerintah Belanda untuk memenuhi tuntutan keluarga korban, ”

” Kami harap pemerintah Belanda mau berbicara dengan kita dan jangan sampai ke Pengadilan. Dan dalam tiga minggu diselesaikan secepat mungkin karena para janda itu sudah berusia lanjut.”

Bagaimanapun Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai para keluarga korban harus menyiapkan bukti-bukti kuat yang kemungkinan akan dipertanyakan oleh pemerintah Belanda.

”Yang pasti harus ada bukti-bukti yang kuat, bahwa para korban atau keluarga korban itu ada disitu,” ujar Hikmahanto.

”Dan yang kedua menunjukan bahwa apakah korban bukan yang meninggal dan bagi yang meninggal keluarga korban apakah istri dan suami dengan menunjukan bahwa mereka adalah suami istri yang sah dari korban meninggal itu.”

Diluar pengadilan

“Westerling ini mendapatkan mandat dari pemerintah Belanda, dengan kata lain pemerintah Belanda ikut bertanggung jawab.”

Jeffry Sondakh

Ini bukan pertama kalinya Zegveld mewakili janda-janda dan anak-anak korban dugaan pembantaian di Indonesia. Tahun lalu, ia memenangi kasus serupa untuk para korban pembantaian Belanda di Rawagede, Karawang.

Zegveld mengutip penyelidikan oleh sebuah komisi Belanda pada 1954 yang menyimpulkan bahwa pemerintah Belanda “menerapkan cara-cara di luar hukum dan eksekusi” untuk menghentikan pemberontakan.

Laporan lengkap komisi itu tidak dibuka untuk umum. Namun media Belanda sudah pernah melaporkan adanya kasus-kasus pembunuhan semacam itu.

Tidak ada satu pun tentara Belanda yang dihukum atas peran mereka dalam pembantaian tersebut, kata Zegveld.

Kementerian Luar Negeri Belanda mengkonfirmasi bahwa mereka telah menerima surat dari Zegveld dan mereka sedang mempelajari permintaan itu.

Dalam suratnya, Zegveld menduga bahwa salah satu pembantaian terjadi di desa Galung Lombok pada 1 Februari 1947. Surat itu juga mengklaim bahwa pasukan Belanda memasuki desa di pagi hari, memerintahkan warga meninggalkan rumah sebelum membakar rumah mereka dan mengeksekusi 364 orang.

Salah satu klien Zegveld, Asia Sitti, adalah anak perempuan dari sesepuh desa dan menyaksikan pembantaian itu. Sitti saat itu berusia 12 tahun ketika ayahnya ditembak mati di hadapannya, kata Zegveld.

Di desa lain, Bulukumba, Zegveld menduga bahwa 250 orang lelaki dieksekusi pada Januari 1947. Beberapa ditembak ketika berusaha melarikan diri di persawahan, yang lainnya ditembak di depan lubang yang sudah mereka gali.

“Orang-orang itu ditembak dari belakang sehingga mereka langsung terjatuh ke lubang,” demikian isi surat itu. “Sebagian besar korban adalah petani atau nelayan.

Zegveld berharap ia dapat bertemu dengan para pejabat dari Kementerian Luar Negeri Belanda untuk membahas tuntutan para korban.

“Saya tidak melihat adanya alasan kasus ini harus dibawa ke pengadilan. Kita semua bisa memprediksi apa yang akan dikatakan oleh pengadilan,” kata dia pada kantor berita AP.

Link terkait