Updates from August, 2012 Toggle Comment Threads | Keyboard Shortcuts

  • SERBUIFF 10:45 pm on 17/08/2012 Permalink | Reply
    Tags: HAFSAH BINTI UMAR (Ummul Mukminin keempat)   

    HAFSAH BINTI UMAR (Ummul Mukminin keempat) 

    HAFSAH BINTI UMAR (Ummul Mukminin keempat)

    Posted by Srikandi Mujahidah at 3:59 PM

    Hafsah adalah janda Khunais bin Huzafah, sahabat RasuluLlah SAW yang meninggal ketika perang Uhud.
    RasuluLlah SAW menikahi Hafsah, kerena kasihan kepada Umar bin Khattab –ayah Hafsah. Hafsah sedih ditinggal suaminya, apalagi usianya baru 18 tahun. Melihat kesedihan itu, Umar berniat mencarikan suami lagi.
    Pilihannya jatuh kepada sahabatnya yang juga orang kepercayaan RasuluLlah SAW, yakni Abu Bakar. Tapi ternyata Abu Bakar hanya diam saja. Dengan perasaan kecewa atas sikap Abu Bakar itu, Umar menemui Usman bin Affan, dengan maksud yang sama. Ternyata Usman juga menolak, karena dukanya atas kematian isterinya, belum hilang. Isteri Usman adalah putri RasuluLlah SAW sendiri, Ruqayyah.
    Lalu Umar mengadu kepada RasuluLlah SAW. Melihat sahabatnya yang marah dan sedih itu, RasuluLlah SAW ingin menyenangkannya, lantas berkata “Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Usman, dan Usman akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Hafsah.” Tak lama kemudian, Hafsah dinikahi RasuluLlah SAW, sedang Usman dengan Ummu Kalsum, putri RasuluLlah SAW juga.
    Suatu malam di kamar Hafsah, RasuluLlah SAW sedang berdua dengan isterinya yang lain, Maria. Hafsah cemburu berat, lantas menceritakan kepada Aisyah. Aisyah kemudian memimpin isteri-isteri yang lain, protes kepada RasuluLlah SAW.
    RasuluLlah SAW sangat marah dengan ulah isteri-isterinya itu. Saking marahnya, beliau tinggalkan mereka selama satu bulan. Terhadap kasus ini, kemudian Allah menurunkan wahyu surat at-Tahrim ayat 1-5.
    Sejarah mencatat, Hafsahlah yang dipilih di antara isteri-isteri RasuluLlah SAW untuk menyimpan naskah pertama al-Qur’an. Hafsah wafat pada awal pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dimakamkan di Ummahat al-Mu’minin di Baqi.

    http://srikandimujahidah.blogspot.com/2008/10/hafsah-binti-umar-ummul-mukminin.html

    ===============

    Hafshah binti Umar

    Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

    Hafshah binti Umar (Arab:حفصة بنت عمر) adalah salah seorang istri Muhammad. Ia seorang janda dari seorang pria bernama Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia saat Perang Badar.

    Daftar isi

    Genealogi

    Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zaynab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un.

    Biografi

    Masa Petumbuhannya

    Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”

    Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Urnar bin Khaththab. Dalarn soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sarna dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dirniliki Hafshah adalah kepandaiannva dalarn rnernbaca dan menulis, padahal ketika itu kernampuan tersebut belum lazirn dirniliki oleh kaurn perempuan.

    Memeluk Islam

    Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Urnar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mcngetahui keislarnan saudara perernpuannya, Fathimah dan suarninya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kernudian diarnbilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi . yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.

    Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.

    Menikah dan Hijrah ke Madinah

    Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini mernotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal rnereka setelah sekian larna ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk rnenyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan.

    Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah . menernukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.

    Cobaan dan Ganjaran

    Setelah kaum muslirnin berada di Madinah dan Rasulullah . berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.

    Peperangan pertarna antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi harnba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.

    Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan merninta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Uman sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah . bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.

    Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegernbiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah rnenyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.

    Berada di Rumah Rasulullah

    Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.

    Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun rnengetahui bahwa orang yang rnenyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mcncintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah rnenjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, mcmang sangat manusiawi jika di antara mereka rnasih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullab . mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang rnenemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalarn rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir karnar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah rnengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah rnerahasiakan kejadian tersebut.

    Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah r.a.. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah . menceraikan Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah .

    Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah . pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang tersebar.

    “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukrnin yang haik; dan selain dan itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)

    Cobaan Besar

    Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai rnasalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah . senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah . pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,

    “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)

    Rasulullah . menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.

    Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah . telah menceraikan istri-jstri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Urnar bin Khaththab, sehingga dia segera rnenemui putrinya yang sedang menangis. Urnar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah . menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang rnenyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah . tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah . tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.

    Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau rnengurnumkan penyesalan mereka kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan salat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Urnar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.

    Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslirnin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.

    Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.

    Pemilik Mushaf yang Pertama

    Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya A1-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istrii Nabi . yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, A1-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

    Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan rnelawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

    Lihat pula

    Referensi

     
    • wikki 2:56 am on 18/08/2012 Permalink | Reply

      Hafsah adalah putri dari Umar. Sebelum menikah dengan Muhammad, Hafsah telah menikah dengan Khunais yang gugur saat perang Uhud. Pernikahan dengan Muhammad dilakukan sekitar 7 bulan setelah Hafsah menjanda. Sebelum itu Hafsha adalah isteri Khunais – termasuk orang yang mula-mula dalam Islam – yang sudah meninggal tujuh bulan lebih dulu sebelum perkawinannya dengan Muhammad.
      Usia Hafsah sendiri saat Khunais gugur baru 18 tahun, yang berarti dia dinikahi Muhammad saat berusia sekitar 19 tahun. Sumber :

      Abbas Jamal, halaman 38
      Khunais gugur sebagai pahlawan syuhada dalam perang Uhud, maka tinggallah Hafsah sebagai janda mujahidin dalam usia 18 tahun.
      Hafsa dinikahi Muhammad di tahun 625, 3 bulan setelah migrasi ke Medinah. Dia berumur 19 tahun dan Muhammad berumur 55 tahun ketika menikah. Dia hidup bersama Muhammad selama 8 th. Meninggal ditahun 669 pada umur 63. Yah, usia 18/19 tahun jelas belum tua rentalah. Masih kaya Tamara Blezinsky. Masih seger-segernya tuh. Masalah timbul dirumah Hafsa istri Muhammad yang lain, dimana Maria ditempatkan sebagai pembantu Hafsa. Ingat Maria adalah budak atau pembantu, bukan istri Muhammad.

      Di suatu malam Muhammad mengunjungi istrinya Hafsa, malam itu adalah “jatah” Hafsa untuk tidur dengan Muhammad. Ketika masuk rumah, ia melihat Maria, gadis remaja yang cantik jelita, merangsang sukma. Dia membangkitkan nafsu birahi pria manapun yang melihatnya. Namun rupanya Hafsa juga ada dirumah. Muhammad yang sudah tak tahan untuk berduaan dengan Maria, akhirnya mencari cara untuk mengusir Hafsa. Dia suruh Hafsa pergi dengan alasan dipanggil ayahnya. Segera setelah istrinya pergi, dia menikmati Maria diranjang Hafsa.

      Tahu ayahnya ternyata tidak memanggil, Hafsa bergegas kembali kerumah. Ia begitu kaget ketika melihat Muhammad dan Maria yang sedang bermesraan diatas ranjangnya. Hafsa pun marah, dan mulai berteriak sekencang2nya, “Kau lakukan ini dirumahku? Disaat giliranku? Muhammad panik, lalu ia menenangkan Hafsa, ia berjanji untuk tidak menyentuh Maria lagi jika Hafsa diam dan tidak menceritakan peristiwa malam itu kepada siapapun. Hafsa masih tak percaya dengan ucapan Muhammad, lalu ia pun meminta Muhammad untuk bersumpah atas nama Allah. Muhammad menuruti permintaan Hafsa, kemudian ia berkata, “Demi Allah aku tak akan menyentuh Maria” [Tabaqat v. 8 p. 223]

      Beberapa hari kemudian Muhammad secara tak sengaja mendengar pembicaraan Hafsa yang sedang curhat dengan Aisha. Muhammad kaget ketika ia tau ternyata Hafsa menceritakan kejadian semalam kepada Aisha. Merasa permintaan untuk merahasiakan affairnya tidak dituruti Hafsa, akhirnya ia mengeluarkan ayatnya;

      QS 66: 3 – 4

      Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula

      Muhammad yang merasa sakit hati atas perbuatan Hafsa membocorkan rahasianya akhirnya kembali lagi ketempat Maria, sudah kepalang tanggung pikirnya. Disaat mereka sedang berduaan, masuklah Hafsa kerumah, dan lagi2 ia mendapati Muhammad bersama Maria. Hafsa pun mulai mengomel; “Bagaimana janjimu? Bukankah kau sudah berjanji padaku untuk tidak menyentuh Maria lagi. Haram itu..” Lalu Muhammad berkata bahwa barusan ia dikirimi Jibril ayat2 dari surga;

      QS 66:1-2

      Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

      Hafsa masih menggerutu dengan ucapan Muhammad tersebut, lalu nabi berkata lagi;

      QS 66: 5

      Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.

      Karena diancam cerai, Hafsa langsung terdiam. Dia sadar bahwa ia bisa kesepian jika dicerai oleh Muhammad. Karena Allah sudah mengatakan bahwa siapapun tidak boleh menikahi istri2 rasul.

      QS 33: 53

      Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.

      Karena peristiwa itu pula, Muhammad mengambil kesempatan sebulan penuh untuk bercumbu dengan Maria. Sekaligus memberi pelajaran kepada Hafsa dan Aisha yang sering bergosip mengenai dirinya.

      Sahih Bukhari 43, Nomer 648:

      Sang Nabi tidak mengunjungi istri2nya karena Hafsa membocorkan rahasia kepada Aisha, dan sang Nabi berkata bahwa dia tidak akan mengunjungi para istrinya selama sebulan karena dia marah pada mereka ketika Allah membatalkan sumpahnya untuk tidak menyentuh Maria lagi.”

      Setahun kemudian setelah peristiwa itu Maria melahirkan seorang bayi yang diberi nama Ibrahim oleh Muhammad. Peristiwa Maria mempunyai anak ini begitu menggemparkan dikalangan istri2 Muhammad, karena diantara 15 an wanita yang ditiduri Muhammad tidak ada yang bisa mendapatkan anak dari Muhammad. Mereka berpikir bagaimana mungkin Maria bisa mengandung anak dari Muhammad sedangkan Aisha yang dinikahi Muhammad selama kurang lebih 9 tahun saja tidak bisa memiliki anak.

      Namun bagaimanapun juga Muhammad begitu gembira atas kelahiran anak Maria tersebut. Muhammad kemudian membawa Ibrahim kepada Aisha dan berkata, “Lihat betapa dia mirip denganku.” Aisya menjawab, “Tak kulihat kemiripannya denganmu.” Muhammad bilang, tidakkah kau lihat pipinya yang tembam dan putih? Aisya lalu menjawab, “Semua bayi yang baru lahir yang minum susu punya pipi tembam.” [Tabaqat Volume I, page 125]

      Hayo! Anak siapakah sebenarnya Ibrahim ini?

      Kemalangan rupanya menimpa Ibrahim, tanpa sebab yang jelas bayi 2 bulan ini akhirnya meninggal. Sekali lagi kisah ini mempertanyakan moral nabi kita Muhammad, seseorang yang dianggap sebagai suri teladan yang baik.
      Mungkinkah Allah mengirim Jibril hanya untuk membatalkan sumpah Muhammad kepada Hafsa?
      Bermoralkah seorang kakek berumur 60 tahun menghamili pembantunya yang berumur 20 tahun tanpa menikahinya?
      Inikah yang dikatakan suri teladan terbaik?

      • lim bho tak 7:12 am on 12/02/2013 Permalink | Reply

        KISAH SEBENARNYA TENTANG ISTRI NABI MUHAMMAD. SAW

        JAWABAN ATAS FITNAH YAHUDI ANGGUR ASAM YANG DENGKI SAMA NABI MUHAMMAD BANGSA ARAB KETURUNAN NABI ISMAIL ANAK NABI IBRAHIM.
        KISAH ISTRI NABI MUHAMMAD JUWAIRIAH RA.

        (8) Hadhrat Juwairiah bintul Harith (Radhiyallaho anha):

        She was one of the large number of captives who fell ! into Muslim hands after the battle of Muraisee’, and she
        was given to Hadhrat Thabit bin Qais (Radhiyallaho anho).
        He offered to release her for 360 Dirhams. She came to the
        Prophet (Sallallaho alaihe wasallam) and said:
        “0,Pr ophet of Allah! I am the daughter of Harith who
        is the chief of the tribe, and you know my story. The
        ransom demanded by Hadhrat Thabit (Radhiyallaho
        anho) is too much for me. I have come to seek your
        help in the matter.”
        The Prophet (Sallallaho alaihe wasallam) agreed to pay her
        ransom, set her free, and offered to take her as his wife. She
        was very glad to accept this offer. She was married to the
        Prophet in 5 A. H. and as a consequence of this marriage,
        the prisoners of Banu Mustaliq (Juwairiah’s tribe), about a
        hundred families, were all set free by the Muslims. “The
        tribe which was so honoured by the Prophet’s relationship,”
        they said, “should not remain in slavery.”
        Such were the noble expediences in all the marriages
        of the Prophet. Hadhrat Juwairiah (Radhiyallaho anha) was
        very pretty, her face was very attractive. Three days before
        her falling captive in the battle, she had seen in her dream
        the moon coming out from Madinah and falling into her
        lap. She says:
        “When I was captured, I began to hope that my dream
        would come true.”
        She was 20 at the time of her marriage with the Prophet
        (Sallallaho alaihe wasallam). She died in Rabi-ul-Awwal,
        50 A. H., in Madinah at the age of 65. ,

        ALLAH TELAH MEMULIAKAN NABI MUHAMMAD DI QURAN
        MAKANYA ORANG PINTER SEKALIBER PROFFESOR DOKTOR YAHYA WALONI DAN DOKTOR IRENE HANDONO KEMBALI KE ISLAMITULAH KEBENARAN KISAHNYA.
        Reply

        LIM BHO TAK Says:

        February 11, 2013 at 4:43 am

        KISAH SEBENARNYA ISTRI NABI MUHAMMAD SAW . SAFIYYAH RA

        (10) Hadhrat Safiyyah (Kadhiyallaho anha):
        She was the daughter of Hayi, who was a descendant
        of Hadhrat Harun (Alaihis salaam) the brother of Hadhrat
        Moosa (Alaihis salaam). She was first married to Salam bin
        Mishkam and then to Kinanah bin Abi Huqaiq at the time
        of Kheybar. Kinanah was killed in the battle and she was
        captured by the Muslims. Hadhrat Dahya Kalbi (Radhiyallaho
        anho) requested for a maid, and the Prophet made her
        over to him. At this, the other Sahabah approached the
        Prophet (Sallallaho alaihe wasallam) and said:
        “0, Prophet of Allah! Banu Nazir and Banu Quraizah
        (the Jewish tribes of Madinah) will feel offended to see
        the daughter of a Jewish chief working as a maid. We
        therefore suggest that she may be taken as your own
        wife.” I
        The Prophet paid a reasonable sum of money to Hadhrat
        Dahya (Radhiyallaho anho) as ransom, and said to Safiyyah:
        “You are now free: if you like you can go back to your
        tribe or can be my wife.”
        She said: “I longed to be with you while I was a Jew. How
        can I leave you now, when I am a Muslim?”
        This is probably a reference to the fact that she once saw in
        -her dream a portion of the moon falling into her lap. When
        she mentioned her dream to Kinanah, he smote her face. so
        severely that she developed a mark on her eye He said:
        “You seem to be desiring to become the wife of the
        King of Madinah.”
        Her father is also reported to have treated her similarly
        when she related the same or similar dream to him. She
        again saw (in her dream) the sun lying on her breast. When
        she mentioned this to her husband, he remarked:
        “You seem to be wishing to become the Queen of Madinah.”
        She says: “I was seventeen when I was married to the
        Prophet (Sallallaho alaihe wasallam).
        She came to live with the Prophet (Sallallaho alaihe
        wasallam) when he was camping at the first stage from
        Khaiber. Next morning, he said to the Sahabah:
        “Let everybody bring whatever he has got to eat.”
        They brought their own dates, cheese, butter, etc. A long
        leather sheet was spread and all sat round it to share the
        food among themselves. This was the Walimah for the marriage.
        She died in Ramadhan, 50 A. H., when she was about
        60.
        PENDETA2 YAHUDI PERUSAK AGAMA ALLAH, PEMBUNUH PARA NABI ALLAH.ANGGUR ASAM ITU AKAN BINASA DI NERAKA

  • SERBUIFF 1:49 pm on 17/08/2012 Permalink | Reply
    Tags: Shafiyah binti Huyai bin Akhtab, Ummul Mukminin dari Kalangan Yahudi   

    Shafiyah binti Huyai bin Akhtab, Ummul Mukminin dari Kalangan Yahudi 

    Shafiyah binti Huyai bin Akhtab, Ummul Mukminin dari Kalangan Yahudi
    Rubrik: Jejak – Dibaca: 2781 kali

    Tak banyak yang tahu bahwa di kalangan Ummul Mukminin ada yang berasal dari kaum Yahudi. Dialah Shafiyah binti Huyai. Dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah atau dua tahun setelah kenabian Rasulullah. Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah. Sedang ayahnya adalah Huyai bin Akhtab, seorang pimpinan Yahudi terpandang dari kalangan Bani Nadhir. Jika dirunut silsilah keluarganya, Shafiyah masih tergolong keturunan Nabi Harun as.

    Sejak masih muda, Shafiyah sudah menggemari ilmu pengetahuan dan sejarah tentang Yahudi. Dari kitab suci Taurat dia mengetahui bahwa kelak akan datang seorang nabi penyempurna agama samawi yang berasal dari jazirah Arab. Fitrahnya yang hanif membuatnya merasa heran ketika ayah dan saudara-saudarnya mendustakan kenabian Muhammad dan risalah Islam yang dibawanya.

    Karena kaum Yahudi, khususnya Bani Quraizhah dan Bani Nadhir mengingkari perjanjian Hudaibiyah, terlebih lagi Huyai menghasut kaum Quraiys untuk menyerang kaum muslimin, Rasulullah memutuskan untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Dengan izin Allah peperangan yang terjadi di lembah Khaibar itu dimenangkan oleh kaum Muslimin. Benteng-benteng pertahanan kaum Yahudi berhasil dihancurkan kaum Muslimin. Banyak laki-laki Yahudi yang mati terbunuh, sedang yang masih hidup, bersama wanita dan anak-anak di jadikan tawanan. Shafiyah menjadi salah satu tawanan yang ditangkap oleh kaum Muslimin.

    Suami Shafiyah, Kinanah bin Rabi, beserta ayah dan pamannya mati terbunuh. Shafiyah pun hidup sebatang kara dan menjadi tawanan pasukan musuh. Lalu, Bilal menggiring Shafiyah, melewati banyak mayat keluarga dan kaumnya untuk menghadap Rasulullah. Melihat kedatangan Shafiyah, Rasulullah bangkit dan menaruh jubah di kepala Shafiyah. Beliau mendekati Bilal dan berkata, “Apakah kau sudah tidak punya perasaan kasih sayang hingga membiarkan wanita-wanita itu melewati mayat orang-orang yang mereka cintai?”
    Kemudian Rasulullah mengambil keputusan mengenai rampasan perang, termasuk para tawanan. Rasulullah saw berkata pada Shafiyyah, “Pilihlah! Jika engkau memilih Islam, aku akan menikahimu. Dan jika engkau memilih agama Yahudi, Insya Allah aku akan membebaskanmu supaya engkau bisa bergabung dengan kaummu,” tawar Rasulullah bijaksana.
    “Ya Rasulullah, Aku telah menyukai Islam dan membenarkanmu sebelum engkau mendakwahiku. Aku tidak meyakini agama Yahudi. Orangtua dan saudara-saudaraku pun telah tiada. Allah dan Rasul-Nya lebih aku sukai dari pada dibebaskan untuk kembali ke pada kaumku,” jawab Shafiyah tegas. Rasulullah pun kemudian menikahi Shafiyah dengan

    memberikan mahar berupa kebebasannya.

    Walaupun sudah menjadi Ummul Mukminin, banyak sahabat yang kurang menyukai Shafiyah karena latar belakangnya sebagai seorang Yahudi. Bahkan Shafiyah pernah menangis karena Aisyah dan Hafsah –isteri lain Rasulullah- pernah menyindirnya sebagai wanita Yahudi. Lalu Rasulullah menghiburnya: “Mengapa tidak kau katakan, bahwa aku lebih baik dari kamu. Ayahku Harun, pamanku Musa, dan suamiku Muhammad saw?”

    Maka sejak itu, setiap ada yang mengganggunya Shafiyah pun menjawab sesuai dengan jawaban yang diajarkan Rasulullah.

    Setelah Rasulullah wafat, semakin sering terdengar ada yang mempermasalahkan latar belakang Shafiyah sebagai Yahudi. Namun beliau tetap tegar dan membuktikan kesetiaannya pada Islam dengan membantu Khalifah Umar dan Utsman. Shafiyah wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Sufyan sekitar tahun 50 H. Jenazahnya dimakamkan di Baqi, berdampingan dengan makam istri Rasulullah saw yang lain.

    Aini Firdaus

    http://www.ummi-online.com/berita-18-shafiyah-binti-huyai-bin-akhtab–ummul-mukminin-dari-kalangan-yahudi.html

    =================================

     
     

    Shafiyah binti Huyay

    Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

    Shafiyah binti Huyay (Bahasa Arab صفية بنت حيي‎, Shafiya/ Shafya/ Safiyya/ Sofiya) (sekitar 610 M – 670 M) adalah salah satu istri ke-11 Muhammad yang berasal dari suku Bani Nadhir. Ketika menikah, ia masih berumur 17 tahun.[1] Ia mendapatkan julukan “Ummul mu’minin“.[2] Bapaknya adalah ketua suku Bani Nadhir, salah satu Bani Israel yang bermukim disekitar Madinah.

    Daftar isi

    Genealogi

    Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Muhammad.

    Biografi

    Shafiyah telah menjanda sebanyak dua kali, karena dia pernah kawin dengan dua orang keturunan Yahudi yaitu Salam bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan bernama Salam bin Musykam), salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama.

    Kemudian suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi’ bin Abil Hafiq, ia juga salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah yang diusir Rasulullah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya Kinanah bin Rabi’ telah tertawan, karena kalah dalam pertempuran tersebut. Dalam satu perundingan Shafiyah diberikan dua pilihan yaitu dibebaskan kemudian diserahkan kembali kepada kaumny atau dibebaskan kemudian menjadi isteri Muhammad, kemudian Safiyah memilih untuk menjadi isteri Muhammad.

    Shafiyah memiliki kulit yang sangat putih dan memiliki paras cantik, menurut Ummu Sinan Al-Aslamiyah, kecantikannya itu sehingga membuat cemburu istri-istri Muhammad yang lain. Bahkan ada seorang istri Muhammad dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy bangsa Arab, sedangkan dirinya adalah wanita asing (Yahudi). Bahkan suatu ketika Hafshah sampai mengeluarkan lisan kata-kata, ”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan Shafiyah menangis. Muhammad kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah seorang putri seorang nabi dan pamanmu adalah seorang nabi, suamimu pun juga seorang nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian Muhammad bersabda kepada Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!” Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri-istri nabi yang lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”[3] Shafiyah wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu’awiyah.

    Sejak kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekkah. Dia sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis di dalam kitab mereka sendiri. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum Muslim.

    Sifat dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Qurayzhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak mengkhianati kaum Muslim (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk menghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum Muslim dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan Tuhan mereka lebih baik daripada Tuhan Muhammad.

    Penaklukan Khaibar dan Penawanannya

    Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Muhammad segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin.

    Setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun, Muhammad merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Muhammad memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.

    Bilal membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Muhammad. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Muhammad memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian ia bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?” Muhammad memilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan untuk memeluk agama Islam kepadanya dan kemudian Shafiyyah menerima tawaran tersebut.

    Seperti telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Muhammad sejak dia belum mengetahui kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Muhammad dan rindunya terhadap Islam.

    Bukti-bukti yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalam tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya. Muhammad melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”

    Masa Pernikahannya (Menjadi Ummu al-Mukminin)

    Muhammad menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan Muhammad dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Muhammad ketika ia memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Muhammad, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslim, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Muhammad.

    Muhammad menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya ia terhadap istri-istri yang lain. Akan tetapi, istri-istri Muhammad menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Muhammad pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mengungkit-ungkit asal-usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis. Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Muhammad menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Kemudian Muhammad bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Muhammad kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”

    Salah satu bukti cinta Hafshah kepada Muhammad terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”

    Setelah Muhammad wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Muhammad. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’.

    Catatan kaki

    1. ^ Safiyya bint Huyay, Fatima az-Zahra by Ahmad Thompson
    2. ^ a b c d Stowasser, Barbara. The Mothers of the Believers in the Hadith. The Muslim World, Volume 82, Issue 1-2: 1-36.
    3. ^ Al-Shati’, 1971, 178-181

    Referensi

     
    • wikki 2:41 pm on 17/08/2012 Permalink | Reply

      Safiyah adalah gadis cantik yang berusia 17 tahun, ia adalah putri dari kepala suku Yahudi yang dikenal sebagai Bani Nadir. Nama ayahnya adalah Huyah ibn Akhtab. Bani Nadir dirampok oleh Muhammad dan diusir paksa oleh sang Nabi untuk meninggalkan tanah Arab. Sisa Bani Nadir dan keluarga Huyah ibn Akhtab, termasuk Safiyah melarikan diri ke tempat Bani Qurayza di Khaibar. Di Khaibar inilah Safiyah menikah dengan seorang pemuda Yahudi bernama Kinana al-Rabi, bendahara Bani Nadir.

      Beberapa bulan kemudian Muhammad dan pasukannya bersiap2 untuk merampok Bani Qurayza juga. Untuk meyakinkan dan menyenangkan pengikutnya atas perampokan ini, Muhammad menurunkan Sura al-Fath (Sura 48 ayat 20). Di sura ini ALLAH MENJANJIKAN BARANG2 HASIL PERAMPOKAN BAGI PARA MUSLIM YANG BERGABUNG DALAM JIHAD.

      Kemudian Muhammad memimpin tentaranya dan menyerang masyarakat Yahudi Khaybar. Akhirnya masyarakat Khaybar menyerah, Muhammad memerintahkan para lelaki agar diikat tangan mereka, sementara para wanita dan anak2 disekap secara terpisah. Melihat ini, suku Al-Aus memohon agar nabi memperlakukan mereka dengan ringan. Muhammad mengusulkan agar Sa‘d bin Mu‘adh, diberi tugas untuk menentukan hukuman dan mereka setuju.

      Sad bin Mu‘adh kemudian berkata; “Saya putuskan bahwa para laki2 mereka harus dibunuh dan anak2 serta kaum wanitanya harus diambil jadi tawanan”. Sahut Muhammad, “Hebat Sad! Engkau telah menjatuhkan putusan untuk mereka dengan putusan (menyerupai) keputusan Allah”. (Sahih Bukhari 52:280)

      Ahhirnya Sekitar 600-800 lelaki Yahudi dibantai disana termasuk ayah Safiyah juga. Rupanya Muhammad belum puas terhadap banyaknya harta yang ia dapatkan dari perampokan ini. Ia mencari Kinana al-Rabi, suami Safiyah yang mengelola keuangan Bani Nadir.

      “Ketika dia (nabi) menanyakannya (Kinana) tentang harta lainnya, Kinana menolak mengungkapkannya, maka nabi memberi perintah kepada al-Zubayr Al-Awwam, “Siksa dia hingga kamu dapat apa yang dia punya.” Lalu dia menyalakan api dengan batu keras dan baja di dadanya hingga dia hampir mati. Lalu sang nabi menyerahkannya kepada Maslama dan dia penggal kepalanya, sebagai balas dendam bagi saudara lelakinya Mahmud.” (Ibn Ishaq “Sirat Rasulallah”, p 515)

      Setelah para pria dibunuh, para wanitanya dikumpulkan untuk dibagi2kan kepada para Jihadis.

      Sahih Bukhari 8 no 367

      Dikisahkan oleh ‘Abdul ‘Aziz: Anas berkata, ‘Ketika Rasul Allah menyerang Khaibar, kami melakukan sembahyang subuh ketika hari masih gelap. Sang Nabi berjalan menunggang kuda dan Abu Talha berjalan menunggang kuda pula dan aku menunggang kuda di belakang Abu Talha. Sang Nabi melewati jalan ke Khaibar dengan cepat dan lututku menyentuh paha sang Nabi. Dia lalu menyingkapkan pahanya dan kulihat warna putih di pahanya. Ketika dia memasuki kota, dia berkata, “Allahu Akbar! Khaibar telah hancur. Ketika kita mendekati suatu negara maka kemalangan menjadi pagi hari bagi mereka yang telah diperingatkan.” Dia mengulangi kalimat ini tiga kali. Orang2 ke luar untuk bekerja dan beberapa berkata, ‘Muhammad (telah datang)’ (Beberapa kawan kami berkata, “Dengan tentaranya.”)

      Kami menaklukkan Khaibar, menangkap para tawanan, dan harta benda rampasan dikumpulkan. Dihya datang dan berkata, ‘O Nabi Allah! Berikan aku seorang budak wanita dari para tawanan.’ Sang Nabi berkata, ‘Pergilah dan ambil budak mana saja.’ Dia mengambil Safiya bint Huyai. Seorang datang pada sang Nabi dan berkata, ‘O Rasul Allah! Kauberikan Safiya bint Huyai pada Dihya dan dia adalah yang tercantik dari suku2 Quraiza dan An-Nadir dan dia layak bagimu seorang.’ Maka sang Nabi berkata,’Bawa dia (Dihya) beserta Safiya.’ Lalu Dihya datang bersama Safiya dan ketika sang Nabi melihatnya (Safiya), dia berkata pada Dihya,’Ambil budak wanita mana saja lainnya dari para tawanan.’ Anas menambahkan: sang Nabi lalu membebaskannya dan mengawininya.”

      Thabit bertanya pada Anas,”O Abu Hamza! Apa yang dibayar sang Nabi sebagai maharnya?” Dia menjawab, “Dirinya sendiri adalah maharnya karena dia telah membebaskannya (dari status budak) dan lalu mengawininya.” Anas menambahkan, “Di perjalanan, Um Sulaim mendandaninya untuk (upacara) pernikahan dan malam ini Um Sulaim mengantar Safiya sebagai pengantin sang Nabi.

      Oo begitu ya kelakuan seorang nabi, tak tahan melihat gadis cantik lalu merebutnya dari tangan Dihya?

      Karena tak tahan dengan kecantikannya maka Muhammad pun mengambil Safiyah untuk ditidurinya. Malam itu juga Muhammad menggauli Safiyah, setelah siang tadi ia puas membantai anggota suku, keluarga, ayah, serta suami Safiyah.

      Bagaimana anda membayangkan perasaan Safiyah saat itu?

      Di Tabaqat dikisahkan bahwa Abu Ayyub al-Ansari menjaga tenda sang nabi semalaman selama Muhammad menggauli Safiyah. Ketika fajar tiba, nabi melihat Abu Ayyub terus berjaga2. Nabi bertanya alasannya dan ia menjawab, ”Saya khawatir tentang perbuatan wanita ini terhadapmu. Anda telah membunuh suami, ayah dan banyak kerabatnya dan sampai saat ini ia masih kafir. Saya sangat menghawatirkan pembalasan darinya.”

      Keesokan harinya baru dilaksanakan pernikahan Muhammad dan Safiah, nah di pesta pekawinan ini Muhammad di racun oleh wanita Yahudi dan tewas 3 tahun kemudian.

      Bagaimana Islam Arab membumbui kisah nabinya ini agar nampak mulia?

      Kisah dibawah ini diambil dari Tabaqat nya Ibn Sa”ad;

      “Nabi kemudian memberikannya pilihan: bergabung dengan sukunya setelah bebas ATAU menerima Islam dan mengadakan hubungan perkawinan dengan nabi.”

      “Ketika Safiyah menikah, ia sangat muda, berumur 17 tahun, dan sangat cantik. Bukan hanya ia sangat mencintai Muhammad (???) iapun sangat menghormati kenabiannya karena sebelum menikah, ia telah mendengar pembicaraan ayah dan pamannya tentang Muhammad ketika ia baru saja mengungsi ke Medinah. Salah seorang berkata, ”Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad?”, jawabnya, ”Ia adalah benar seorang nabi yang telah diramalkan oleh kitab kita” (???) , lalu yang lain berkata, ”Lalu apa yang harus dilakukan?” jawabannya adalah “Kita harus menentangnya sekuat tenaga.”

      “Safiyah kemudian sadar akan kebenaran nabi. Dengan suka rela ia merawat, menyediakan kebutuhan dan menyenangkan nabi dengan berbagai cara. Hal ini jelas terlihat pada saat kedatangannya kehadapan nabi saat jatuhnya Khaibar.”

      “Kamu tahu setelah pernikahan rasul dengan Syafiah, beliau melihat tanda bekas Tamparan di pipi Syafiah dan beliau bertanya :”Apa ini?” Syafiah menceritakan bahwa dia bermimpi bahwa rembulan telah jatuh di kamarnya, (mengisyaratkan mimpi bahwa ia akan menikah dengan beliau), dan kemudian suaminya menampar pipinya… “

      Betapa lucunya pembelaan orang Arab satu ini !

      Masuk akalkah cerita ini? Bagaimana mungkin dua orang Yahudi menganggap Muhammad telah diramalkan di kitab mereka? Sedangkan Isa saja tidak mereka anggap sebagai nabi? Bagaimana mungkin dua orang Yahudi berhasil mengetahui ramalan tentang Muhammad dari kitab mereka, sedangkan selama 1400 tahun kaum terpelajar muslim saja tak mampu menemukannya!

      Andaipun benar mereka menganggap Muhammad adalah nabi, logiskah jika kemudian mereka justru menentang Muhammad ? Bukannya mereka seharusnya berbondong2 masuk Islam…

      Benarkah Syafiah secara suka rela menyerahkan dirinya kepada Muhammad? Bukankah itu bertentangan dengan kisah yang diceritakan pada Sahih Bukhari? Bukankah Safiyah adalah tawanan, yang ingin diperkosa Dihya, kemudian Muhammad merebutnya karena Syafiah sangat2 cantik. Dimana sukarelanya?

      Mungkinkah Syafiah bemimpi bertemu Dewa Bulan ( Muhammad maksudnya), kemudian ia jatuh hati pada Muhammad karena mimpinya itu? Mungkinkah Syafiah begitu gembira tidur bersama Muhammad seorang kakek 59 tahun, saat sebelumya 600 orang saudaranya termasuk ayah dan suaminya dibantai oleh Muhammad?

      Jika anda memuji perbuatan Muhammad tersebut maka para muslim seharusnya menyerang rumah2 non-muslim, membunuh mereka dan memperkosa istri2 mereka. Jika anda berkata TIDAK dan tindakan Muhammad pada jaman tersebut tidak dapat diterapkan pada peradaban sekarang, maka semua ayat yang mengatakan bahwa kita harus mengikuti contoh Muhammad menjadi tidak berarti.

      Muhammad bukan hanya figur sejarah.. Sebelum menjadi presiden Amerika, Washington mungkin meniduri budaknya. Pada jaman tersebut mungkin tindakan itu dianggap biasa, namun tidak ada orang yang mengatakan bahwa tindakan Washington ataupun Muhammad yang meniduri budak merupakan contoh yang harus diikuti UNTUK SEGALA JAMAN DAN UNTUK SEMUA BANGSA !

      • SERBUIFF 11:07 pm on 17/08/2012 Permalink | Reply

        Shafiyah binti Huyai bin Akhtab, Ummul Mukminin dari Kalangan Yahudi

        Tak banyak yang tahu bahwa di kalangan Ummul Mukminin ada yang berasal dari kaum Yahudi. Dialah Shafiyah binti Huyai. Dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah atau dua tahun setelah kenabian Rasulullah. Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah. Sedang ayahnya adalah Huyai bin Akhtab, seorang pimpinan Yahudi terpandang dari kalangan Bani Nadhir. Jika dirunut silsilah keluarganya, Shafiyah masih tergolong keturunan Nabi Harun as.

        Sejak masih muda, Shafiyah sudah menggemari ilmu pengetahuan dan sejarah tentang Yahudi. Dari kitab suci Taurat dia mengetahui bahwa kelak akan datang seorang nabi penyempurna agama samawi yang berasal dari jazirah Arab. Fitrahnya yang hanif membuatnya merasa heran ketika ayah dan saudara-saudarnya mendustakan kenabian Muhammad dan risalah Islam yang dibawanya.

        Karena kaum Yahudi, khususnya Bani Quraizhah dan Bani Nadhir mengingkari perjanjian Hudaibiyah, terlebih lagi Huyai menghasut kaum Quraiys untuk menyerang kaum muslimin, Rasulullah memutuskan untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Dengan izin Allah peperangan yang terjadi di lembah Khaibar itu dimenangkan oleh kaum Muslimin. Benteng-benteng pertahanan kaum Yahudi berhasil dihancurkan kaum Muslimin. Banyak laki-laki Yahudi yang mati terbunuh, sedang yang masih hidup, bersama wanita dan anak-anak di jadikan tawanan. Shafiyah menjadi salah satu tawanan yang ditangkap oleh kaum Muslimin.

        Suami Shafiyah, Kinanah bin Rabi, beserta ayah dan pamannya mati terbunuh. Shafiyah pun hidup sebatang kara dan menjadi tawanan pasukan musuh. Lalu, Bilal menggiring Shafiyah, melewati banyak mayat keluarga dan kaumnya untuk menghadap Rasulullah. Melihat kedatangan Shafiyah, Rasulullah bangkit dan menaruh jubah di kepala Shafiyah. Beliau mendekati Bilal dan berkata, “Apakah kau sudah tidak punya perasaan kasih sayang hingga membiarkan wanita-wanita itu melewati mayat orang-orang yang mereka cintai?”
        Kemudian Rasulullah mengambil keputusan mengenai rampasan perang, termasuk para tawanan. Rasulullah saw berkata pada Shafiyyah, “Pilihlah! Jika engkau memilih Islam, aku akan menikahimu. Dan jika engkau memilih agama Yahudi, Insya Allah aku akan membebaskanmu supaya engkau bisa bergabung dengan kaummu,” tawar Rasulullah bijaksana.
        “Ya Rasulullah, Aku telah menyukai Islam dan membenarkanmu sebelum engkau mendakwahiku. Aku tidak meyakini agama Yahudi. Orangtua dan saudara-saudaraku pun telah tiada. Allah dan Rasul-Nya lebih aku sukai dari pada dibebaskan untuk kembali ke pada kaumku,” jawab Shafiyah tegas. Rasulullah pun kemudian menikahi Shafiyah dengan

        memberikan mahar berupa kebebasannya.

        Walaupun sudah menjadi Ummul Mukminin, banyak sahabat yang kurang menyukai Shafiyah karena latar belakangnya sebagai seorang Yahudi. Bahkan Shafiyah pernah menangis karena Aisyah dan Hafsah –isteri lain Rasulullah- pernah menyindirnya sebagai wanita Yahudi. Lalu Rasulullah menghiburnya: “Mengapa tidak kau katakan, bahwa aku lebih baik dari kamu. Ayahku Harun, pamanku Musa, dan suamiku Muhammad saw?”

        Maka sejak itu, setiap ada yang mengganggunya Shafiyah pun menjawab sesuai dengan jawaban yang diajarkan Rasulullah.

        Setelah Rasulullah wafat, semakin sering terdengar ada yang mempermasalahkan latar belakang Shafiyah sebagai Yahudi. Namun beliau tetap tegar dan membuktikan kesetiaannya pada Islam dengan membantu Khalifah Umar dan Utsman. Shafiyah wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Sufyan sekitar tahun 50 H. Jenazahnya dimakamkan di Baqi, berdampingan dengan makam istri Rasulullah saw yang lain.

        Aini Firdaus

        http://www.ummi-online.com/berita-18-shafiyah-binti-huyai-bin-akhtab–ummul-mukminin-dari-kalangan-yahudi.html

    • wikki 2:46 pm on 17/08/2012 Permalink | Reply

      Berikut ini adalah sejarah Safiyah Binti
      Huyai Ibn Akhtab, wanita Yahudi yang
      ditangkap ketika pasukan Muhammad
      menyerang Khaibar dan membawanya
      kepada Nabi sebagai bagian dari
      rampasan perang. Muhammad memberi
      perintah agar Kinana, suami yang masih
      muda dari Safiyah, dianiaya hingga mati
      supaya ia (Kinana) mengaku dimana
      harta karun kota tersebut disimpan. Pada
      malam yang sama itu juga, Muhammad
      mengambil Safiyah dan dibawa ke
      ranjangnya dan menjadikan dia istrinya…
      Kisah ini dilaporkan secara detil oleh
      Tabari. Kisah ini juga dapat ditemui dalam
      Sirat Ibn Ishaq. Yang berikut ini dilaporkan
      dalam buku dari Tabaqat yang disusun
      oleh Ibn Sa’d.
      Dua tahun sebelumnya Muhammad telah memancung kepala Huyai, ayahnya
      Safiyah, beserta 900 pria dari Bani Quraiza.
      Huyai Ibn Akhtab, ayah Safiyah, adalah pemimpin Bani Nadir, salah satu suku
      Yahudi dari Medina. Para pengikut Muhammad telah membunuh sepasang suami
      istri Arab yang sebelumnya telah menandatangani traktat perdamaian dengan
      Muhammad. Nabi memutuskan untuk membayar uang darah kepada keluarga
      korban yang salah dibunuh. Ia lalu pergi ke Bani Nadir untuk meminta kepada
      mereka agar membayarkan uang darah ini. Permintaan itu sangat aneh, sebab
      orang-orang Yahudi tak ada sangkut pautnya dengan pembunuhan tersebut.
      Namun orang-orang Yahudi ini takut kepada Muhammad, karena Muhammad
      sebelumnya telah menghancurkan suku Yahudi yang lain, yaitu Bani Qainuqah
      dan oleh karena itu mereka takut hal ini akan terjadi juga kepada mereka.
      Orang-orang Yahudi selalu bersikap pengecut hingga hari ini dan mereka telah
      membayar harga atas sikap pengecut mereka. Kapankah mereka cukup belajar
      bahwa seseorang tak mungkin senang dengan gangster??? Kapankah mereka
      akan belajar bahwa mereka harus berperang melawan kelompok orang seperti
      itu?
      1
      Para tua-tua bani Nadir akhirnya mengumpulkan uang yang diminta. Muhammad
      dan para sahabatnya duduk dibawah sebuah dinding-perteduhan dikawasan
      Yahudi sambil menanti. Namun, maksud Muhammad sebenarnya adalah untuk
      menghancurkan Yahudi dan mengambil semua harta yang mereka miliki, dan
      bukan sekedar uang darah untuk kejahatan dari pengikut-pengikutnya.
      Muhammad berharap orang Yahudi akan memprotes sehinggga ia justru dapat
      memakai ini sebagai alasan untuk menyerang mereka.
      Setelah duduk-duduk dan menantikan, ia tiba-tiba bangkit dan pergi tanpa
      mengatakan apa-apa kepada siapapun. Para pengikutnya melihat bahwa ia
      berjalan terus, maka mereka pun pergi juga. Akhirnya Muhammad mengatakan
      kepada mereka, bahwa ada malaikat Jibril yang memberitahukan kepadanya,
      bahwa orang-orang Yahudi sedang merencanakan untuk melemparinya dengan
      sebuah batu dari atas dinding-perteduhan dan ingin membunuhnya. [Kalau ada
      peringatan Jibril tentang rencana pembunuhan, mengapa para pengikutnya
      ditinggalkan diam-diam?]. Ini tentu saja sebuah kebohongan. Kalau Bani Nadir
      betul-betul ingin membunuhnya, mereka tidak perlu melemparkan batu padanya.
      Muhammad ada dalam tangan mereka ketika itu. Mereka itu justru takut, dan
      inilah yang harus mereka bayar dengan nyawa mereka kelak.
      Muhammad kemudian menyerang
      Bani Nadir dan memutuskan aliran
      air mereka. Ketika mereka
      menyerah, Muhammad
      berketetapan untuk membunuh
      mereka semua. Namun Abdullah
      Ibn Obay, seorang pemimpin tua
      Arab Median mengintervensi.
      Muhammad khawatir hal ini akan
      menyebabkan perpecahan diantara
      pengikutnya sehingga ia akhirnya
      memutuskan tidak membunuh Bani
      Nadir. Sebagai gantinya ia mengambil semua harta kekayaan dan properti milik
      bani Nadir serta mengusir mereka.
      Maka Bani Nadir pun mengungsi ke Khaibar, yang merupakan benteng orangorang
      Yahudi di sebelah Utara Medina. Inilah yang membuat Safiyah tinggal di
      Khaibar dan menikahi Kinana, pemimpin muda dari kota tersebut. Akan tetapi,
      ayah Safiyah, Huyai, dipancung lehernya ketika Muhammad menyerang suku
      Yahudi yang terakhir di Medina, yaitu Bani Quraiza.
      2
      Safiyah berumur 17 tahun dan sangat cantik. Ketika Muhammad menyerang
      Khaibar ia membunuh semua lelaki disana. Orang-orang tidak siap untuk
      berperang. Mereka diserang secara mendadak. Muhammad bukanlah seorang
      pahlawan perang terbuka, melainkan seorang teroris yang melakukan
      penyergapan. Peperangannya disebut gazwah, yaitu sergapan/penyerangan
      dadakan.
      Maka Muhammad pun menangkap
      Kinana dan menyiksa dia karena
      Muhammad ingin tahu dimana harta
      kekayaan kota tersebut
      disembunyikan. Ia menusukkan
      batangan besi yang panas pada
      mata Kinana dan membutakannya.
      Kinana adalah pemuda ksatria, ia
      tidak buka mulut.
      Seorang Yahudi lain (mungkin nenek moyang-nya Noam Chomsky dan
      George Soros) telah mengabarkan kepada Muhammad dimana ia
      dapat menemukan harta kekayaan tersebut. Orang-orang Yahudi selalu
      memberikan saham kepada para pengkhianat.
      Kinana mati dibawah penyiksaan Muhammad. Kemudian Muhammad
      menanyakan kepada orang-orangnya untuk membawakan kepadanya gadis yang
      paling cantik. Safiyah adalah yang tercantik berumur 17 tahun, istri dari Kinana.
      Bilal membawa Kinana dan sepupu perempuan Kinana menghadap Muhammad.
      Namun ketika sepupu perempuan Kinana ini melihat jenazah saudaranya
      3
      terpotong-potong, ia pun menjadi histeris. Muhammad kemudian marah besar dan
      memerintahkan, “Bawa setan perempuan ini pergi dari saya”.
      Kemudian ia berkata kepada Bilal, “Tidakkah engkau mempunyai perasaan
      manusiawi sehingga menjejerkan wanita-wanita di depan jenazah orang yang
      mereka cintai?” Wah! Betapa hebatnya sang Nabi yang penuh dengan belas-asih
      dan perasaan manusiawi!?
      Selanjutnya ia membawa Safiyah ke tendanya, sebab ia telah menjadi seorang
      janda. Muhammad mengasihaninya dan memutuskan untuk mengambil ia
      sebagai istrinya. Tentu saja [Muslim berkilah], fakta ia muda dan cantik tidak ada
      hubungannya dengan keputusan Nabi. Masih ada beratus-ratus wanita lain yang
      juga telah menjadi janda pada hari tersebut.
      Berikut ini adalah periwayatan Tabaqat.
      “Safiyah dilahirkan di Medina. Ia berasal dari suku Yahudi Banu I-Nadir.
      Ketika suku ini diusir dari Medina tahun 4 AH, Huyai adalah salah satu
      dari orang-orang yang menetap di wilayah subur Khaibar bersama
      Kinana Ibn al-Rabi’ yang menikahi Safiyah sesaat sebelum Muslim
      menyerang Khaibar. Ia berumur 17 tahun. Sebelumnya ia adalah istri
      dari Sallam Ibn Mishkam yang menceraikannya. Disinilah, satu mil dari
      Khaibar, Nabi menikahi Safiyah. Dia dipelihara dan dirawat untuk Nabi
      oleh Umm Sulaim, ibu dari Anas Ibn Malik. Mereka menginap disana.
      Abu Ayyub al-Ansari menjaga tenda Nabi sepanjang malam. Pada saat
      subuh, Nabi yang melihat Abu Ayyub berjalan hilir mudik itupun
      bertanya kepadanya apa maksudnya, dan ia menjawab: “Saya khawatir
      akan engkau karena perempuan muda itu. Engkau telah membunuh
      ayahnya, suaminya, dan banyak dari keluarganya, dan dia juga masih
      seorang kafir. Saya sungguh khawatir terjadi apa-apa karena dia.
      Nabipun mendoakan Abu Ayyub al-Ansari (Ibn Hisham, p.766). Safiyah
      telah meminta kepada Nabi untuk menunggu hingga ia telah lebih
      menjauh dari Khaibar. “Kenapa?” tanya Nabi. “Saya mengkhawatirkan
      engkau karena orang-orang Yahudi yang masih dekat dengan
      Khaibar!”
      Alasan Safiyah menolak pendekatan seksual Muhammad tentu saja jelas bagi
      setiap orang yang berpikir. Saya percaya, praktis semua wanita memilih untuk
      berkabung ketimbang melompat ke dalam ranjang – bercengkerama dengan si
      pembunuh dari ayahnya, dan pembunuh suami dan banyak anggota keluarganya,
      pada hari yang sama.
      Tetapi kenyataannya Nabi Allah ini tak dapat menahan desakan nafsu seksualnya
      untuk satu hari saja dengan membiarkan perempuan muda ini untuk berkabung.
      Ini semua menggambarkan karakter moral Muhammad. Ia adalah seorang
      psikopat tanpa hati nurani dan empati.
      Untuk kelanjutan kisah ini kita tidak tahu persis apakah benar atau telah
      direkayasa oleh ahli sejarah Muslim yang ingin mengosongkan adanya kesan
      pemaksaan perkosaan. Tetapi ini adalah semua yang kita punyai, dan untuk
      menemukan kebenaran kita hanya bisa bergantung pada dokumen-dokumen
      4
      yang terlihat bias (ter-plintir) ini, yang dilaporkan dan ditulis sepihak oleh orangorang
      Muslim.
      Kisah selanjutnya menggambarkan Abu Ayyub yang mengkhawatirkan
      keselamatan Nabi, karena Nabi telah membunuh ayah, suami dan sejumlah
      anggota keluarga Safiyah. Hal ini logis. Tentu saja bodoh untuk tidur dengan
      seorang wanita dimana orang-orang yang dicintai oleh wanita tersebut baru
      dibunuhnya. Namun tampak bias alasan penolakan Safiyah terhadap pendekatan
      seksual Muhammad, tampak sekali kurang masuk akal. Ketika Muhammad
      membawa wanita muda ini ke dalam tendanya, ia telah membunuh banyak orang
      Yahudi, dan memperbudak orang-orang Yahudi lainnya.
      Jikalau masih ada orang Yahudi yang tertinggal, maka mereka mungkin lebih
      mengkhawatirkan hidup mereka sendiri ketimbang masalah Safiyah apakah ia
      diperkosa atau tidak. Lagipula wanita ini telah ada di dalam tenda sendirian
      dengan Muhammad, jadi bagaimana orang-orang Yahudi akan mengetahui kalaukalau
      mereka melakukan hubungan seks? Alasan ini kedengarannya bodoh dan
      tampaknya dipaksakan oleh Muslim untuk mengklaim bahwa Safiyah-lah yang
      menginginkan hubungan seks dengan Muhammad, dan bila tidak, itu hanya
      karena Safiyah mengkhawatirkan keselamatan Nabi (jadi bukan karena ada unsur
      pemaksaan/perkosaan).
      Muslim adalah sekelompok orang bodoh tertentu yang mempercayai omong
      kosong yang paling konyol tanpa berpikir, namun saya percaya ada kelompok lain
      yang wajar menyadarinya sebagai sebuah kebohongan.
      Dikatakan lebih lanjut,
      “Hari berikutnya Walima (pesta pernikahan) diselenggarakan atas nama
      Nabi…”
      Harap dicatat bahwa penulis sejarah ini berkata, bahwa pernikahan terjadi satu
      hari setelah Muhammad sendirian dengan Safiyah dan melakukan hubungan seks
      dengan dia. Ini tidak mendatangkan persoalan kepada Nabi, karena ia telah
      mendapatkan wahyu Allah yang mengatakan bahwa tidur dengan wanita yang
      ditangkap dari peperangan adalah baik-baik saja tanpa usah menikahi mereka,
      sekalipun mereka telah bersuami tadinya.
      “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
      budak-budak yang kamu miliki… “ (Surat 4:24)
      Ayat di atas menunjukkan bahwa Muhammad tidak berpendapat bahwa para
      budak mempunyai hak-hak apapun. Ketika Muslim berkuasa, ini akan menjadi
      nasib bagi semua wanita non-Muslim. Muslim tidak dapat mengubah sedikitpun
      apa yang telah dikatakan atau dikerjakan oleh Muhammad. Dan ini telah
      dikonfirmasikan di tempat-tempat lainnya:
      1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
      2. (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya,
      3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
      yang tiada berguna,
      4. dan orang-orang yang menunaikan zakat,
      5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
      5
      6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki;
      maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
      7. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang
      yang melampaui batas. (Surat 23:1-7).
      Marilah kita meneruskan kisah Safiyah. Dikatakan,
      “Para istri Nabi lainnya menunjukkan cemburunya dengan melakukan
      pelecehan terhadap keyahudiannya. Namun Nabi selalu membelanya.
      Suatu kali Safiyah dilukai dengan olok-olokan dari istri-istri Nabi yang
      Arab itu secara melampaui batas. Maka iapun (Safiyah) mengeluhkan
      hal tersebut kepada Nabi yang merasa sangat mengasihinya. Ia
      menghiburnya. Ia membesarkan hatinya. Ia memberi pikiran logis
      kepadanya. Ia berkata: “Safiyah, bersikap teguh dan beranilah. Mereka
      tidak memiliki apapun yang melebihi engkau. Katakan kepada mereka:
      “Aku adalah anak putri Nabi Harun, keponakan Nabi Musa, dan istri
      dari Nabi Muhammad…”
      Ketika ia dibawa bersama dengan para tahanan perang lainnya, Nabi
      berkata kepadanya,
      “Safiyah, ayahmu selalu membenci aku hingga Allah menetapkan
      keputusan terakhir.”
      Ia menjawab, “Tetapi Allah tidak menghukum seseorang atas dosa
      orang lain.”
      Hal ini (apa yang dikatakan Nabi) jelas berlawanan dengan perilaku Muhammad
      sendiri yang sudah menghancurkan seluruh Bani Qainuqa dengan alasan bahwa
      beberapa diantara mereka telah membunuh seorang Muslim ketika mereka
      membela dengan membalaskan kematian seorang Yahudi. Muhammad
      membinasakan seluruh anggota suku itu, ketika membalas kematian satu orang
      Muslim! Padahal Muslim tersebut telah terlebih dahulu membunuh seorang
      Yahudi, namun itu tidak dianggap/diperhitungkan oleh Muhammad. Ia
      membutuhkan sebuah alasan demi mendapatkan harta-kekayaan mereka.
      Ini sungguh mengabaikan ayat yang berkata: “bahwasanya seorang yang berdosa
      tidak akan memikul dosa orang lain” (Surat 53:38). Jadi jelas bukan Allah yang
      membuat keputusan akhirnya. Maka tampak betapa orang yang satu ini mencuci
      tangannya terhadap kejahatannya sendiri. Ayah Safiyah dibunuh oleh
      Muhammad, bukan Allah [tetapi Muhammad memplintirkannya seolah Allah-lah
      yang memutuskan]. Jikalau Allah mengingini membunuh seluruh orang-orang
      tersebut, Ia tentu telah melakukannya dengan cara-Nnya sendiri. Allah tidak
      memerlukan pembunuh bayaran (yang merampas harta) untuk melaksanakan
      kehendakNya.
      Dikatakan lebih lanjut,
      “Kemudian Nabi memberinya kebebasan untuk memilih apakah Safiyah
      mau tetap bergabung dengan kaumnya, ataukah menerima Islam dan
      masuk dalam hubungan pernikahan dengan dia”.
      6
      Memberinya kebebasan? Kebebasan macam apakah itu?
      Muhammad telah membunuh suaminya dan semua anggota keluarganya.
      Kemanakah ia harus pergi sekarang? Melebur dengan orang-orang dari
      kaumnya? Orang-orang manakah itu? Orangnya praktis telah terbunuh dan
      wanita-wanitanya telah ditawan dan jadi budak.
      “Dia sangat pintar dan lembut hati dan berkata: “ O Rasul Allah, aku
      telah berharap akan Islam, dan aku telah menegaskan sebelum
      undanganmu. Kini ketika aku mendapat kehormatan berada
      dihadapanmu, dan diberi kebebasan untuk memilih diantara kafir dan
      Islam, maka aku bersumpah demi Allah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
      adalah lebih berharga kepadaku ketimbang kebebasan diriku dan
      bagaimana aku sebelumnya bergabung dengan kaumku.”
      Apakah ini sebuah pengakuan, yaitu pengakuan yang jujur? Apakah ia bebas dan
      aman mengutarakan pikirannya? Ia ditawan oleh seorang lelaki yang telah
      menghabisi keluarganya. Sesungguhnya ini menunjukkan dengan jelas betapa ia
      tidak bebas berulah. Ia mungkin saja sangat pintar menyiasati sebuah dusta demi
      menyelamatkan dirinya, tetapi lebih mungkin lagi kisah ini telah dikarang untuk
      menceritakan sebuah dusta tersendiri!
      Ketika Safiyah menikah, ia masih sangat muda, dan menurut sebuah
      laporan ia hampir berumur 17 tahun dan berperawakan amat sangat
      cantik. Ada satu kali Aisyah berkata tentang kekurangannya (mencela),
      untuk mana Nabi berkata, “Engkau telah mengatakan sesuatu yang
      apabila itu dimasukkan ke dalam laut, maka hal itu akan melebur
      bersama air laut itu (dan mengeruhkan airnya).” (Abu Dawud)
      Ia tidak hanya sangat dalam mencintai Nabi, tetapi juga sangat besar
      rasa hormatnya kepadanya sebagai Rasul Allah. Sebab ia telah
      mendengar apa yang dikatakan oleh ayah dan pamannya ketika
      mereka pergi ke Medinah. Ketika hijrah ke Medinah mereka datang
      bertemu dengan dia untuk mengetahui apakah dia betul Rasul Allah
      yang sejati seperti yang disampaikan oleh Alkitab. Ketika mereka
      pulang dan berbicara bersama malam itu, Safiyah ada ditempat
      tidurnya dan mendengar pembicaraan mereka. Salah satunya berkata,
      “Bagaimana pendapatmu tentang dia?” Ia menjawab, “Ia adalah Nabi
      yang sama yang dinubuatkan oleh Alkitab kita.” Lalu berkata yang lain,
      “Apa yang harus dilakukan?” Dan jawabannya adalah bahwa mereka
      harus melawannya dengan segala kekuatan.”
      Kisah ini, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, apakah dapat dipercayai?
      Bagaimanakah caranya kedua orang Yahudi biasa itu mengenal Muhammad
      sebagai nabi yang dinubuatkan oleh Kitab Suci, lalu (kok malah) memutuskan
      untuk melawannya dengan segala kekuatan mereka? (Semestinya bila mereka
      tahu itu nabi yang dikisahkan Musa, mereka justru akan mendukungnya!). Jadi
      semuanya adalah kontra logika. Hanya orang Muslim yang “tekor-intelektuil” yang
      akan percaya akan kisah nonsense ini.
      7
      Dikatakan, dia sangat mencintai Muhammad yang adalah pembunuh ayah dan
      suaminya? Betapa naifnya Muslim dapat mempercayai periwayatan ini?
      Bagaimana seorang gadis muda cantik berumur 17 tahun dapat segera mencintai
      seorang tua bangka yang giginya ompong dan badannya berbau? Bacalah buku
      saya ”Understanding Muhammad” untuk mengetahui betapa postur Muhammad
      cacat dan berbau. Kita curiga bahwa kata-kata tersebut berasal dari Safiyah, dan
      andaikata itu benar, orang akan mencium hal itu sebagai kebohongan Safiyah
      dalam usahanya untuk mencari keselamatan diri. Kita hanya memerlukan otak
      yang aktif untuk mendapati kebohongan Muslim.
      Kenapa seseorang sampai perlu mati-matian melawan seseorang lainnya yang
      diketahuinya sebagai nabi yang dijanjikan dalam Alkitab? Dan dimana
      Muhammad dijanjikan dalam Alkitab? Adakah Muhammad disebut dalam Alkitab?
      (Is Muhammad mentioned in the Bible?) Baca artikel ini untuk melihat dusta yang
      menyedihkan seperti itu. Muhammad tidak disebut di dalam Alkitab maupun di
      dalam kitab sakral manapun.
      “Maka Safiyah pun yakin akan kebenaran sang Nabi. Ia tak lelahlelahnya
      mengurus dan merawat dia (Muhammad), serta memberikan
      semua kenyamanan yang dapat diupayakannya. Ini terlihat sejak ia
      menjadi bagian dalam kehidupannya (Muhammad) setelah jatuhnya
      Khaibar.”
      Lihat betapa penulis menyangkal dirinya sendiri dalam satu halaman yang sama?
      Hanya beberapa baris sebelumnya kita membaca bahwa Safiyah ditawan dan
      dibawa kepada Muhammad sebagai tawanan, bukan atas kemauannya sendiri. Ia
      dibawa kepada Muhammad sebab ia muda dan cantik.
      “Nabi sedikit kecewa kepadanya karena ia pada awalnya (dalam
      perjalanan) telah menolak Nabi ketika ingin menggaulinya (hubungan
      seks). Pada perhentian perjalanan berikutnya, Nabi menggaulinya
      hingga sepanjang malam. Ketika ia (Safiyah) ditanyai oleh Umm
      Sulaim, “Apa yang engkau lihat pada diri Rasul Allah?” Ia berkata
      bahwa dia (Muhammad) sangat senang terhadapnya dan tidak tidur
      melainkan bercakap-cakap sepanjang nalam. Dia (Muhammad)
      bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menolak ketika aku mau
      menggaulimu pertama kalinya?” Ia menjawab, ‘Aku mengkhawatirkan
      engkau sebab tempatnya dekat dengan Yahudi’. “Hal ini meningkatkan
      nilaiku lebih lanjut dimatanya.” (Tabaqat)
      Bukhari juga telah mencatatkan beberapa Hadits yang menceritakan tentang
      invasi Khaibar dan bagaimana kisah Muhammad bertemu dengan Safiyah.
      Diriwayatkan ‘Abdul’ Aziz:
      Anas berkata, “Ketika Rasul Allah menginvasi Khaibar, kami melakukan
      shalat Subuh disana ketika hari masih gelap… Ketika ia memasuki
      kota, ia berseru, “Allahu Akbar! Khaibar diruntuhkan… Kami
      menaklukkan Khaibar, menawan tawanan, dan barang jarahan
      dikumpulkan. Dihya datang dan berkata, ‘O Rasul Allah! Berilah aku
      seorang budak perempuan diantara tawanan’. Nabi berkata, ‘Pergi dan
      8
      ambillah budak perempuan yang mana saja’. Iapun mengambil Safiya
      binti Huyai. (Tetapi) Seseorang datang kepada Nabi dan berkata, ‘O
      Rasul Allah! Engkau memberikan Safiya binti Huyai kepada Dihya,
      padahal ia (Safiya) adalah perempuan paling terkemuka dari suku
      Quraiza dan An-Nadir dan ia hanya pantas untuk engkau saja’. Maka
      Nabi berkata, ‘Bawa ia (Dihya) bersama dia (Safiya)’. Maka keduanya
      menghadap dan ketika Nabi melihat Safiya, iapun berkata kepada
      Dihya, ‘Ambillah gadis budak mana saja dari para tawanan selain dia’.
      Anas menambahkan: Nabi membebaskan perbudakannya dan
      mengawininya.” [Nabi menelan janji pertama, dan menggantikannya
      dengan janji kedua, ketika tersilau dan bernafsu dengan kecantikan
      Safiyah. Contoh moral surgawi!].
      Thabit bertanya kepada Anas, “O Abu Hamza! Apa yang Nabi bayarkan
      kepadanya (Safiya) (sebagai mahar)? Ia menjawab, “Dirinya sendiri
      adalah maharnya sebab dia (Muhammad) telah membebaskannya dari
      perbudakan dan kemudian mengawininya.” Anas menambahkan,
      “Ketika dalam perjalanan, Um Sulaim mendandaninya untuk upacara
      perkawinan dan pada malamnya dia mengirimnya sebagai pengantin
      perempuan untuk Nabi”. (Sahih Bukhari 1.367)
      Mahar adalah “emas kawin” yang diperoleh pengantin perempuan dari pihak
      suaminya tatkala ia mengawininya. Muhammad tidak membayar mahar kepada
      Safiyah, sebab ia (Muhammad) harus membayarkan kepada dirinya sendiri untuk
      memerdekakan Safiyah. Kisah ini adalah luar biasa, sebab ini memberi
      pencerahan kepada kita tentang nilai-nilai moral dan etika dari Muhammad dan
      para pengikutnya yang keblinger. Muhammad adalah seorang psikopat. Namun
      Muslim tidak mempunyai rasa malu. Muslim meng-idola-kan seorang psikopat dan
      menginginkan kita juga untuk menghormati mereka. Apakah ke-tolol-an ini layak
      atas sebuah penghormatan? Dengan mengikuti orang yang tidak waras semua
      orang akan bertindak tidak waras.
      Setiap orang yang terhormat atau orang normal jijik mendengar kisah semacam
      ini, namun Muhammad mengajarkan bahwa ia akan memperoleh 2 pahala
      dengan mengawini Safiyah. Satu adalah untuk memerdekakan seseorang yang
      sesungguhnya ia tawani sendiri, dan kedua adalah mengambilnya untuk
      menikahinya.
      “Abu Musa melaporkan bahwa Rasul Allah berkata tentang seseorang
      yang memerdekakan seorang wanita budak, dan kemudian
      menikahinya, bahwa baginya tersedia 2 pahala.” (Sahih Muslim Book
      008, Number 3327)
      [Sayangnya tidak disebutkan bahwa yang mengawininya adalah
      pembunuh ayah, suami, dan famili dari si wanita budak yang dikawini.
      Dan wanita budak tersebut adalah budak yang terjadi karena ulah dari
      yang akan mengawininya!]
      9
      Tidakkah ini menjijikkan? Buanglah ke-tolol-an “yang terhormat” dan berkelit-kelit
      ini dan namakanlah hitam adalah hitam. Muslim adalah sekelompok moron.
      Bagaimana mungkin bisa demikian konyol?
      Diriwayatkan oleh Anas:
      Nabi melakukan sholat subuh dekat Khaibar tatkala hari masih gelap
      dan ia berkata, “Allahu Akbar” Khaibar dihancurkan, sebab ketika kami
      menghadapi bangsa (lawan yang diperangi), maka kejahatan akan
      menjadi pagi hari bagi mereka yang telah diperingati.”
      Maka penduduk Khaibar lari keluar ke jalan-jalan. Sang Nabi telah
      membunuh pahlawan-pahlawan mereka, keturunan mereka, dan
      wanita yang ditawan sebagai tawanan. Safiyah adalah salah satu
      diantara tawanan. Dia pertama-tama diambil untuk menjadi milik Dahya
      Alkali, namun kemudian ia menjadi milik Nabi. Nabi memerdekakan dia
      sebagai maharnya. (Sahih Bukhari V.5 B.59 N.512)
      Sumber: http://alisina.org/safiyah-the-jewish-wife-of-muhammad/

      • SERBUIFF 11:03 pm on 17/08/2012 Permalink | Reply

        Shafiyah binti Huyai bin Akhtab, Ummul Mukminin dari Kalangan Yahudi
        Rubrik: Jejak – Dibaca: 2781 kali

        Tak banyak yang tahu bahwa di kalangan Ummul Mukminin ada yang berasal dari kaum Yahudi. Dialah Shafiyah binti Huyai. Dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah atau dua tahun setelah kenabian Rasulullah. Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah. Sedang ayahnya adalah Huyai bin Akhtab, seorang pimpinan Yahudi terpandang dari kalangan Bani Nadhir. Jika dirunut silsilah keluarganya, Shafiyah masih tergolong keturunan Nabi Harun as.

        Sejak masih muda, Shafiyah sudah menggemari ilmu pengetahuan dan sejarah tentang Yahudi. Dari kitab suci Taurat dia mengetahui bahwa kelak akan datang seorang nabi penyempurna agama samawi yang berasal dari jazirah Arab. Fitrahnya yang hanif membuatnya merasa heran ketika ayah dan saudara-saudarnya mendustakan kenabian Muhammad dan risalah Islam yang dibawanya.

        Karena kaum Yahudi, khususnya Bani Quraizhah dan Bani Nadhir mengingkari perjanjian Hudaibiyah, terlebih lagi Huyai menghasut kaum Quraiys untuk menyerang kaum muslimin, Rasulullah memutuskan untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu. Dengan izin Allah peperangan yang terjadi di lembah Khaibar itu dimenangkan oleh kaum Muslimin. Benteng-benteng pertahanan kaum Yahudi berhasil dihancurkan kaum Muslimin. Banyak laki-laki Yahudi yang mati terbunuh, sedang yang masih hidup, bersama wanita dan anak-anak di jadikan tawanan. Shafiyah menjadi salah satu tawanan yang ditangkap oleh kaum Muslimin.

        Suami Shafiyah, Kinanah bin Rabi, beserta ayah dan pamannya mati terbunuh. Shafiyah pun hidup sebatang kara dan menjadi tawanan pasukan musuh. Lalu, Bilal menggiring Shafiyah, melewati banyak mayat keluarga dan kaumnya untuk menghadap Rasulullah. Melihat kedatangan Shafiyah, Rasulullah bangkit dan menaruh jubah di kepala Shafiyah. Beliau mendekati Bilal dan berkata, “Apakah kau sudah tidak punya perasaan kasih sayang hingga membiarkan wanita-wanita itu melewati mayat orang-orang yang mereka cintai?”
        Kemudian Rasulullah mengambil keputusan mengenai rampasan perang, termasuk para tawanan. Rasulullah saw berkata pada Shafiyyah, “Pilihlah! Jika engkau memilih Islam, aku akan menikahimu. Dan jika engkau memilih agama Yahudi, Insya Allah aku akan membebaskanmu supaya engkau bisa bergabung dengan kaummu,” tawar Rasulullah bijaksana.
        “Ya Rasulullah, Aku telah menyukai Islam dan membenarkanmu sebelum engkau mendakwahiku. Aku tidak meyakini agama Yahudi. Orangtua dan saudara-saudaraku pun telah tiada. Allah dan Rasul-Nya lebih aku sukai dari pada dibebaskan untuk kembali ke pada kaumku,” jawab Shafiyah tegas. Rasulullah pun kemudian menikahi Shafiyah dengan

        memberikan mahar berupa kebebasannya.

        Walaupun sudah menjadi Ummul Mukminin, banyak sahabat yang kurang menyukai Shafiyah karena latar belakangnya sebagai seorang Yahudi. Bahkan Shafiyah pernah menangis karena Aisyah dan Hafsah –isteri lain Rasulullah- pernah menyindirnya sebagai wanita Yahudi. Lalu Rasulullah menghiburnya: “Mengapa tidak kau katakan, bahwa aku lebih baik dari kamu. Ayahku Harun, pamanku Musa, dan suamiku Muhammad saw?”

        Maka sejak itu, setiap ada yang mengganggunya Shafiyah pun menjawab sesuai dengan jawaban yang diajarkan Rasulullah.

        Setelah Rasulullah wafat, semakin sering terdengar ada yang mempermasalahkan latar belakang Shafiyah sebagai Yahudi. Namun beliau tetap tegar dan membuktikan kesetiaannya pada Islam dengan membantu Khalifah Umar dan Utsman. Shafiyah wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Sufyan sekitar tahun 50 H. Jenazahnya dimakamkan di Baqi, berdampingan dengan makam istri Rasulullah saw yang lain.

        Aini Firdaus

        http://www.ummi-online.com/berita-18-shafiyah-binti-huyai-bin-akhtab–ummul-mukminin-dari-kalangan-yahudi.html

      • lim bho tak 7:09 am on 12/02/2013 Permalink | Reply

        KISAH SEBENARNYA TENTANG ISTRI NABI MUHAMMAD. SAW

        JAWABAN ATAS FITNAH YAHUDI ANGGUR ASAM YANG DENGKI SAMA NABI MUHAMMAD BANGSA ARAB KETURUNAN NABI ISMAIL ANAK NABI IBRAHIM.
        KISAH ISTRI NABI MUHAMMAD JUWAIRIAH RA.

        (8) Hadhrat Juwairiah bintul Harith (Radhiyallaho anha):

        She was one of the large number of captives who fell ! into Muslim hands after the battle of Muraisee’, and she
        was given to Hadhrat Thabit bin Qais (Radhiyallaho anho).
        He offered to release her for 360 Dirhams. She came to the
        Prophet (Sallallaho alaihe wasallam) and said:
        “0,Pr ophet of Allah! I am the daughter of Harith who
        is the chief of the tribe, and you know my story. The
        ransom demanded by Hadhrat Thabit (Radhiyallaho
        anho) is too much for me. I have come to seek your
        help in the matter.”
        The Prophet (Sallallaho alaihe wasallam) agreed to pay her
        ransom, set her free, and offered to take her as his wife. She
        was very glad to accept this offer. She was married to the
        Prophet in 5 A. H. and as a consequence of this marriage,
        the prisoners of Banu Mustaliq (Juwairiah’s tribe), about a
        hundred families, were all set free by the Muslims. “The
        tribe which was so honoured by the Prophet’s relationship,”
        they said, “should not remain in slavery.”
        Such were the noble expediences in all the marriages
        of the Prophet. Hadhrat Juwairiah (Radhiyallaho anha) was
        very pretty, her face was very attractive. Three days before
        her falling captive in the battle, she had seen in her dream
        the moon coming out from Madinah and falling into her
        lap. She says:
        “When I was captured, I began to hope that my dream
        would come true.”
        She was 20 at the time of her marriage with the Prophet
        (Sallallaho alaihe wasallam). She died in Rabi-ul-Awwal,
        50 A. H., in Madinah at the age of 65. ,

        ALLAH TELAH MEMULIAKAN NABI MUHAMMAD DI QURAN
        MAKANYA ORANG PINTER SEKALIBER PROFFESOR DOKTOR YAHYA WALONI DAN DOKTOR IRENE HANDONO KEMBALI KE ISLAMITULAH KEBENARAN KISAHNYA.
        Reply

        LIM BHO TAK Says:

        February 11, 2013 at 4:43 am

        KISAH SEBENARNYA ISTRI NABI MUHAMMAD SAW . SAFIYYAH RA

        (10) Hadhrat Safiyyah (Kadhiyallaho anha):
        She was the daughter of Hayi, who was a descendant
        of Hadhrat Harun (Alaihis salaam) the brother of Hadhrat
        Moosa (Alaihis salaam). She was first married to Salam bin
        Mishkam and then to Kinanah bin Abi Huqaiq at the time
        of Kheybar. Kinanah was killed in the battle and she was
        captured by the Muslims. Hadhrat Dahya Kalbi (Radhiyallaho
        anho) requested for a maid, and the Prophet made her
        over to him. At this, the other Sahabah approached the
        Prophet (Sallallaho alaihe wasallam) and said:
        “0, Prophet of Allah! Banu Nazir and Banu Quraizah
        (the Jewish tribes of Madinah) will feel offended to see
        the daughter of a Jewish chief working as a maid. We
        therefore suggest that she may be taken as your own
        wife.” I
        The Prophet paid a reasonable sum of money to Hadhrat
        Dahya (Radhiyallaho anho) as ransom, and said to Safiyyah:
        “You are now free: if you like you can go back to your
        tribe or can be my wife.”
        She said: “I longed to be with you while I was a Jew. How
        can I leave you now, when I am a Muslim?”
        This is probably a reference to the fact that she once saw in
        -her dream a portion of the moon falling into her lap. When
        she mentioned her dream to Kinanah, he smote her face. so
        severely that she developed a mark on her eye He said:
        “You seem to be desiring to become the wife of the
        King of Madinah.”
        Her father is also reported to have treated her similarly
        when she related the same or similar dream to him. She
        again saw (in her dream) the sun lying on her breast. When
        she mentioned this to her husband, he remarked:
        “You seem to be wishing to become the Queen of Madinah.”
        She says: “I was seventeen when I was married to the
        Prophet (Sallallaho alaihe wasallam).
        She came to live with the Prophet (Sallallaho alaihe
        wasallam) when he was camping at the first stage from
        Khaiber. Next morning, he said to the Sahabah:
        “Let everybody bring whatever he has got to eat.”
        They brought their own dates, cheese, butter, etc. A long
        leather sheet was spread and all sat round it to share the
        food among themselves. This was the Walimah for the marriage.
        She died in Ramadhan, 50 A. H., when she was about
        60.
        PENDETA2 YAHUDI PERUSAK AGAMA ALLAH, PEMBUNUH PARA NABI ALLAH.ANGGUR ASAM ITU AKAN BINASA DI NERAKA

    • wikki 2:18 am on 18/08/2012 Permalink | Reply

      masuk akal kah seorang wanita muda yang baru menikah .. padahari dimana keluarganya dibunuh termasuk suaminya yang disiksa dulu didepan matanya karena harta ..mau menikahi bangkotan tuaa/?? apakah saudara tidak berpikir wanita itu dibawah tekanan ketakutan ???terus terang membaca ini saya hampir muntah ..padahal mulanya muhammad mengatakan ambil bagimu masing masing tawanan perempuan yang mana saja …tapi ketika dia tahu safifah tercantik ..kemudian dia mengubah pikiranya…jelas wanita ini dibawah tekanan dan ketakutan..

    • SERBUIFF 3:50 am on 18/08/2012 Permalink | Reply

      Sejak masih muda, Shafiyah sudah menggemari ilmu pengetahuan dan sejarah tentang Yahudi. Dari kitab suci Taurat dia mengetahui bahwa kelak akan datang seorang nabi penyempurna agama samawi yang berasal dari jazirah Arab. Fitrahnya yang hanif membuatnya merasa heran ketika ayah dan saudara-saudarnya mendustakan kenabian Muhammad dan risalah Islam yang dibawanya.

    • wikki 4:59 am on 18/08/2012 Permalink | Reply

      bukti mengatakan syafifah adalah seorang yang setia pada keluarganya ..satu satunya kesalahan dia .hanya karena dia cantik dan muda..dan lemah ..bukti dari tulisan tulisan para sahabat muhammad tidak bisa menutupi kebiadaban muhammad.

  • SERBUIFF 12:18 am on 19/04/2012 Permalink | Reply
    Tags: Mariyah al-Qibtiyah (Wafat-16H/637 M) salah seorang istri nabi Muhammad saw   

    Mariyah al-Qibtiyah (Wafat-16H/637 M) salah seorang istri nabi Muhammad saw 

    Mariyah al-Qibtiyah (Wafat-16H/637 M) salah seorang istri nabi Muhammad saw Nov 12, ’08 8:29 AM
    for everyone

    Mariyah al-Qibtiyah (Wafat-16H/637 M)

    Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.

    Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah.

    Dari Mesir ke Yastrib

    Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.

    Rasulullah mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam. Mereka pun menerirna ajakan tersebut.

    Rasulullah teläh menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.

    Ibrahim bin Muhammad .

    Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah r.a. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.

    Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah . dengan gembira.

    Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah . dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah rnengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya:

    “Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1)

    Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”

    Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.

    Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi . bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah . bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”

    Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,

    “Wahai Ibrahim, seandainya mi bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”

    Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah . mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.

    Saat Wafatnya

    Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.

    Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh
     
  • SERBUIFF 8:26 am on 16/09/2009 Permalink | Reply
    Tags: aisyah, istri, , , pernikahan nabi muhammad, rasulullah, Umur Aishah r.a. Semasa Berkahwin Dengan Rasulullah, umur aisyah, usia aisyah   

    Umur Aishah r.a. Semasa Berkahwin Dengan Rasulullah 

    Umur Aishah r.a. Semasa Berkahwin Dengan Rasulullah

    Adaptasi dari terjemahan Bahasa Inggeris kertas kerja hasil kajian oleh Maulana Habibur Rahman Siddiqui Kandhalawi. Beberapa pindaan dari teks asal dibuat untuk tujuan menjelaskan fakta.

    Umur Aishah r.a. Semasa Berkahwin Dengan Rasulullah

    1. Pengenalan

    2. Penghargaan Kepada Penulis

    3. Mukaddimah

    Hujah Pertama – Bertentangan Dengan Fitrah Manusia

    Hujah Kedua – Bertentangan Dengan Akal Yang Waras

    Hujah Ketiga – Tiada Contoh Ditemui Di Negeri Arab Atau Di Negeri Panas

    Hujah Keempat- Riwayat Ini Bukan Hadis Rasulullah S.A.W.

    Hujah Kelima – Riwayat Ini Diriwayatkan Oleh Hisham Selepas Fikirannya Bercelaru

    Hujah Keenam – Hanya Perawi Iraq Yang Menukilkan Riwayat Ini

    Hujah Ketujuh – Aishah R.A Masih Ingat Ayat Al-Quran Yang Diturunkan Di Tahun Empat Kerasulan

    Hujah Kelapan – Aishah R.A Masih Ingat Dengan Jelas Peristiwa Hijrah Abu Bakar R.A. Ke Habshah

    Hujah Kesembilan – Aishah R.A. Mengelap Luka Dan Hingus Usamah Bin Zaid R.A. Yang Dikatakan Sebaya Dengannya

    Hujah Kesepuluh – Ummul Mu’minin R.A. Turut Serta Di Dalam Peperangan Badar

    Hujah Ke-11 – Aishah R.A. Menyertai Perang Uhud Sedangkan Kanak-Kanak Lelaki Berumur Empat Belas Tahun Tidak Dibenarkan Menyertai Perang

    Hujah Ke-12 – Aishah R.A. Lebih Muda 10 Tahun Dari Kakaknya Asma, Dan Semasa Peristiwa Hijrah Asma R.A. Berumur 27 Atau 28 Tahun

    Hujah Ke-13 – Ahli Sejarah At-Tabari Mengatakan Aishah R.A. Lahir Di Zaman Jahilliyah (Sebelum Kerasulan)

    Hujah Ke-14 – Aishah R.A. Adalah Antara Orang-Orang Yang Terawal Memeluk Islam

    Hujah Ke-15 – Abu Bakar R.A. Bercadang Mengahwinkan Aishah R.A. Sebelum Berhijrah Ke Habshah

    Hujah Ke-16 – Aishah R.A. Disebut Sebagai Gadis Dan Bukan Kanak-Kanak Semasa Dicadangkan Untuk Bernikah Dengan Rasulullah

    Hujah Ke-17 – Rasullulah Tidak Tinggal Bersama Aishah R.A. Kerana Masalah Mendapatkan Mahar, Bukan Kerana Umur Aishah Yang Terlalu Muda

    Hujah Ke-18 – Hadis Yang Mensyaratkan Mendapat Persetujuan Seorang Gadis Sebelum Dikahwinkan Memerlukan Gadis Tersebut Telah Cukup Umur

    Hujah Ke-19 – Kebolehan Luarbiasa Aishah R.A Mengingati Syair Yang Biasa Disebut Di Zaman Jahiliyah Membuktikan Beliau R.A. Lahir Di Zaman Jahiliyah

    Hujah Ke-20 – Kemahiran Dalam Sastera, Ilmu Salasilah Dan Sejarah Sebelum Islam

    Hujah Ke-21 – Keinginan Mendapatkan Anak Dan Naluri Keibuan Tidak Mungkin Timbul Dari Kanak-Kanak Bawah Umur

    Hujah Ke-22- Aishah R.A. Sebagai Ibu Angkat Kepada Bashar R.A. Yang Berumur Tujuh Tahun Selepas Perang Uhud

    Hujah Ke-23- Wujudkah Perkahwinan Gadis Bawah Umur Di Tanah Arab Dan Dalam Masyarakat Bertamadun?

    Hujah Ke-24 – Kesepakatan (Ijmak) Umat Dalam Amalan

    Perbahasan Tentang Usia Sebenar Khadijah R.A. Semasa Berkahwin Dengan Rasulullah S.A.W

    1. PENGENALAN

    Hazrat Allama Mohammad Habibur Rahman Kandhalwi (almarhum) dikenali sebagai salah seorang ulama yang unggul di India -Pakistan. Dalam satu masa yang sama, dia merupakan seorang hafiz dan qari, ulama yang terkemuka dalam bidang tafsir dan hadis, juga seorang penyusun dan pengarang kepada kajian akademik yang tinggi serta penterjemah bahan-bahan akademik dari Bahasa Arab ke Bahasa Urdu.

    Kertas kerja ringkas ini adalah berhubung dengan sesuatu isu yang sangat sensitif dan penting. Ia adalah mengenai umur Ummul Mu’minin Saiditina ‘Aishah Siddiq (r.a), semasa berkahwin dan mula tinggal bersama Rasullullah s.a.w. Isu ini menjadi perbahasan berlarutan di antara ulamak dan penyelidik sejak dahulu. Tuan Allama telah mengemukakan idea baru dalam isu ini dan telah menyelesaikan masalah yang penting dan selalu dipertikaikan ini, dan telah berjaya menentukan ‘umur’ sebenar Saidatina ‘Aishah (r.a) berpandukan kepada Ilmu Rijal dan pernyataan para sahabat r.a., ahli hadis dan ahli tafsir, termasuklah pernyataan mutlak oleh Ummul Mu’minin r.a. sendiri.

    Adalah penting untuk kebaikan ummah buku ini yang asalnya di dalam bahasa Urdu, diterbitkan dalam Bahasa Inggeris (dan juga Bahasa Melayu). Dengan rahmat Allah, kami telah mencapai objektif ini dengan jayanya. Usaha ini dan juga khidmat-khidmat agama Almarhum Allama Habibur Rahman Kandhalwi adalah layak mendapat setinggi-tinggi penghargaan dan penghormatan. Semoga Allah taala memberi ganjaran yang tidak terhingga kerana khidmatnya yang tidak pernah mengenal penat dan lelah ini. Aamin!

    Akhir kata, saya ingin merakamkan ucapan tahniah kepada En. Nigar Erfaney, seorang wartawan dan juga penulis berpengalaman, yang telah mengalihbahasa kertas kerja yang rumit dari Bahasa Urdu ke dalam Bahasa Inggeris yang ringkas dan jelas, tanpa menghiraukan kesakitan dan kesulitannya yang berpanjangan.

    Shafaat Ahmed

    Al-Rahman Publishing Trust (Regd)

    Nazimabad, Karachi (PC-74600)

    Pakistan.

    9 Dis 1997

    2. PENGHARGAAN KEPADA PENULIS

    Ini adalah kertas kerja bertajuk “Umer-e-Aishah” (Umur ‘Aishah), yang asalnya ditulis dalam Bahasa Urdu dan telah diterjemah dalam Bahasa Inggeris (yang kemudiannnya diterjemah ke dalam Bahasa Melayu pula). Ia adalah tentang umur Saidatina ‘Aishah r.a, anak perempuan Saidina Abu Bakar r.a dan isteri kedua Nabi Muhammad s.a.w, ketika berkahwin dengan Rasullullah s.a.w. Buku ini mengupas tiga persoalan penting iaitu : (1) Bilakah beliau dilahirkan? (2) Berapakah umur beliau semasa bekahwin? (3) Bilakah beliau mula tinggal bersama suaminya s.a.w? Tujuan kertas kerja ini ialah untuk menolak daayah dan propaganda tidak berasas yang dipelopori oleh golongan munafik dan Syiah. Dengan berbekalkan sedikit pengetahuan, saya telah menterjemahkan karangan yang berharga ini atas permintaan peneraju “Al-Rahman Publishing Trust” (Karachi, Pakistan). Sungguhpun ianya adalah tugas yang berat namun kecintaan saya terhadap Ummul Mu’minin r.a. telah memberikan peransang dan kekuatan kepada saya. “Al-Rahman Publishing Trust” yang merupakan sebuah institusi sukarela yang bekerja untuk Islam, seharusnya mendapat pujian yang tinggi kerana mengendalikan amanah penting ini.

    Penulis telah mengenalpasti beberapa agenda propaganda oleh puak Syiah, berdasarkan kepada riwayat Hisham seperti berikut:

    1- Saidatina ‘Aishah r.a. telah berkahwin dengan Nabi Muhammad s.a.w. ketika berumur enam tahun dan mereka mulai tinggal bersama semasa umurnya sembilan tahun, iaitu selepas Hijrah ke Madinah; dan beliau membawa bersama-sama anak patungnya ke rumah suaminya (Nabi s.a.w.).

    2- Saidatina Khadijah r.a. berkahwin dengan Nabi Muhammad s.a.w. pada ketika umurnya 40 tahun.

    3- Saidatina Fatimah r.a., anak perempuan Nabi s.a.w telah berkahwin dengan Saidina Ali r.a. sewaktu berumur sembilan tahun, di Madinah selepas Hijrah.

    Allama Habibur Rahman Kandhalwi telah menolak sekeras-kerasnya pernyataan di atas dengan mengatakannya adalah tidak berasas dan merupakan suatu pengkhianatan. Beliau seterusnya mengatakan bahawa pernyataan tersebut merupakan konspirasi orang Syiah untuk mencemarkan kehormatan Nabi s.a.w., (yang telah diketahui umum semenjak dari Zaman Jahiliyyah). Tidak syak lagi, hasil kajian oleh Allama Habibur Rahman Kandhalwi ini telah menyedarkan Dunia Islam. Ianya unik dan mempunyai nilai akademik yang tinggi. Meskipun ia adalah sebuah kertas kerja yang ringkas, namun ianya lengkap dan tepat. Beliau telah mengemukakan 24 hujah yang kukuh untuk menyokong pendapatnya. Beliau berhujah berdasarkan al-Qur’an, hadis-hadis dan tafsir atau kata-kata sahabat, termasuklah semua pendapat berhubung dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, khususnya dalam bahagian pertama buku ini iaitu daripada hujah pertama hingga hujah kesebelas. Dalam bahagian kedua, daripada hujah ke dua belas sehingga hujah ke dua puluh empat, Allama telah berhujah berdasarkan fakta sejarah, sosiologi, saikologi, seksologi dan statistik. Beliau berjaya membuktikan bahawa cerita yang disebarkan adalah tidak berasas dan direka-reka, dengan tujuan untuk menjatuhkan keperibadian tinggi Nabi s.a.w., isterinya yang soleh iaitu ‘Aishah r.a., dan mereka yang terkemuka dalam Islam, dengan niat jahat dan kempen kotor yang didalangi oleh golongan munafik dan Syiah.

    Allama Habibur Rahman Kandhalwi telah didorong oleh kekuatan Iman dan pemahaman yang mendalam orang yang beriman. Beliau telah menyampaikan hujah dan pendapatnya dengan tepat. Pengetahuannya tentang ilmu mantik, sains perubatan, saikologi terutamanya saikologi wanita berkahwin, minatnya kepada prosa dan puisi, dan juga statistik dengan kemahirannya menganalisa fakta-fakta dan perangkaan sepatutnya mendapat sanjungan tinggi. Beliau juga mempunyai kemahiran sebagai seorang guru dalam merumuskan keputusan sebagai seorang pakar statistik.

    Dengan izin dan kurnia Allah s.w.t., penulis telah menyelesaikan kekeliruan yang dicipta oleh golongan Syiah di dalam buku-buku yang telah ditulis pada 13 abad yang lalu. Beliau telah membuktikan bahawa:

    (1) Saidatina ‘Aishah r.a. telah berkahwin pada usia yang sesuai iaitu 16 tahun (bukannya enam tahun), dan mula tinggal bersama suaminya s.a.w. ketika umurnya 19 tahun (bukannya sembilan tahun) selepas peristiwa Hijrah ke Madinah.

    (2) Umur Saidatina Khadijah r.a. adalah 25 tahun (bukannya 40 tahun) semasa beliau mengahwini Nabi Muhammad s.a.w. yang mana pada ketika itu juga turut berumur 25 tahun. Khadijah r.a. bukanlah seorang wanita yang tua semasa berkahwin dengan Rasullullah s.a.w., malah kedua-duanya adalah sebaya. Nabi s.a.w. telah melalui zaman mudanya bersama dengan seorang wanita sebaya di mana mereka memperoleh empat orang anak perempuan dan tiga orang anak lelaki. Mereka saling menyayangi dan menghormati satu sama lain, dan menikmati kebahagiaan hidup bersama.

    (3) Anak perempuan Nabi s.a.w., Saidatina Fatimah r.a. telah dilahirkan di Mekah sebelum Nabi dilantik sebagai rasul, dan telah berkahwin dengan Saidina Ali r.a. di Madinah pada usia yang sesuai iaitu 19 tahun (bukannya sembilan tahun).

    Beliau telah berjaya membuktikan bahawa Muhammad s.a.w., rasul terakhir, adalah manusia yang paling agung di alam semesta ini dan juga pembimbing serta guru yang terhebat di kalangan umat manusia, tidak mengahwini seorang wanita tua demi kekayaan, juga tidak mengahwini gadis bawah umur (yang berumur sembilan tahun). Baginda ialah seorang yang tinggi adabnya dan bertamadun dan hidup dalam masyarakat yang bertamadun, di mana perkahwinan di bawah umur adalah sesuatu yang hina. Jadi, bagaimana mungkin baginda s.a.w. mengahwini seorang kanak-kanak yanh masih mentah ? Dan juga beliau berjaya membuktikan bahawa tiada perbezaan umur di antara baginda dan Saidatina Khadijah r.a., sorang janda muda, yang mana menunjukkan bahawa baginda melepasi masa mudanya bersama dengann seorang wanita yang sama padan iaitu seorang bangsawan yang telah mendapat gelaran ‘Wanita Suci’ semasa Zaman Jahiliyah di Mekah.

    Penulis juga telah menjelaskan mengapa orang-orang munafik dan Syiah terus menerus mengganggu Islam dan orang-orang Islam. Jelasnya mereka mahu menghalang Islam dari disebarkan dan mahu mencampakkan keraguan orang Islam terhadap Nabi s.a.w., Ummul Mu’minin r.a., dan juga pengikut-pengikut Islam yang mulia. Juga mereka ingin menyediakan alasan rapuh kepada orang bukan Islam supaya menolak Islam. Semoga Allah menimpakan laknat ke atas penipu-penipu itu. Orang-orang munafik dan Syiah telah melampaui batas apabila menyebarkan fitnah bahawa Nabi s.a.w. telah mengahwini seorang janda tua yang kaya untuk mengambil kesempatan ke atas harta kekayaannya. Tidak hairanlah masyarakat Kristian di Eropah dan Amerika, mempersendakan Islam dan nabinya dengan menyindir : “Jika kamu tidak ingin papa, kahwinilah seorang janda kaya.”

    Penulis juga mendedahkan bagaimana puak Munafik dan golongan Syiah telah memutarbelitkan fakta mengenai Nabi Muhammad s.a.w., isteri pertama, isteri kedua dan anak perempuannya, Saidatina Fatimah r.a. Mereka menggugurkan angka sepuluh daripada 19 (tahun), menjadikan ianya 9 (tahun) daripada umur sebenar Saidatina Fatimah r.a. dan Saidatina ‘Aishah r.a. (yang mana kedua-keduanya sama usia), dan melancarkan dakyah bahawa kedua-duanya berkahwin pada usia sembilan tahun. Yakni, Saidina Ali r.a. mengahwini Saidatina Fatimah r.a. semasa umurnya sembilan tahun, dan Nabi Muhammad s.a.w. telah mengahwini Saidatina ‘Aishah r.a. semasa usianya sembilan tahun. Apakah tujuannya? Puak munafik dan Syiah mahu menunjukkan bahawa umat Islam adalah kaum bangsawan yang penuh nafsu yang berjuang untuk bangsa Arab sahaja (untuk mewujudkan keamanan, perpaduan dan kuasa untuk bangsa Arab sahaja di mana berabad-abad lamanya sebelum ini telah berperang sesama mereka dengan sia-sia);iaitu mereka itu telah berjuang demi ‘perkauman’ dan bukannya untuk segenap umat manusia; dengan ini menenggelamkan mesej Islam yang sebenar iaitu untuk manusia sejagat dan menyeluruh, untuk setiap zaman dan seluruh negara.

    Manusia-manusia munafik ini, telah hidup bersama Rasullullah s.a.w. di Madinah. Allah telah membongkar tentang keadaan, niat dan kegiatan-kegiatan orang Munafik ini di dalam Surah Al-Baqarah. Sejak daripada waktu itu mereka tidak mensia-siakan setiap peluang untuk menghalang Islam dan orang-orang Islam. Mereka terus mengganggu, dan mengukuhkan kedudukan mereka di abad kedua Islam. Mereka telah mencampuradukkan fakta sejarah dan adat resam dengan pembohongan. Dengan berlalunya masa, mereka berjaya mencampur-adukkan pernyataan yang benar dan palsu.

    Kepalsuan dan pembohongan ini kekal selama berabad disebabkan oleh faktor-faktor berikut:

    Pertama sekali, keadaan geografi di abad Pertengahan telah terbukti menguntungkan puak munafik dan para pendusta itu. Kehidupan pada ketika itu adalah ringkas dan terbatas kepada sesuatu masyarakat tertentu. Manusia mengembara apabila benar-benar perlu. Masyarakat pada ketika itu hidup berjauhan dan berasingan dan tidak banyak berhubung.

    Meskipun begitu, ilmu pengetahuan terus berkembang dalam setiap aspek, terutama pengetahuan tentang agama. Seni kaligrafi (khat) telah berkembang pesat, tetapi proses percetakan belum dicipta lagi. Seseorang yang menulis buku mati tanpa mencetak dan menyebarkannya. Apabila masa berlalu, manusia-manusia jahat yang menyedari nilai ilmiah penulisan tersebut mula menokok tambah ke dalam buku-buku tersebut perkara-perkara baru berdasarkan khabar angin, cerita dusta dan rekaan. Kesannya, tulisan-tulisan dan buku-buku palsu banyak tersebar di dalam masyarakat. Amalan ini telah berlanjutan dan terus-menerus berlaku sehingga ke Abad Pertengahan.

    Keduanya, keadaan sosio-agama yang mempengaruhi keadaan sosial dan politik. Orang-orang bukan Arab seperti Yaman, Mesir, Turki, Parsi dan India yang telah menerima Islam, mula berpindah ke Kufah. Mereka tidak dapat memahami Islam dan masyarakat Islam dengan benar. Mereka tertarik dan condong kepada polisi pemerintah (yang menyeleweng daripada ajaran sebenar) menyebabkan wujudnya perbezaan yang bersifat agama-politik. Beransur-ansur mereka menjadi golongan yang tersendiri, dengan menunjukkan perbezaan yang ketara dalam semua aspek kehidupan dan kepercayaan. Ini merupakan perpecahan yang besar di dalam Islam. Pengikut kepada golongan baru ini dipanggil ‘Sabaites’, dengan Hasan Bin Sabah sebagai ketuanya. Kemudiannya mereka telah dikenali sebagai “Syi’ah” oleh tokoh-tokoh pemikir Islam, terutamanya golongan ahli Sunnah. Syiah adalah bercanggah dengan Islam. Puak-puak Syiah ini sentiasa berusaha keras untuk meyelinapkan masuk penipuan dan tambahan palsu ke dalam ajaran Islam dan seterusnya dianggap ‘benar’ oleh orang-orang Islam.

    Yang ketiganya, Ulama Ahli Sunnah telah gagal melihat peristiwa ini secara rasional dan menganggap apa saja yang berlaku ke atas keluarga nabi sebagai sesuatu yang khusus dan istimewa; tanpa menganalisa secara logik untuk membezakan mana yang benar dan dan mana yang palsu, bahkan ramai di kalangan mereka (yang terperangkap dengan daayah golongan munafik dan Syiah) menerima cerita-cerita palsu ini sebagai ‘benar’ dan seterusnya menyebarkannya di dalam ucapan dan penulisan mereka. Akibatnya golongan awam ahli sunnah, dengan tanpa sedar, telah mengiktiraf perkara-perkara karut yang dicipta oleh golongan Syiah dan ianya kekal hingga ke hari ini.

    Bagaimanapun, terdapat ramai juga Ulama’ Sunni dan orang awam Sunni yang tahu untuk membezakan antara yang benar dan yang palsu. Mereka dengan lantangnya menentang cerita-cerita karut yang dicipta oleh golongan Syiah ini samada dalam ceramah atau tulisan mereka. Meskipun mereka tidak berdaya menghapuskan pembohongan yang beracun ini sepenuhnya, mereka telah berjaya menyediakan panduan yang jelas untuk generasi akan datang.

    Keempat, telah termaktub dalam sejarah bahawa para pendeta Yahudi telah meminda ayat-ayat suci Taurat dan Injil. Mereka juga telah cuba untuk meminda al-Qur’an yang mulia tetapi gagal oleh kerana Al-Quran merupakan Ayat-ayat Suci yang datang daripada Allah yang Maha Kuasa dan Allah S.W.T. sendiri yang bertanggungjawab untuk melindunginya. Namun begitu, mereka telah berjaya menambah cerita-cerita Israiliyat di dalam tafsir-tafsir al-Qur’an. Mereka juga telah berjaya menyebarkan cerita-cerita dan pemikiran karut dan salah tentang adat resam, budaya dan sejarah Islam. Mereka telah menyebabkan sebahagian besar di kalangan orang awam Islam terpesong dari jalan lurus seperti yang dikehendaki oleh Allah taala sebaliknya mengikut ajaran Syiah dalam kepercayaan dan amalan tanpa mereka sedari.

    Akhirnya, adalah perlu untuk kita mengenalpasti siapa sebenarnya orang-orang munafik dan Syiah ini, supaya kita tidak berprasangka buruk terhadap penulis-penulis dahulu, samada mereka di kalangan ahli hadis dan tafsir, perawi atau penyusun, ulama ataupun ahli sejarah, atau pun penulis secara umumnya. Mereka adalah Muslim yang baik dan telah meninggalkan warisan yang berharga. Mereka telah meninggalkan kepada kita khazanah ilmu dan penulisan yang amat bernilai. Jadi, sekarang adalah tugas kita untuk menggunakannya sebaik mungkin. Amatlah perlu untuk kita mencari kaedah untuk mengesan dan menilai hasil tulisan mereka untuk membersihkannya dari unsur-unsur palsu dan bohong dan juga cerita-cerita Israliyat. Ini bukanlah suatu perkara baru kepada kita (orang-orang Islam) kerana kita telahpun melakukannya seawal dua abad yang pertama dahulu dalam menilai ketulinan hadis. Kajian dan analisis ini akan membantu membersihkan kotoran daripada tubuh Islam yang bersih ini. Kita juga hendaklah sentiasa ingat bahawa apa-apa perbezaan pendapat di antara kita hanyalah kerana Allah. Dan juga, kita tidak patut melemahkan semangat dan memalukan seseorang tanpa apa-apa keperluan.

    Allama Habibur Rahman Siddiqui Kandhlawi telah menunjukkan cara yang praktikal melalui buku kecilnya ini, bagaimana cara yang wajar dan bijak untuk membersihkan hasil-hasil penulisan kita daripada cerita-cerita karut Syiah. Ia merupakan satu sumbangan yang besar daripada Tuan Allama kepada aqidah, sejarah dan adat resam kita.

    3. MUKADDIMAH

    Semenjak daripada alam persekolahan, kita telah membaca dan mendengar bahawa Rasullulah s.a.w. mengahwini ‘Aishah, anak perempuan Abu Bakar r.a., pada ketika beliau r.a. baru berumur enam tahun dan mereka mula hidup bersama ketika Aishah berumur sembilan tahun. Riwayat ini terdapat dalam kitab-kitab hadis dan para ulama telah menjelaskan bahawa Tanah Arab adalah sebuah tempat yang cuacanya panas, oleh itu kanak-kanak perempuan di sana meningkat baligh pada usia sebegini.

    Bila kami datang ke Karachi dan menetap di sana kami menemui orang-orang yang berpendidikan barat, yang secara terbuka mencabar bahawa hadis ini bertentangan dengan akal. Kami berasa penat untuk mempertahankan hadis ini. Kami telah melihat beberapa orang yang merasakan masyarakat Inggeris lebih baik berbanding Islam dengan hanya berpandukan hadis ini. Sesetengahnya mencemuh Islam, sementara setengah yang lainnya mentertawakan hadis tersebut. Melalui cara yang lebih sopan, sebahagian mereka mengatakan bahawa ‘sejarah adalah lebih tepat’ dan hadis ini direka oleh orang-orang Parsi. Ada juga sesetengah mereka yang lebih berani dengan mengatakan: ” Minta maaf tuan. Bukhari telah ditipu, tugas tuan yang sebenar sekarang ialah membetulkan fakta ini”

    Inilah sikap mereka yang berpendidikan barat dan pemikiran sebegini tersebar luas sehingga ada yang sanggup mengatakan, “Tuan, nafsu ada batasnya, adalah tidak munasabah melampiaskan nafsu dengan kanak-kanak berumur sembilan tahun”. Semoga Allah melindungi kita dari keceluparan ini.

    Kita semua adalah orang Islam. Inilah yang kami dengar dan kami cuba mencari jalan untuk menyelesaikannya. Dalam usaha mencari jawapan kepada permasalahan ini, kami mempelajari sejarah, ilmu salasilah, jarh wa taadil, ilal hadis, biografi perawi dan ugama Syi’ah. Dari kajian ini, kami dapati bahawa penipuan terbesar dalam Sejarah Islam dilakukan oleh golongan Syiah. Mereka mengelabui pembohongan ini atas nama sejarah. Kami akan membentangkan bukti pembohongan ini di helaian-helaian yang akan datang, insyaAllah.

    Kami menyelidiki usul hadis, biografi perawi, illat hadis dan hadis-hadis palsu dan kami dapati ulama hadis telah membina benteng yang amat kukuh untuk menyekat kebanjiran ini sehingga golongan ahli sunnah sendiri tidak suka untuk melihatnya. Ulama-ulama hadis telah menggariskan prinsip-prinsip dan asas yang cukup berharga untuk kita menilai dan mengasingkan setiap yang benar dan yang palsu.

    Imam Bukhari telah membina benteng yang sangat besar untuk menyekat kebanjiran fahaman Syiah. Motif utama kritikan terhadap kitab Sahih Bukhari ialah untuk menyokong gerakan Syiah. Di sebalik kritikan-kritikan tersebut, kepercayaan kita terhadap Sahih Bukhari semakin bertambah. Sayangnya tidak ramai orang awam faham hakikat ini, disebabkan dua faktor berikut:

    Pertamanya, pada waktu itu, ketika cerita-cerita palsu membanjiri dari segenap penjuru, Imam Bukhari telah berusaha sedaya-upaya untuk menghapuskan pembohongan dengan penuh minat dan gigih; dan usaha ikhlasnya itu tidak dapat ditandingi sesiapapun sehingga hari ini. Bagaimanapun, beliau adalah makhluk biasa dan sebagai seorang manusia, tidak dapat mengelak daripada melakukan silap dan salah. Dan dengan melakukan satu kesilapan itu tidaklah sampai dihukum gantung. Lagipun, kesilapan tidak boleh dianggap sebagai suatu jenayah kerana jenayah adalah suatu perbuatan yang disertai dengan niat dan dan dilakukan dengan sengaja. Dengan kesilapan kecil yang tidak disengajakan Imam Bukhari tidaklah boleh dituduh sebagai penjenayah!

    Keduanya, Imam Bukhari telah meriwayatkan hadis melalui perantaraan para perawi dan sebagaimana kita maklum perawi-perawi ini bukan maksum. Ramai perawi yang dianggap ‘thiqah’ (terpercaya) oleh Imam Bukhari tetapi tidak dianggap ‘thiqah’ oleh orang lain. Ianya tidak boleh dianggap sebagai jenayah atau sesat.

    Dalam keadaan ini, kami akan menilai semula riwayat ini dan di sini kami persembahkan kepada pembaca setelah meneliti semua fakta yang ada. Dalam kajian ini, kami tidak menyebelahi mana-mana individu atau kumpulan tertentu.

    Di antara hasil kajian terpenting dalam tajuk ini setakat ini ialah buku bertajuk “Umur Aishah” yang ditulis oleh Hakim Niaz Ahmed. Namun begitu, karangan tersebut mengandungi terlalu banyak perbincangan yang bersifat teknikal, menyebabkan ia sukar difahami oleh pelajar seperti kita.

    Kami tidak bercadang untuk menulis sebuah buku atas tajuk ini dan juga kami tidak mempunyai cukup masa untuk itu. Kami hanya ingin mencurahkan idea-idea yang diperolehi semasa kajian itu dalam bentuk nota ringkas.

    Timbul satu persoalan sama ada mencapai baligh pada usia sebegini hanya berlaku kepada Ummul Mu’minin Saidatina ‘Aishah r.a seorang sahaja, ataupun ianya adalah suatu yang lazim di Semenanjung Arab. Semua negara yang iklimnya sama atau yang berhampiran dengan Arab, iaitu wilayah-wilayah yang terdapat di negara Afrika seperti Libya, Tunisia, Sudan, Moroko dan wilayah Asia yang terletak di zon khatulistiwa ataupun yang hampir dengan wilayah ini, sebagaimana wilayah Multan, Sukkur, Sibi dan Jacobabad, terkenal dengan cuaca panasnya. Berdasarkan kepada kriteria ini, kanak-kanak perempuan di situ sepatutnya telah baligh sewaktu berumur sepuluh atau sebelas tahun; dan di Pakistan hampir 200,000 atau 400,000 kes atau setidak-tidaknya 2,000 atau 4,000 kes sepatutnya telah berlaku. Di Semenanjung Arab pula pasti tidak terkira banyaknya kes seperti ini sepatutnya berlaku. Jikalau tidak ada catatan dalam sejarah tentang peristiwa seperti ini, anda boleh melihat sendiri tanah Arab yang ada pada hari ini kerana Tanah Arab masih berada di tempat yang sama. Mekah dan Madinah masih berada di lokasi yang sama dan dalam keadaan yang sama. Tempat-tempat ini tidak berganjak sedikit pun. Sehingga hari ini, iklim di Semenanjung Arab adalah sama sebagaimana seribu lima ratus tahun dahulu. Hingga ke hari ini cuaca panas di Mekah memang di ketahui umum. Saya ingin beritahu bahawa saya telah merasai musim panas di Mekah pada bulan Mac (waktu di mana ia tidak begitu panas di Asia dan Afrika).

    Berbanding zaman dahulu, peralatan komunikasi kini mudah dan banyak. Beratus-ratus ribu orang Pakistan bekerja di Tanah Arab, dan ramai daripada ahli keluarga mereka tinggal bersama mereka di sana. Namun sehingga hari ini, tiada sesiapa pun yang telah mengejutkan kita dengan cerita kanak-kanak perempuan telah mencapai umur baligh bila sampai di sana. Juga, sampai hari ini tiada orang Pakistan yang berjumpa dengan kami dan mengatakan; “Tuan! Saya telah tinggal bersama-sam a isteri dan anak-anak saya di Arab Saudi, dan kesan daripada iklimnya, anak-anak saya sudah boleh berkahwin, walaupun usianya baru sembilan tahun. Tuan! Sekarang kami yakin dengan sepenuh hati bahawa Ummul Mu’minin telah mula hidup bersama suaminya ketika beliau berumur sembilan tahun.”

    Apapun yang akan kami tulis di sini bukanlah bermakna kami menolak hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tetapi matlamat kami ialah untuk memberi jawapan kepada musuh-musuh Islam yang telah mencalitkan lumpur ke tubuh mulia Rasullulah s.a.w. Adalah jelas bahawa kesucian Rasulullah s.a.w. adalah sesuatu yang lebih utama daripada perawi-perawi ‘Bukhari’ dan ‘Muslim’. Tanpa mengakui kemuliaan Nabi Muhammad s.a.w., tidak bermakna iman dan Islam seseorang. Dan kita tidak diwajibkan untuk menerima semua perawi-perawi ‘Bukhari’ dan ‘Muslim’ dan tidak menjejaskan iman sekiranya kita mempertikaikan (dengan adil) peribadi perawi-perawi tersebut.

    Sebagai seorang Muslim, kita yakin bahawa peribadi Rasulullah s.a.w. adalah adalah sangat tinggi dan mulia bahkan lebih tinggi daripada yang kita gambarkan. Jika terdapat sebarang riwayat yang boleh menjatuhkan maruah atau martabat mana-mana Nabi pun, maka kita hendaklah mencampakkan sahaja riwayat tersebut.

    Perkataan ini bukannya daripada kami. Ulama-ulama hadis telah menggunakan istilah ‘campakkan riwayat ini’ berulangkali dalam tulisan-tulisan mereka. Mereka melafazkannya setiap kali melihat kesilapan atau kecacatan walaupun yang amat kecil di dalam suatu riwayat.

    Di sini Nabi s.a.w. telah digambarkan sebagai seorang yang sangat bernafsu kepada seks. Demi kemuliaan nabi s.a.w beratus ribu riwayat sebegini hendaklah dicampakkan termasuklah riwayat oleh Hisham bin Urwah ini. Kita korbankan kesemua riwayat ini untuk memelihara kemuliaan Nabi s.a.w.

    Ulama hadis telah menjelaskan bahawa sebarang hadis yang berlawanan dengan akal yang sihat dan pengalaman adalah hadis ‘maudhu’ (rekaan). Malah, Ibn Jauzi telah mengatakan sehingga, sekiranya sesuatu riwayat didapati bercanggah dengan ‘hikmah’ (kebijaksanaan), pasti ianya riwayat ‘maudhu’; dan perbincangan atau penilaian tentang perawi riwayat tersebut adalah sia-sia. Ulama hadis telah menggunapakai kaedah ini dalam banyak kes.

    Kita juga faham penilaian ulama hadis samada benar atau dustanya seseorang perawi, adalah berdasarkan ‘zann’ (sangkaan yang kuat). Ini kerana, ada kemungkinan bahawa seorang yang kita anggap sebagai benar, mungkin hakikatnya dia adalah seorang pendusta dan mungkin seseorang yang dianggap pendusta adalah sebenarnya bukan pendusta. Tidak semestinya setiap pendusta akan sentiasa berbohong dan setiap orang yang benar akan sentiasa berkata benar.

    Para muhaddis akan menghukumkan samada seseorang perawi itu benar, dapat dipercayai atau baik berdasarkan kepada penampilannya atau persaksian daripada orang lain. Ini merupakan ‘zann’(andaian mereka yang kuat), namun kemungkinan tetap ada bahwa dia bukan seorang yang benar dan mungkin dia hanya berpura-pura berkelakuan baik dan warak. Dan sesiapa yang didakwa sebagai pendusta, mungkin dia difitnah oleh musuhnya padahal sebenarnya beliau bukanlah seorang pendusta.

    Berdasarkan kepada alasan inilah, kadang-kadang ‘penilaian’ di kalangan para ulama hadis terhadap seseorang perawi berbeza. Sebagai contoh, dalam kes Abdur Razak bin Hamam, sesetengah ulama hadis telah mengatakan bahawa beliau adalah seorang yang ‘thiqah’ (boleh dipercayai). Yahya bin Main bagaimanapun mengatakan beliau adalah seorang Syiah. Imam Ahmad bin Hanbal pula mengatakan beliau (Abdur Razak) tidak mempunyai apa-apa masalah. Yazid bin Zaree’a mengatakan bahawa beliau ialah seorang Syiah Rafidhah, dan beliau mengatakan, “Demi Allah dia adalah lebih dusta daripada Waqidi”

    Bagi kita, kesemua ulama hadis ini amat terhormat dan sangat mulia. Mereka mengeluarkan pendapat berdasarkan kepada pengalaman dan pengamatan masing-masing. Adalah menjadi tanggungjawab kita pula untuk membuat keputusan dengan memilih hanya satu sahaja daripada pendapat yang berbagai itu.

    Para ulama hadis ini tidak mempunyai alat atau perkakas yang memberi tahu yang mana benar dan yang mana salah. Jikalau ada, sudah tentu tidak akan wujud perbezaan pendapat di kalangan mereka. Dan, kita sendiri pun tidak memiliki peralatan itu, malahan tiada peralatan seperti itu yang telah tercipta sehingga ke hari ini; suatu alat yang mana dapat membezakan kebenaran dan penipuan yang dilakukan oleh seseorang yang telah mati!

    Jelas daripada perbincangan ini, bila seorang Muhaddis mengatakan bahawa hadis ini adalah benar ataupun hadis itu adalah tidak benar, beliau hanyalah mengemukakan pendapatnya; dan tidak semestinya pendapatnya tepat. Walaupun seseorang ulama hadis memberi pendapat yang salah, kita tidak boleh mengatakannya sebagai pembohong kerana dia tidak berniat melakukan pendustaan tetapi memberi pendapatnya berdasarkan maklumat yang ada padanya.

    Dalam hal ini, adalah mungkin bahawa seseorang menerima pendapat Imam Ahmad, sementara yang lainnya yang menolak riwayat oleh perawi ini (Abdur Razak bin Hamman), bersetuju dengan pendapat muhaddis yang lain.

    Perbincangan ini telah menjelaskan kaedah ‘apabila muhaddisin menerima sesuatu hadis adalah sahih, itu adalah pendapat dan pandangan (zann) mereka’. Jika ada seseorang berpendapat sesuatu hadis adalah tepat dan sempurna sebagaimana al-Quran yang mulia, dan seorang lagi berpendapat sebaliknya, kedua-keduanya, pada pendapat kami adalah salah. Apa yang dipanggil ‘ishque’ (cinta) ’ ialah suatu kekacauan fikiran. Perbezaannya hanyalah, seseorang cenderung untuk mempercayai semua perkara adalah benar, sedangkan yang seorang lagi memiliki kecenderungan untuk mendustakannya. Ada yang sentiasa menerima apa saja yang diutarakan oleh muhaddis dan ada yang sentiasa memusuhi mereka. Ada orang yang mendewa-dewakan orang terdahulu manakala sebahagian lagi tidak suka dikaitkan dengan orang dahulu.

    Dalam kedua-dua keadaan ini, semuanya dikatakan ‘cinta’ (kecenderungan), dan menurut penyair Mirza Ghalib, Penyair Agung Urdu:

    ‘Apa yang orang panggil cinta itu ialah keadaan minda yang meracau’

    Kita semua tahu tiada yang maksum kecuali nabi-nabi a.s. Orang yang beriman pun tidak terkecuali daripada melakukan kesilapan atau terlupa. Tanggapan yang mengatakan Imam Bukhari dan Imam Muslim atau mana-mana perawi thiqah tidak melakukan kesilapan atau tidak mungkin terlupa adalah serangan keatas ‘kemaksuman’ nabi s.a.w. Konsep ‘maksum’ pada seseorang selain daripada nabi-nabi a.s. hanya terdapat dalam ajaran Syiah, bila mereka mengatakan Imam Dua Belas sebagai maksum. Ironinya, saudara-saudara kita ahli sunnah menyediakan beratus ribu individu maksum tanpa mereka sedari!

    Dengan alasan inilah para ulama hadis menghukumkan beberapa hadis yang diriwayatkan oleh perawi thiqah sebagai mungkar.Di dalam kitab rijal kita boleh menemui contoh yang tidak terkira banyaknya. Ibnu al-Madini mengatakan tiga riwayat oleh Imam Malik adalah mungkar. Ahmad bin Hanbal telah mengatakan Sufyan bin Uyainah meriwayatkan lebih daripada 30 hadith mungkar. Ibn Hazm telah mengatakan riwayat tentang ‘mi’raj’ yang diriwayatkan Bukhari sebagai ‘mungkar’.

    Ummul Mu’minin Aishah r.a. telah mengkritik beberapa riwayat yang diceritakan oleh para Sahabat r.a. dan berkata, “Saya tidak mengatakan bahawa mereka berdusta, tetapi seringkali telinga tersilap dengar”. Di dalam ‘Saheh Bukhari’ dan ‘Saheh Muslim’, terdapat beberapa riwayat sebegini. Ini menunjukkan bahawa kadang-kadang suatu riwayat mungkin salah walaupun diriwayatkan oleh perawi yang paling thiqah.

    Keadaan ini berlaku kerana kadang-kadang seorang perawi itu tidak mendengar sesuatu percakapan dengan sepenuhnya. Kadang-kadang pula perawi itu tersalah dalam memahami maksud sebenar sesuatu ucapan. Adakalanya dia terlupa perkataan yang didengarinya. Ummul Mu’minin r.a. juga ada mengatakan seorang perawi mungkin silap mendengar sesuatu percakapan. Contohnya, perkataan sebenar yang diucapkan ialah “sembilan belas”, tetapi perawi itu hanya mendengar perkataan “sembilan”.

    Sedangkan para sahabat r.a. yang mulia pun tidak terlepas daripada berbuat silap, meskipun dia Saidina Umar r.a., Abu Hurairah r.a., dan Ibn Umar r.a. atau tabiin Urwah bin Azzubair dan anak lelakinya Hisham. Dengan mengatakan ‘sahabatpun boleh melakukan kesilapan’ tiada sesiapa mengatakan bahawa Ummul Mu’minin Saidatina ‘Aishah r.a. sebagai seorang anti-hadis. Begitulah sekiranya bila kita mengatakan seorang perawi mungkin melakukan kesilapan kita tidak boleh dikatakan sebagai orang yang menolak hadis kerana ‘menolak hadis’ dan ‘mendedahkan kesilapan’ adalah dua perkara yang berbeza. D

    Hujah Pertama – Bertentangan Dengan Fitrah Manusia

    Riwayat ini bertentangan dengan pengalaman dan fitrah manusia. Adalah mustahil ia dilakukan oleh Nabi s.a.w. dan ia sebenarnya tidak pernah berlaku. Jika peristiwa sedemikian pernah terjadi, maka musuh-musuh Islam dan juga musuh-musuh Nabi Muhammad s.a.w. pada waktu itu sudah tentu telah mengambil kesempatan untuk mempermainkan dan menghina baginda s.a.w. Dan, apabila tiada apa-apa serangan terhadap peribadi Rasulullah s.a.w. oleh musuh-musuh Islam pada masa itu, ianya membuktikan bahawa peristiwa tersebut tidak pernah berlaku. Sekiranya tidak, ianya adalah peluang keemasan kepada musuh Islam untuk menyerang Islam dan rasulnya.

    Tidak syak lagi riwayat ini adalah tidak benar. Sumber utama riwayat ini ialah Hisham dan perawi-perawi yang menukilkan darinya; oleh itu keraguan berkisar hanya sekitar Hisham.

    Hujah Kedua – Bertentangan Dengan Akal Yang Waras

    Suatu riwayat yang bertentangan dengan akal adalah palsu dan dongeng. Ibnu Jauzi, salah satu nama besar dalam lapangan pengkritikan hadis, ialah orang yang bertanggungjawab memperkenalkan prinsip ini. Riwayat oleh Hisham ini adalah bercanggah dengan akal dan akal yang waras tidak dapat menerimanya. Apa sudah jadi dengan kewarasan dan kebijaksanaan kita ? Amat aneh bila kita dapati tidak ramai cendiakawan yang samada menolak atau meragui riwayat ini.

    Hujah Ketiga – Tiada Contoh Ditemui Di Negeri Arab Atau Di Negeri-Negeri Panas

    Sehingga hari ini tidak ditemui kes seperti ini di Semenanjung Arab dan negara-negara beriklim panas yang lain. Jika sekiranya ia menjadi amalan masyarakat ini nescaya kita akan dapati wujud beribu-ribu contoh seumpamanya dalam catatan sejarah..

    Sebaliknya, sekiranya peristiwa begini berlaku pada hari ini, ianya akan menjadi berita sensasi, contohnya, seorang lelaki gila merogol seorang kanak-kanak perempuan berumur sembilan tahun…dan orang yang melakukan perbuatan sedemikian digelar sebagai orang gila.

    Ulama kita dan para pencinta Nabi s.a.w. tidak menunjukkan keberanian untuk menyangkal riwayat ini dan yang sedihnya sebahagian daripada mereka tidak dapat menjadi contoh kepada ummah bila mereka sendiri mengahwinkan anak dara sunti mereka yang berumur sembilan tahun, atas nama sunnah dan berbangga kerana menghidupkan sunnah !! Kami adalah ‘orang bodoh’ dan berdosa. Ulama sepatutnya menunjukkan contoh yang praktikal supaya kami dapat mengikuti contoh tersebut.

    Mungkin anda tidak akan percaya bahawa ulama kita pada suatu ketika dahulu telah menolak penemuan saintifik yang bertentangan dengan pendapat mereka, malah sebaliknya tidak mengiktiraf hasil kajian saintifik tersebut. Contoh klasik ialah, ramai daripada mereka yang berpendapat matahari mengelilingi bumi, tetapi apabila kajian saintifik mengatakan sebaliknya mereka berkeras dengan pendapat mereka. Dalam bahasa yang mudah mereka berkata, ‘ Saya tidak akan menerimanya dalam apa pun keadaan’.

    Beginilah sikap mereka dalam hal ini, iaitu, tentang umur Aishah r.a. semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w.

    Dengan hanya berkata “kami tidak menerima fakta sejarah”, tidak memberi apa-apa makna kepada ummah.

    Berkenaan ‘sejarah’, di satu pihak mereka mendakwa bahawa mereka tidak menerima ‘sejarah’, tetapi pada masa yang sama mereka melaung-laungkan cerita “Yazid yang jahat’ dari mimbar-mimbar khutbah (walaupun ianya cerita sejarah yang direka). Bahkan cerita berkenaan Karbala telah diulas oleh ulama kita lebih hebat daripada ahli sejarah.

    Kami akan menyentuh tentang aspek sejarah di bahagian kedua kertas ini. Buat masa ini kami akan membentangkan hujah berdasarkan hadis, usul hadis, biografi perawi (ilmu rijal) dan illal hadis kerana ulama kita mengiktiraf ilmu-ilmu ini. Adalah tujuan kami untuk menarik perhatian mereka dalam aspek ini.

    Hujah Keempat- Riwayat Ini Bukan Hadis Rasulullah S.A.W.

    Kami telah mengkaji dengan terperinci hadis yang diriwayatkan oleh Hisham. Untuk kajian ini, kami telah mengumpulkan bukti-bukti daripada kitab-kitab ‘Saheh Bukhari’, ‘Saheh Muslim’, ‘Sunan Abu Daud’, ‘Jami’ Tirmizi’, ‘Sunan Ibnu Majah’, ‘Sunan Darimi’ dan ‘Musnad Humaidi’. Selepas menelaah kitab-kitab tersebut, sesuatu kemusykilan telah timbul. Sebahagian perawi mengatakan riwayat tersebut sebagai kata-kata Aishah r.a., sedangkan setengah yang lain mengatakannya sebagai kata-kata Urwah r.a. Yang pastinya, ia bukan kata-kata Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Ia sama ada kata-kata ‘Aishah r.a. ataupun kata-kata Urwah r.a. yang merupakan seorang ‘tabiin’ iaitu anak kepada seorang sahabat (Zubair bin Awwam r.a) dan juga anak kepada kakak Aishah r.a sendiri (Asma binti Abu Bakar r.a). Jika riwayat ini adalah kata-kata Urwah, ia tidak mempunyai apa-apa nilai dalam syariah. Dan, kita juga tahu bahawa apabila berlaku perbezaan pendapat sama ada suatu riwayat itu ‘Muttasil’ (bersambung) ataupun ‘Mauquf’ (terputus), ulama hadis pada amnya akan mengatakan ianya sebagai ‘Mauquf’ (terputus). Berdasarkan prinsip ini, bolehlah disimpulkan bahwa riwayat ini adalah cerita sejarah oleh Urwah (dan bukannya hadis); dan tidak berdosa untuk menolak kata-kata Urwah.

    Riwayat ini akan tetap dianggap cerita sejarah sehingga ulama membuktikan sebaliknya (iaitu riwayat ini ‘muttasil’(bersambung)).

    Hujah Kelima – Riwayat Ini Diriwayatkan Oleh Hisham Selepas Fikirannya Bercelaru

    Urwah menceritakan riwayat ini kepada anaknya Hisham. Pada pandangan kami, segala kekeliruan dalam riwayat ini adalah berpunca daripada Hisham. Adalah penting untuk diketahui bahawa dengan hanya menjadi perawi dalam ‘Saheh Bukhari’ dan ‘Saheh Muslim’ tidak bermakna perawi tersebut sempurna dan tidak melakukan sebarang kesilapan. Kami telah menghabiskan masa bertahun-tahun lamanya mengkaji biografi perawi dan kami dapati ada dua zaman dalam kehidupan Hisham iaitu zaman Madani (semasa di Madinah) dan zaman Iraqi (semasa di Iraq).

    Zaman Madaninya ialah sehingga tahun 131 H. Dalam tempoh ini di antara muridnya yang paling penting ialah Imam Malik. Imam Malik telah meriwayatkan beberapa hadis daripada Hisham di dalam kitabnya ‘Muwatta’, tetapi riwayat perkahwinan Ummul Mukminin Aishah r.a. dengan Rasulullah s.a.w tidak ditemui dalam kitab Imam Malik tersebut.

    Imam Abu Hanifah r.a. juga merupakan anak muridnya dalam tempoh tersebut, dan beliau juga tidak pernah meriwayatkan cerita ini.

    Zaman kedua Hisham bermula selepas tahun 131 H. Adalah tidak diragukan bahawa Hisham adalah seorang perawi ‘thiqah’ (boleh dipercayai) sehinggalah tahun 131 H, dan Hisham merupakan sumber asas (madar) kepada banyak hadis yang diriwayatkan oleh Saidatina ‘Aishah r.a. Kemudian suatu yang malang berlaku. Pada tahun 131 H Hisham berhutang sebanyak seratus ribu dirham untuk melangsungkan perkahwinan anak perempuannya, dengan harapan mendapat wang daripada Khalifah yang sedang berkuasa untuk menjelaskan hutangnya. Namun apa yang terjadi adalah diluar jangkaan Hisham di mana pemerintahan Bani Umaiyyah berpindah tangan kepada Bani Abbas. Hisham tiba di Baghdad dengan penuh harapan, dan telah menghulurkan tangannya meminta duit daripada Khalifah Mansur (Khalifah Abbasiyah).

    Pada mulanya, Khalifah mencelanya tetapi selepas didesak Khalifah Mansur telah memberinya sepuluh ribu dirham. Kejadian ini merupakan kejutan pertama ke atas fikirannya, dan akibatnya beliau mula menjadi ‘tidak tetap’ dalam meriwayatkan hadis-hadis. Dia mula meriwayatkan hadis yang beliau mengaku didengar daripada ayahnya (Urwah) tetapi sebenarnya beliau tidak pernah mendengar hadis tersebut..

    Dengan harapan mendapat pinjaman tambahan daripada Khalifah beliau kembali ke Baghdad dan berjaya mendapat sedikit wang. Selepas membayar sebahagian hutangnya, sekali lagi beliau datang ke Baghdad dan kemudiannya menetap di sana sehingga meninggal dunia

    Beliau meninggal dunia di Baghdad pada tahun 146 H. Semua kekacauan dalam riwayat-riwayatnya berlaku semasa berada di tanah Iraq. Seolah-olahnya, apabila beliau tiba di Iraq, ingatannya telah bertukar dan telah mengalami perubahan yang besar.

    Ya’aqub bin Abi Shaibah mengatakan bahawa sebelum pindah ke Iraq tiada riwayat Hisham yang ditolak, tetapi apabila beliau pergi ke Iraq beliau telah menceritakan banyak riwayat yang disandarkan kepada ayahnya Urwah yang tidak disukai oleh penduduk Madinah. Seperkara lagi, semasa tinggal di Madinah, Hisham hanya menceritakan hadis yang didengari daripada ayahnya. Tetapi semasa di Iraq, dia mula menceritakan hadis yang didengari daripada orang lain. Oleh itu, riwayat Hisham yang dinukilkan oleh orang Iraq tidak boleh dipercayai. (Tahzib-ul-Tahzib, m/s 48, jilid 11)

    Semoga Allah merahmati Ibn Hajar, yang mendapat ilham daripada Ya’aqub bin Abi Shaibah dengan mengatakan bahawa ‘riwayat Hisham yang diceritakan oleh orang Iraq tidak boleh dipercayai’. Di antara riwayat tersebut ialah riwayat ‘Saidatina Aishah r.a. hidup bersama suaminya (Nabi s.a.w.) semasa berumur sembilan tahun dan telah berkahwin sewaktu usianya enam tahun. Juga cerita berkenaan Rasulullah s.a.w. terkena sihir. Cerita mengenai ‘Aishah r.a. ‘bemain dengan anak patung’ juga telah diriwayatkn oleh orang Iraq daripada Hisham.

    Sekalung penghargaan untuk Ya’aqub bin Abi Shaibah dan Hafiz Ibn Hajar kerana mengatakan: “Riwayat-riwayat yang dibawa oleh orang Iraq tidak boleh dipercayai”. Mereka tidak mengecualikan riwayat-riwayat dalam ‘Saheh Bukhari’ dan ‘Saheh Muslim’ daripada prinsip ini. Oleh sebab itu, kita hendaklah bersungguh-sungguh mengenalpasti dan mencari hadis-hadis yang telah diriwayatkan oleh orang Iraq daripada Hisham. Jika kita mengisytiharkan kesemua hadis tersebut sebagai yang ‘tidak boleh dipercayai’, ulama kita tidak boleh membantah kemudiannya kerana prinsip ini telah diberi oleh ulama salaf yang terdahulu. Kami mendoakan kepada mereka yang baik ini yang (dengan mengemukakan prinsip ini), telah melindungi Rasulullah s.a.w. daripada serangan- orang-orang Iraq.

    Hafiz az-Zahabi telah menulis tentang Hisham: “terjadi perubahan dalam ingatannya di akhir usianya, dan Abul Hasan bin Al-Qattan mendakwa bahawa beliau keliru dalam meriwayatkan hadis bila di akhir usianya” Hafiz Uqaili telah menulis dengan lebih jauh lagi: “dia telah nyanyuk di tahun-tahun terakhir kehidupannya”.

    Di dalam ‘Mizan al-I’tidal’, Hafiz az-Zahabi menulis bahawa ingatan Hisham yang kuat di waktu mudanya, tidak kekal di usia tuanya. Dan di Iraq, dia tidak dapat meriwayatkan hadis dengan baik dan tepat (‘Mizan al-I’tidal, Jilid IV)

    Imam Malik, salah seorang anak murid Hisham, telah meriwayatkan beberapa riwayat Hisham di dalam ‘Muwatta’nya di masa beliau menganggap riwayat Hisham adalah muktamad di dalam semua perkara. Beliau juga tidak bersetuju dengan Hisham semasa beliau (Hisham) tinggal di Iraq. Beliau menolak riwayat Hisham yang diceritakan oleh orang-orang Iraq. Ibn Hajar mengatakan, “ Penduduk Madinah menolak riwayat Hisham yang diceritakan oleh orang-orang Iraq”

    Angka “sembilan tahun” ini telah menghantui pemikiran Hisham sehingga dia mengaku berkahwin dengan isterinya semasa isterinya berumur sembilan tahun. Az- Zahabi telah menceritakan peristiwa ini sebagaimana berikut: “Fatimah binti Al-Munzir adalah sebelas tahun lebih tua dari suaminya, Hisham. Sekiranya dia datang ke rumah Hisham untuk tinggal bersamanya semasa berumur sembilan tahun beliau perlu menunggu dua tahun sebelum ibu Hisham melahirkannya dan sebelum kelahirannya, Hisham tidak membenarkan orang lain melihat isterinya. Kami belum pernah menyaksikan perkara se ajaib ini”. Az-Zahabi kemudian menerangkan bahawa Fatimah tinggal bersama suaminya ketika berumur sekitar 28- 29 tahun. Dalam erti kata lain, Hisham telah menggugurkan angka ‘20’ dari angka ’29’. Dengan cara yang sama, dalam hal Ummul Mukminin r.a. angka ‘9’ timbul selepas menggugurkan ‘10’ daripada angka ‘19’.

    Menurut Hafiz Ibn Hajar, Hisham pernah mengaku bahawa isterinya tiga belas tahun lebih tua daripadanya…kami sedar bahawa iklim Iraq telah merosakkan fikiran ramai orang baik-baik

    Hujah Keenam – Hanya Perawi Iraq Yang Menukilkan Riwayat Ini

    Kami agak tekejut apabila mendapati bahawa kesemua perawi tentang ‘Umur Aishah’ adalah orang Iraq yang samada dari Kufah ataupun Basrah. Riwayat ini tidak pernah dinukilkan oleh mana-mana perawi Madinah, Mekah, Syam, mahupun Mesir. Tiada perawi bukan Iraq yang meriwayatkan kisah ini, sebabnya cerita ini dikeluarkan oleh Hisham semasa beliau tinggal di Iraq.

    Perawi-perawi berikut telah menyalin kisah ini daripada Hisham:

    1. Sufyan bin Said Al-Thawri Al-Kufi

    2. Sufyan bin ‘Ainia Al-Kufi

    3. Ali bin Mas’her Al-Kufi

    4. Abu Muawiyah Al-Farid Al-Kufi

    5. Waki bin Bakar Al-Kufi

    6. Yunus bin Bakar Al-Kufi

    7. Abu Salmah Al-Kufi

    8. Hammad bin Zaid Al-Kufi

    9. Abdah bin Sulaiman Al-Kufi

    Sembilan orang tersebut berasal daripada Kufah. Manakala perawi dari Basrah pula adalah :

    1. Hammad bin Salamah Al-Basri

    2. Jafar bin Sulaiman Al-Basri

    3. Hammad bin Said Basri

    4. Wahab bin Khalid Basri

    Inilah mereka yang telah meriwayatkan kisah ini daripada Hisham. Semasa beliau tiba di Iraq pada tahun 131 H, beliau berumur 71 tahun. Adalah tidak masuk akal beliau tidak dapat mencari orang untuk meriwayatkan kisah ini sehinggalah beliau berumur 71 tahun.

    Dalam hal ini, riwayat ini tidak terlepas dari dua keadaan, iaitu, sama ada orang Iraq yang merekanya dan mengatakan Hisham sebagai sumbernya, ataupun iklim Iraq telah mempengaruhi Hisham dengan teruk menyebabkan dia tidak sedar akan ‘dirinya’, bahawa dia membawa isterinya Fatimah binti Al-Munzir untuk tinggal bersama ketika umur isterinya sembilan tahun, iaitu empat tahun sebelum kelahirannya sendiri.! Setelah tiba di Iraq, tahap kebijaksanaan dan kesedaran mentalnya telah merosot hingga ke tahap ini..

    Kami mengagumi Hisham, dan nasihat semasa beliau tinggal di Madinah masih lagi segar dalam ingatan kami. Anda juga patut mengingatinya, bak kata pepatah Parsi yang masyhur, “sesuatu yang disimpan pasti ada gunanya suatu hari nanti”. Nasihatnya yang satu ini amat berguna. Katanya:

    “Apabila seorang Iraq meriwayatkan seribu hadis, kamu patut mencampakkan sembilan ratus sembilan puluh daripadanya ke tanah, dan berasa sangsi terhadap sepuluh yang masih tinggal.”

    Jika kita berpandukan kepada nasihat Hisham ini, banyak masalah yang akan terjawab dengan sendirinya.

    Selain daripada itu, kita juga patut memberi perhatian kepada prinsip ulama hadis yang dinukilkan oleh Baihaqi dari Abdur-Rahman bin al-Mahdi:

    “Apabila kami meriwayatkan hadis mengenai ‘halal dan haram’ dan ‘perintah dan larangan’, kami menilai dengan ketat sanad-sanad dan mengkritik perawi-perawinya, akan tetapi apabila kami meriwayatkan tentang faza’il (keutamaan), pahala dan azab, kami mempermudahkan tentang sanad dan berlembut tentang syarat-syarat perawi.” (Fatehul- Ghaith, ms 120)

    Abdur Rahman bin al-Mahdi merupakan guru kepada Imam Bukhari dan Imam Muslim. Beliau adalah salah seorang tokoh penting dalam ilmu rijal (biografi perawi). Bagi pihak ulama hadis, beliau mengatakan muhaddisin menilai sanad dengan ketat bila menilai hadis berkenaan halal dan haram dan juga tentang ‘perintah’ dan ‘larangan’. Bagi hadis yang tidak berkaitan dengan halal dan haram serta perintah dan larangan (seperti ‘fazail’ (keutamaan), sirah dsb) ulama hadis bersikap mudah tentang peribadi perawi dan mengabaikan kesilapan dan kelemahan mereka. Sebagai contoh, ulama hadis tidak melakukan kajian terperinci dan menyeluruh ke atas riwayat yang berkenaan dengan Fazaiel (Kelebihan) sama ada ia berkaitan dengan perwatakan atau amalannya seseorang, balasan azab terhadap sebarang perbuatan maksiat, ataupun peristiwa daripada sejarah. Mungkin ini adalah sebabnya mengapa ulama hadis tidak merasakan perlu untuk membincangkan dengan teliti riwayat yang berkenaan umur sebenar Saidatina ‘Aishah (semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w.) Besar kemungkinan, Imam Bukhari memegang prinsip yang sama iaitu tidak ketat dalam menilai riwayat seperti ini, yang mana kemudiannya menjadi ‘fitnah’ kepada kita semua.

    Satu lagi prinsip hadis ialah jika ingatan seseorang perawi menjadi lemah, maka riwayat yang disalin oleh para muridnya ketika itu adalah ditolak. Hafiz Ibn Hajar menda

    Hujah Kelapan – Aishah R.A Masih Ingat Dengan Jelas Peristiwa Hijrah Abu Bakar R.A. Ke Habshah

    Di dalam ‘Saheh Bukhari’, ada satu riwayat telah dinukilkan oleh Zuhri dari Urwah daripada Ummul Mu’minin r.a. Riwayat ini tidak pernah disebut oleh orang Iraq tetapi diriwayatkan oleh dua orang perawi Mesir, seorang perawi Sham dan dua orang perawi Madinah.

    Urwah bin Az Zubair meriwayatkan dari A’ishah Ummul Mukminin katanya, “Semenjak saya sedar dan mengerti, saya melihat ibubapa saya telah pun berugama Islam. Tidak berlalu satu hari pun melainkan Rasulullah saw akan datang kepada kami sama ada di sebelah pagi atau petang”.

    Bila orang-orang Islam diganggu oleh orang-orang kafir, Abu Bakar telah keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah ke bumi Habsyah. Bila beliau sampai ke Birku al-Ghimad beliau bertemu dengan Ibnu ad Dughunnah, ketua kabilah Qarah. Ibnu ad-Dughunnah bertanya, “Engkau hendak ke mana Abu Bakar?”. Abu Bakar menjawab, “Kaumku telah mengeluarkanku. Kerana itu aku akan mengembara di muka bumi agar dapat beribadat kepada tuhanku”. Ibnu ad Dughunnah berkata, “Sesungguhnya orang-orang sepertimu tidak boleh keluar dan tidak patut dikeluarkan (dari sesebuah negeri) kerana engkau berusaha untuk orang-orang yang tidak berharta. Engkau menghubungkan pertalian keluarga, engkau menanggung beban masyarakat, menjadi tuan rumah kepada tetamu dan membantu masyarakat ketika ditimpa bencana alam. Aku akan melindungimu. Pulanglah dan beribadatlah kepada tuhan di negerimu.”

    Maka pulanglah Abu Bakar bersama Ibnu Ad Dughunnah. Pada petangnya Ibnu ad Dughunnah mengunjungi orang-orang bangsawan Quraisy. Beliau bersuara kepada mereka, “Sesungguhnya orang seperti Abu Bakar tidak boleh keluar dan dikeluarkan. Adakah kamu patut mengeluarkan seorang yang berusaha untuk orang yang tidak berharta, menjalin silaturrahim, menanggung beban kesusahan orang lain, menjadi tuan rumah kepada tetamu dan menolong masyarakat ketika bencana?”. Perlindungan Ibnu Ad Dughunnah tidak ditolak oleh orang-orang Quraisy. Mereka berkata kepada Ibnu ad Dughunnah, “Suruhlah Abu Bakar menyembah tuhannya di dalam rumahnya. Ikut sukanya untuk membaca apa saja yang dia mahu asalkan dia tidak mengganggu kami dengan bacaannya dan jangan pula dia membaca dengan suara yang nyaring kerana kami bimbang perempuan-perempuan kami dan anak-anak kami akan terpesonanya dengannya”.

    Ibnu ad Dughunnah meminta dari Abu Bakar apa yang diutarakan oleh orang-orang Quraisy itu. Sampai beberapa lama Abu Bakar memenuhi syarat-syarat yang dikemukakan oleh orang-orang Quraisy itu. Beliau menyembah Tuhan di rumahnya dan tidak menyaringkan bacaannya di dalam sembahyang. Beliau juga tidak membaca al Quran di luar rumahnya.

    Kemudian timbul satu fikiran kepada Abu Bakar untuk membina masjid di halaman rumahnya. Beliau pun membina masjid dan bersembahyang di dalam masjid itu dan mula membaca al Quran menyebabkan perempuan-perempuan orang-orang musyrikin dan anak-anak mereka mula mengerumuninya dengan rasa kagum terhadapnya di samping melihat tingkah lakunya. Abu Bakar adalah seorang yang mudah menangis. Beliau tidak dapat menahan air mata apabila membaca al Quran. Keadaan ini menggemparkan kalangan bangsawan dan musyrikin Quraisy.

    Mereka pun mengutuskan orang kepada Ibnu ad-Dughunnah untuk bertemu dengan mereka. Setelah Ibnu Ad-Dughunnah datang, mereka pun berkata kepada Ibnu ad-Dughunnah, “Sesungguhnya kami telah memberi perlindungan kepada Abu Bakar atas permintaanmu dengan syarat dia menyembah tuhannya di dalam rumahnya sahaja. Sekarang dia telah pun melanggar syarat itu. Dia telah membina sebuah masjid di hadapan rumahnya dan menunaikan pula sembahyang dan membaca al Quran di dalam masjid yang dibinanya itu. Kami bimbang isteri-isteri dan anak-anak kami akan terpesona dengannya. Oleh itu tegahlah dia dari berbuat begitu. Kalau dia bersetuju untuk menyembah tuhannya di dalam rumahnya sahaja maka baiklah tetapi jika dia enggan melainkan tetap mahu mengerjakannya sembahyangnya secara terbuka dan membaca al Quran dengan suara yang nyaring, maka mintalah dengannya supaya dikembalikannya kepadamu jaminan keamanan yang telah diberikan olehmu kepadanya kerana tidaklah kami suka mengkhianati perlindungan yang diberikan olehmu itu dan tidak pula kami boleh menerima Abu Bakar bersembahyang dan membaca al Quran secara terbuka seperti itu”.

    Ibnu ad Dughunnah pun pergi menemui Abu Bakar. Dia berkata, “Engkau telah pun tahu syarat yang telah ku berikan untuk melindungimu. Jadi samada engkau akan mematuhi syarat itu atau engkau kembalikan kepadaku jaminan keamananku. Aku tidak suka orang-orang Arab mendengar cerita bahawa jaminan keamanan yang telah kuberikan kepada seseorang telah disia-siakan”.

    Mendengar kata-kata Ibnu Ad Dughunnah, Abu Bakar berkata, “Kalau begitu aku akan kembalikan kepadamu jaminan keamananmu dan aku berpuas hati dengan perlindungan Allah swt”.

    (Bukhari, Jilid I, m/s 553)

    Di dalam hadis ini, Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. menghuraikan pemerhatiannya tentang keadaan daripada tempoh mula kerasulan sehingga peristiwa hijrah ke Habshah dalam dua ayat iaitu “ Sejak saya mengerti dan faham keadaan sekeliling saya dapati keluarga saya telah memeluk Islam” dan “Saya melihat Nabi Muhammad s.a.w. datang ke rumah kami setiap hari pada pagi dan petang”.

    Di bahagian pertama hadis ini Ummul Mu’minin r.a. telah menceritakan pemerhatiannya di dalam dua ayat, iaitu “Sejak saya mengerti dan faham keadaan sekeliling, saya telah melihat keadaan ini”. Dan di bahagian kedua iaitu selepas balighnya, Ummul Mu’minin r.a. menyatakannya sebagai zaman persengketaan. Iaitu zaman yang menyebabkan sahabat-sahabat utama di awal Islam berhijrah ke Habshah. ‘Aishah r.a. kemudiannya telah menceritakan secara terperinci peristiwa penghijrahan ayahnya, Abu Bakar r.a ke Habshah.

    Bahagian ketiga daripada hadis ini yang tidak kami nukilkan di sini ialah hijrah ke Madinah.

    Ada dua riwayat tentang peristiwa Hijrah ke Madinah. Pertamanya, “Nabi s.a.w. keluar dari rumah Abu Bakar” di mana Aishah r.a. menyatakan dia diberitahu oleh Amir bin Fahirah (bekas hamba Abu Bakar r.a. dan temannya semasa Hijrah). Keduanya, peristiwa Suraqah di mana beliau r.a. menyatakan diberitahu oleh Suraqa kepadanya. Dengan kata lain, sejak daripada Ummul Mu’minin r.a. boleh berfikir, Abu Bakar r.a. dan Ummu Rumman r.a. telah memeluk Islam. Dan juga, sejak beliau faham keadaan sekelilingnya, beliau melihat Rasulullah s.a.w. sentiasa melawat rumah mereka setiap hari pada waktu pagi dan petang.

    Di dalam hadis ini Aishah r.a. telah mendakwa secara jelas bahawa beliau r.a. telah faham keadaan sekelilingnya pada ketika nabi s.a.w. dilantik menjadi rasul dan menyaksikan semua peristiwa yang berlaku dalam tempoh tersebut. Namun ulama kita telah mentakwilkan bahawa oleh sebab riwayat Hisham menyatakan ‘Aishah r.a. berusia sembilan tahun semasa mula hidup bersama Rasulullah s.a.w., Ummul Mu’minin r.a. mungkin telah mendengar cerita-cerita ini daripada orang lain.

    Ummul Mu’minin r.a. berkata bahawa “apabila saya telah faham keadaan sekeliling, saya telah melihat perkara yang berlaku” Ulama kita mengatakan bahawa beliau belum lagi dilahirkan! Ringkasnya, boleh dikatakan, Ummul Mu’minin telah melihat peristiwa tersebut lima atau enam tahun sebelum kelahirannya. Kami menyerahkan kepada anda untuk membuat keputusan siapakah yang benar.

    Keseluruhan perbincangan ini membuktikan bahawa sewaktu nabi s.a.w. dilantik menjadi rasul Ummul Mu’minin r.a. merupakan seorang kanak-kanak yang telah mengerti keadaan sekelilingnya iaitu berumur sekurang-kurangnya lima hingga enam tahun. Dengan kata lain, seorang kanak-kanak yang sudah boleh mengingati siapa yang datang dan keluar dari rumahnya dan faham bahawa apa yang ibu bapanya lakukan adalah bercanggah dengan penduduk Mekah. Ini adalah peringkat usia seorang kanak-kanak di mana mempunyai naluri ingin tahu dan berfikir mengapa dan bagaimana sesuatu perkara berlaku.

    Kesimpulan dari perbincangan ini ialah, anda hendaklah mengaku, berdasarkan hadis ini, bahawa Ummul Mu’minin r.a. sudah tentu sekurang-kurangnya berumur antara lima hingga enam tahun pada sewaktu perlantikan nabi s.a.w. sebagai rasul. Oleh itu, pengiraan ringkas menunjukkan umur beliau r.a. adalah sekitar sembilan belas atau dua puluh tahun semasa mula tinggal dengan Rasulullah s.a.w.

    Dan sekaligus ia membuktikan bahawa Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. dan Saidatina Fatimah r.a. adalah sebaya. Dengan itu, terpulanglah kepada anda samada untuk menerima riwayat Hisham (dengan menolak dua hadis di dalam kitab Bukhari di atas) atau mengakui kesilapan Hisham.

    Hujah Kesembilan – Aishah R.A. Mengelap Luka Dan Hingus Usamah Bin Zaid R.A. Yang Dikatakan Sebaya Dengannya

    Saidatina Aishah r.a. menceritakan bahawa Usamah telah jatuh tergelincir di bendul pintu dan luka di mukanya. Rasulullah s.a.w. berkata kepada saya, “Bersihkan kotoran itu daripada Usamah.” Saya terasa jijik bila melihat Usamah mula menjilat darahnya untuk membersihkan mukanya.

    Dalam riwayat Ibn Majah, “Hingus keluar dari hidung Usamah. Nabi s.a.w. menyuruh saya bangkit dan membersihkan hidung Usamah. Saya berasa jijik, lalu Nabi s.a.w. sendiri yang bangun dan membersihkan hidungnya.”

    Di dalam riwayat Tirmizi ada pula disebut bahawa Nabi s.a.w. hendak membersihkan hidung Usamah. Kemudian Ummul Mu’minin r.a. meminta izin untuk membersihkan hidungnya (Usamah). Nabi s.a.w. kemudian berkata, “Wahai ‘Aishah! Sayangilah Usamah, kerana saya juga menyayangi Usamah.” (Tirmizi: Jilid II, m/s 246)

    Juga, Baihaqi menerusi Sha’abi, daripada Ummul Mu’minin r.a. katanya “Rasulullah s.a.w. meminta saya bangun dan membasuh muka Usamah. Saya memberitahunya saya tidak tahu membersihkan muka kanak-kanak kerana saya tidak mempunyai anak. Tolonglah pegang dia dan basuh mukanya. Nabi s.a.w. memegang Usamah dan membasuh mukanya”. Dan baginda berkata, “Dia (Usamah) telah memudahkan kita kerana dia bukan seorang kanak-kanak perempuan. Jika dia seorang kanak-kanak perempuan, saya akan menghiaskannya dengan perhiasan-perhiasan dan akan berbelanja banyak untuknya.”

    Imam Ahmad, melalui Baihaqi, telah meriwayatkan daripada ‘Aishah r.a. bahawa Usamah jatuh tergelincir di atas bendul pintu. Mukanya telah luka. Nabi Muhammad s.a.w. telah mengelap dan membersihkannya, dan Baginda s.a.w. berkata, “Wahai Usamah! Jikalau kamu seorang kanak-kanak perempuan, pastinya saya akan memakaikan dan menghiasi kamu dengan perhiasan. Saya akan berbelanja besar untuk mu.”

    Sekali lagi, perhatikan semua riwayat ini. Anda akan dapati bahawa Usamah bin Zaid r.a adalah seorang kanak-kanak yang jauh lebih muda daripada Ummul Mu’minin r.a.. Ada masanya dia r.a. tercedera atau hidungnya berhingus. Adakalanya Ummul Mu’minin r.a. mengangkat dan membersihkannya dan kadang-kadang Rasulullah s.a.w. yang melakukannya. Adakalanya Ummul Mu’minin r.a. berasa jijik, dan pernah suatu kali beliau meminta maaf dengan berkata, “Saya tidak mempunyai anak, jadi saya tidak mempunyai pengalaman membasuh muka kanak-kanak.”

    Pertama sekali, perkataan ‘saya tidak mempunyai anak’ tidak mungkin keluar daripada mulut seorang kanak-kanak perempuan berusia sembilan atau sepuluh tahun. Perkataan ini hanya boleh diucapkan oleh seorang wanita yang umurnya sesuai untuk mendapat anak.

    Yang keduanya, ini jelas menunjukkan bahawa Usamah adalah jauh lebih muda dari Ummul Mu’minin r.a. Jika Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. adalah sebaya atau lebih muda daripada Usamah, Rasulullah s.a.w. tidak mungkin akan menyuruh ‘Aishah r.a. untuk membersihkan darah dan hidungnya (Usamah). Arahan begitu selalunya diberi kepada seseorang yang lebih tua daripada kanak-kanak tersebut. Tidak pernah berlaku dalam sejarah seorang kanak-kanak berusia lapan tahun disuruh untuk melayan atau merawat seorang kanak-kanak berusia sepuluh tahun !!

    Para ulama mengatakan, ‘dari Riwayat Hisham, Ummul Mu’minin berusia 18 tahun semasa kewafatan nabi ’. Dengan itu, adalah perlu untuk mengetahui berapakah usia Usamah di waktu kewafatan Rasulullah s.a.w.

    Imam Zahabi telah menulis di dalam bukunya ‘Siyar A’lam al-Nubala’ bahawa Usamah berusia 18 tahun pada waktu itu.

    Sesuatu yang menarik untuk diperhatikan di sini ialah seorang kanak-kanak perempuan telah membersihkan hidung seorang kanak-kanak lelaki yang sebaya dengannya!

    Waliuddin Al-Khatib, penulis ‘Mishkat’, menulis di dalam bab ‘Al-Ikmal fi Asma’ al-Rijal’

    “Apabila Nabi Muhammad s.a.w. wafat, Usamah berumur 20 tahun.” (‘Mishkat’, m/s 585)

    Telah disepakati oleh ulama hadis dan ahli sejarah bahawa sebelum kewafatannya, Rasululullah menyusun satu pasukan tentera untuk menyerang tentera Rom dan menakluki Syria untuk menebus kekalahan dalam Perang Mu’tah. Usamah r.a merupakan panglima angkatan tentera ini, dan sahabat besar seperti Saidina Umar r.a. telah diperintahkan untuk berperang di bawah arahannya. Pada ketika itu, beliau berumur dua puluh tahun, menurut Waliuddin Al-Khatib, dan sembilan belas tahun menurut Hafiz Ibn Kathir:

    “Semasa Rasulullah s.a.w. wafat, Usamah berumur 19 tahun.” (Al-Bidayah-wan-Nihayah, Jilid 8, m/s 67)

    Setelah dibaia’kan, Saidina Abu Bakar r.a. menyempurnakan tugasan ini dengan menghantar tentera Usamah, yang mana dengan izin Allah S.W.T. telah kembali dengan kemenangan.

    Usamah r.a. telah dilahirkan pada tahun ke-3 kerasulan. Dan kejadian di mana beliau cedera terjatuh di muka pintu rumahnya, atau hidungnya berhingus, atau Nabi Muhammad s.a.w. membasuh mukanya ataupun Baginda s.a.w. menyuruh Ummul Mu’minin r.a. supaya membasuh atau membersih mukanya dan sebagainya, adalah kerana Usamah pada masa itu ialah seorang kanak-kanak kecil. Dan juga, permintaan supaya Ummul Mu’minin merawat Usamah adalah kerana Ummul Mu’minin adalah lebih tua daripada Usamah. Jika Usamah r.a. adalah lebih muda daripada Ummul Mu’minin r.a. dan usianya (Usamah) sekitar 19-20 tahun di waktu kewafatan Nabi s.a.w., umur Ummul Mu’minin r.a.sepatutnya sekurang-kurangnya lima tahun lebih tua (daripada Usamah), dengan itu barulah arahan mengenai membersihkan darah dan hidung itu sesuai.

    Hujah Kesepuluh – Ummul Mu’minin R.A. Turut Serta Di Dalam Peperangan Badar

    Di dalam ‘Saheh’nya Imam Muslim melalui Urwah bin Zubair, telah meriwayatkan daripada Saidatina ‘Aishah r.a. bahawa beliau (Saidatina ‘Aishah r.a.) berkata Nabi Muhammad s.a.w. mara ke medan pertempuran Badar dan semasa tiba di Harratul Wabrah, seorang lelaki yang terkenal dengan kegagahan dan keberanian datang kepadanya. Para Sahabat r.a. teramat gembira melihat kedatangan lelaki tersebut. Beliau berkata kepada Nabi Muhammad s.a.w., “Saya telah datang kepadamu dengan tujuan untuk menyertai peperangan, dan saya ingin menanggung kesukaran ini bersama kamu.” Baginda s.a.w bertanya, “ Adakah kamu beriman kepada Allah dan Nabi-Nya?” Pemuda itu menjawab, “Tidak”. Lalu Baginda s.a.w. berkata, “Pergi, baliklah. Saya tidak memerlukan sebarang bantuan daripada seorang musyrik.”

    Ummul Mu’minin r.a. berkata bahawa pemuda tersebut pun berlalu dari situ. Tetapi apabila mereka sampai di Shajarah, orang yang sama telah datang semula. Baginda s.a.w. sekali lagi menanyakan soalan yang sama iaitu sama ada beliau beriman kepada Allah dan Nabi-Nya. Sekali lagi pemuda itu menjawab tidak. Kemudian Rasulullah s.a.w. telah berkata bahawa baginda s.a.w tidak memerlukan sebarang pertolongan daripada seorang musyrik. Maka pemuda itu pun sekali lagi berlalu pergi.

    Ummul Mu’minin r.a. menceritakan bahawa apabila mereka tiba di sebuah tempat bernama Baida’, pemuda yang sama muncul kembali. Sekali lagi Nabi Muhammad s.a.w. bertanyakan soalan yang serupa, “Adakah kamu beriman kepada Allah dan Nabi-Nya?” Pemuda tersebut mengiyakannya. Lalu Baginda s.a.w. berkata, “Bagus! Kamu boleh turut serta.” (‘Sahih Muslim’, Jilid II, m/s 118)

    Bagaimanapun pensyarah-pensyarah hadis telah mentakwilkan bahawa perkataan ‘kami’ yang digunakan oleh Ummul Mu’minin r.a. mungkin telah bermaksud ‘para sahabat ’ r.a. dan beliau (‘Aishah r.a.) sendiri sebenarnya tidak termasuk dalam ungkapan ‘kami’ itu. Dan Ummul Mu’minin r.a. mungkin telah pergi hingga ke Baida’ untuk mengucapkan selamat jalan kepada Nabi Muhammad s.a.w.

    Namun, kami tidak dapat menerima takwilan ini. Daripada hadis imam Muslim ini, kami membuat kesimpulan bahawa Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. telah turut serta dalam peperangan Badar, dan ‘Aishah r.a. adalah satu-satunya wanita yang menyertai peperangan Badar. Ahli-ahli sejarah dan para penulis sirah Nabi Muhammad s.a.w. yang mengatakan bahawa Baginda s.a.w. mula tinggal bersama ‘Aishah r.a. di bulan Syawal, tahun ke-2 H mungkin dipengaruhi golongan Syiah. Yang tepatnya, Ummul Mu’minin r.a. telah mulai hidup bersama Baginda s.a.w. pada bulan Syawal, tahun pertama selepas hijrah, dan hadis Muslim di atas adalah benar.

    Di samping membuktikan bahawa Ummul Mu’minin r.a. turut serta dalam Peperangan Badar dan hidup bersama Nabi s.a.w. mulai bulan Syawal di tahun pertama hijrah, hadis ini juga membuktikan bahawa ‘Aishah r.a. telah hidup bersama Rasulullah s.a.w. selama sepuluh tahun. Dakwaan ahli sejarah yang mengatakannya sembilan tahun ataupun Riwayat Hisham yang menyatakan tempoh sembilan tahun, adalah salah.

    Apabila Saidina Umar r.a. telah memperuntukkan sejumlah elaun untuk para Sahabat r.a. sewaktu beliau menjadi Khalifah, beliau telah memberikan elaun yang lebih kepada mereka yang telah menyertai Perang Badar, berbanding dengan mereka yang tidak menyertai Peperangan Badar. Dan, apabila elaun untuk isteri-isteri Rasulullah s.a.w dibahagikan, jumlah elaun Ummul Mu’minin Saidatina ‘Aishah r.a. adalah yang tertinggi yang mana menurut ahli sejarah disebabkan beliau adalah isteri yang paling disayangi oleh Rasulullah s.a.w. Alasan ini mungkin juga benar. Akan tetapi, sebabnya yang sebenar pada pandangan kami ialah beliau (‘Aishah r.a.) telah turut serta di dalam Perang Badar, dan isteri yang lain tidak memiliki kelebihan ini, malah tiada wanita lain di muka bumi ini yang memiliki penghormatan ini.

    Semoga Allah S.W.T. melimpahkan rahmat-Nya ke atas Imam Muslim yang telah menyampaikan riwayat ini dengan sanad yang paling sahih sehingga tiada perawinya dipertikaikan. Beliau telah membuktikan Ummul Mu’minin Saidatina ‘Aishah r.a. turut serta di dalam Peperangan Badar, dan menjalani kehidupan sebagai isteri kepada Nabi s.a.w. pada tahun 1 (selepas hijrah), dan terus kekal sebagai isteri Nabi s.a.w. selama sepuluh tahun (sehingga kewafatannya) ; maka tempoh selama sembilan tahun. sebagaimana yang disebut di dalam Riwayat Hisham, adalah tidak benar.

    Semoga Allah mengurniakan kesejahteraan terhadap Imam Muslim di dalam taman-taman syurga, kerana dengan meriwayatkan peristiwa ini telah membuktikan Ummul Mu’minin r.a. tidaklah bermain dengan anak patung tetapi bermain dengan pedang; bahkan beliau telah dibesarkan di bawah bayang-bayang pedang. Ini merupakan sifat semulajadinya, kerana seorang kanak-kanak yang senantiasa melihat permainan pedang, tidak bermain dengan anak patung. Bermain dengan anak patung adalah kebiasaan orang Ajami (Iran), bukannya permainan orang Arab. Para Perawi Iraq ini mahu mengatakan Ummul Mu’minin Aishah r.a. suka bermain dengan anak patung sebagaimana kegemaran wanita-wanita di sana. Berkemungkinan, tujuan mereka ialah ingin mengatakan ‘bagaimanana mungkin seorang kanak-kanak perempuan yang menghabiskan masanya dengan bermain anak patung dapat memahami maksud al-Qur’an dan Sunnah’.

    Riwayat ini juga telah membuktikan bahawa Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. bukanlah seorang kanak-kanak berumur sembilan tahun ketika itu. Jika beliau adalah seorang kanak-kanak berusia sembilan tahun, apakah tujuannya untuk pergi ke medan perang? Ini kerana, tugas wanita yang berada di medan perang ialah untuk berperang dan memberikan khidmat ketenteraan. Aspek ini akan dijelaskan dalam halaman-halaman seterusnya.

    Di dalam Peperangan Badar, sudah termasyhur bahawa bendera yang disediakan pada hari itu, adalah diperbuat daripada kain tudung yang digunakan oleh wanita Islam untuk menutup kepala dan badan. Sekiranya peristiwa ini benar-benar terjadi, ia merupakan bukti yang lebih kukuh, bahawa Ummul Mu’minin r.a. mulai hidup bersama Rasulullah pada tahun pertama Hijrah dan beliau (‘Aishah) menyertai Peperangan Badar. Ini kerana, adalah tidak masuk akal untuk mengambil kain tudung kanak-kanak perempuan yang belum berkahwin lagi. Begitu juga agak sukar dipercayai bahawa Baginda s.a.w. membawa kain tudung seorang pengantin baru dan mara ke medan Badar, dan ia juga tidak mungkin bahawa beliau (Saidatina ‘Aishah) pergi hingga ke Baida’ semata-mata untuk mengucapkan selamat jalan kepada Rasulullah s.a.w., dan telah meninggalkan kain tudungnya di sana. Ini bukan sebuah kisah cinta !!

    Yang sebetulnya, keadaan peperangan yang datang secara mengejut menyebabkan kesukaran untuk mendapatkan kain bendera. Kemungkinannya, tidak terdapat kain di dalam khemah untuk dijadikan bendera. Kemudiannya Ummul Mu’minin r.a. memberikan kain tudungnya dan meletakkan sehelai kain sapu tangan di atas kepalanya dan beliau r.a. telah bersedia untuk berperang. Namun perawi-perawi Iraq menggambarkannya sebagai sebuah kisah cinta yang romantik!!

    Juga perhatikan bahawa bendera-bendera tersebut telah disediakan di tempat yang bernama ‘Rawja’ yang jauhnya 40 batu dari Madinah.

    Sehelai bendera telah dibuat untuk orang Ansar dan yang sehelai lagi untuk Muhajirin. Bendera Muhajirin telah diberi kepada Mus’ab bin Umair r.a., akan tetapi Waqidi (seorang perawi Syiah) berkata ia telah diberi kepada Saidina Ali r.a. Riwayat ini, kemudiannya telah dikutip oleh ulama ahli sunnah yang menganggap setiap riwayat perlu dikutip untuk memenuhi kewajipan agama. Maka timbullah cerita sehelai bendera telah diberi kepada Mus’ab r.a. dan sehelai lagi diberi kepada Ali r.a. Kemudian daripada itu ahli-ahli sejarah Syiah telah memotong nama Mus’ab r.a. dan memasyhurkan nama Ali r.a. sebagai satu-satunya pembawa bendera.

    Pada hari ini ‘sejarah’ yang kita miliki, adalah sejarah yang diputarbelit dan diselewengkan. Semua kaki dan tangannya sudahpun dipotong oleh pembohong-pembohong Syiah. Untuk menyambungkan kembali tangan dan kakinya yang dipotong ini hanya mungkin apabila kita mendapatkan ‘anggota’ yang sebenar.

    Kebanyakan orang sibuk untuk mengorek dan menggali sejarah. Kita geledah di mana-mana untuk mencari ‘anggota-anggota’ yang hilang itu. Walaupun kita menjumpai anggota-anggota ini kita sebenarnya tidak dapat memastikan bahawa ianya bukan organ palsu. Malah adalah dibimbangi kita mungkin kehilangan tubuh yang sedia pincang ini setelah mendapat anggota yang kononnya ‘asli’ tetapi pada hakikanya adalah palsu.

    Sebagai contoh, pada awal abad ini, jenazah, yang dikatakan milik Saidina Huzaifah dan Saidina Jabir bin Abdullah telah ditemui. Menurut ahli sejarah dan ulama hadis, Jabir r.a. telah dikebumikan di perkuburan Baqi’ di Madinah. Mungkin kubur palsu ini, yang siap dengan ukiran, telah di bina pada zaman

    Hujah Ke-11 – Aishah R.A. Menyertai Perang Uhud Sedangkan Kanak-Kanak Lelaki Berumur Empat Belas Tahun Tidak Dibenarkan Menyertai Perang

    Peperangan Uhud adalah satu peperangan di mana Nabi Muhammad s.a.w. telah tercedera parah. Menurut Hadis Bukhari, hanya dua orang sahabat yang tinggal bersamanya iaitu Sa’ad bin Abi-Waqas dan Talhah bin Ubaidullah r.a. Sebahagian sahabat kebingungan, sebahagiannya berjuang bersendirian dan terputus hubungan dengan yang lain. Sebahagian yang lain pula telah memanjat bukit untuk menyelamatkan nyawa; dan telah tersebar dengan luas kabar angin bahawa Nabi Muhammad s.a.w. telah syahid.

    Pada hari itu, Abu Talhah Ansari r.a. iaitu ayah tiri Anas r.a., telah mempertahankan Nabi s.a.w. dengan sepenuh jiwa dan tenaganya. Beliau berkali-kali merayu kepada Rasulullah s.a.w. sambil berkata, “Saya korbankan ibubapa ku demi keselamatanmu! Jangan tinggalkan tempatmu kerana saya takut anda akan dipanah”.

    Inilah satu-satunya peperangan semasa hayat Rasulullah s.a.w. di mana orang Islam telah ditewaskan dan seramai 70 orang sahabat r.a. telah syahid. Dan, barangkali tiada seorang pun yang tidak mendapat kecederaan. Beberapa orang wanita juga turut serta dalam pertempuran ini.

    Sebelum kami mengulas dengan lebih lanjut tentang siapakah wanita yang turut serta dalam peperangan ini, dan apakah tanggungjawab mereka, perlu dijelaskan bahawa Rasulullah s.a.w. menyedari akan bahaya yang akan dihadapi. Itulah sebabnya mengapa Baginda s.a.w. tidak membenarkan kanak-kanak lelaki yang berumur 14 tahun ke bawah untuk mengambil bahagian dalam peperangan ini. Di kalangan kanak-kanak bawah umur ini termasuklah Samrah bin Jundub, Bara’ bin Azib, Anas bin Malik, Zaid bin Thabith dan Abdullah bin Umar r.a.. Ibn Umar r.a. tidak dibenarkan menyertai Perang Uhud kerana beliau berumur 14 tahun ketika itu dan peperangan pertama yang disertainya ialah Perang Ahzab atau dikenali dengan nama Perang Khandak. Oleh itu, had umur untuk menyertai satu-satu peperangan ialah 15 tahun. Angka ini amat penting sehingga sesetengah ahli feqah, dengan berdasarkan riwayat Ibn Umar ini, telah menetapkan had kematangan (baligh) adalah sekurang-kurangnya 15 tahun.

    Sekarang perhatikan sekiranya Rasulullah s.a.w. hanya membenarkan mereka yang berumur 15 tahun ke atas untuk mengambil bahagian dalam peperangan, bagaimana mungkin seorang kanak-kanak perempuan bawah umur dibenarkan untuk turut serta dalam peperangan?

    Perlu diingat bahawa wanita yang mengambil bahagian di dalam peperangan mempunyai pelbagai tanggungjawab seperti mengangkat dan merawat mujahidin yang tercedera di medan pertempuran, memberi minum kepada mujahidin yang tercedera, bahkan mengangkat senjata bila diperlukan. Adalah jelas bahawa tidak semua wanita mampu melakukan tugas-tugas ini. Bagaimana mungkin tanggungjawab sebegitu penting diserahkan kepada seorang kanak-kanak perempuan yang baru berusia sembilan atau sepuluh tahun?

    Seorang wanita mampu melaksanakan tugas yang sebegitu penting sekiranya dia memiliki kemahiran dalam teknik bertempur, dan boleh mempertahankan dirinya sendiri apabila perlu, dan yang utamanya dia mestilah mempunyai keberanian untuk menyertai pertempuran apabila diperlukan.

    Dengan mempertimbangkan hal ini dengan cermat, kita terpaksa mengakui bahawa tanggungjawab seperti itu tidak boleh diserahkan kepada seorang kanak-kanak perempuan bawah umur. Sekiranya, pemuda yang berusia 14 tahun tidak dibenarkan untuk mengambil bahagian di dalam pertempuran, kaum wanita yang ingin menyertai peperangan mestilah seorang yang cukup matang dan berpengalaman yang faham akan risiko yang bakal ditanggung.

    Di antara wanita yang pernah berperang bersama Rasulullah s.a.w. ialah :

    1. Ummu Ammarah r.a. :

    Di antara wanita yang telah menyertai peperangan Uhud ialah Ummu Ammarah r.a. yang turut melindungi Rasulullah s.a.w.. Pada hari itu, beliau mendapat 13 luka dan Nabi s.a.w. sendiri telah membalut lukanya sambil berdiri.

    Ummu Ammarah r.a. berhadapan dengan Ibn Qamayyah yang melemparkan batu kepada Rasulullah s.a.w. Beliau (Ummu Ammarah r.a.) menyerang menggunakan sebatang kayu (sedangkan Ibn Qamayyah bersenjatakan sebilah pedang), mengakibatkan Ibn Qamayyah jatuh tersungkur dan pecah kepalanya.

    Beliau r.a. juga telah menyertai Peperangan Yamamah menentang Musailamah al-Kazzab dan telah berjuang dengan sepenuh hati dan telah mendapat 12 luka sehingga menyebabkan tangannya tidak boleh digunakan.

    2. Ummu Sulaim r.a. :

    Ibn Sa’ad telah meriwayatkan bahawa Ummu Sulaim r.a. membawa bersamanya pisau belati pada hari Peperangan Uhud.

    Anas r.a. telah menceritakan bahawa Ummu Sulaim r.a. membawa pisau belati bersamanya sewaktu Pertempuran Hunain. Abu Talhah r.a. mengadu kepada nabi s.a.w., “Wahai Rasulullah., ini Ummu Sulaim dan beliau membawa pisau belati bersamanya”. Mendengarkan kata-kata itu, Ummu Sulaim r.a. berkata, “Wahai Rasulullah., saya menyimpan pisau ini kerana jika ada orang kafir datang mendekati saya, saya akan menikam perutnya”. (Tabaqat Ibn Sa’ad, Jilid VIII, m/s 425)

    Wanita yang tidak menyertai pertempuran secara langsung juga turut dilengkapi dengan senjata.

    Keterangan ini jelas menunjukkan bahwa menyertai peperangan bukanlah tugas seorang kanak-kanak bawah umur. Ummu Sulaim r.a., ibu kepada Anas r.a., adalah seorang wanita yang dewasa dan berpengalaman. Beliau telah mengambil bahagian dalam beberapa peperangan bersama Nabi Muhammad s.a.w.

    3. Ummul Mu’minin Saidatina ‘Aishah r.a. :

    Kami telah membuktikan bahawa Ummul Mu’minin Saidatina ‘Aishah r.a. telah menyertai Peperangan Badar sebagai wanita dewasa dan bukan sebagai kanak-kanak bawah umur. Beliau r.a. juga telah mengambil bahagian di dalam Pertempuran Uhud bersama-sama dengan Ummu Sulaim r.a.

    Anas r.a. mengatakan bahawa beliau telah melihat ‘Aishah binti Abu Bakar r.a. dan Ummu Sulaim r.a. menyinsingkan kaki seluar mereka dan sebahagian daripada buku lali mereka telah terlihat olehnya (Anas r.a.). Kedua-dua mereka bertugas mengangkat gereba air dan memberi minum kepada tentera Islam. Mereka berulang-alik mengisi air dan memberi minum kepada Mujahidin. (Bukhari, Jilid I, m/s 403)

    Tugas menyediakan air adalah proses yang berterusan di medan perang. Tugas ini hanya boleh dilakukan oleh wanita yang bersenjata dan berpengalaman, dan bukan seorang gadis mentah berumur sepuluh tahun. Sedangkan untuk mengangkat gereba air pun suatu tugas yang berat untuknya (sekiranya beliau r.a. berumur sepuluh tahun pada masa itu) bagaimana mungkin beliau sama-sama memikul tanggungjawab bersama Ummu Sulaim r.a., seorang wanita dewasa? Berganding bahu dengan Ummu Sulaim r.a. itu sendiri membuktikan bahawa Ummul Mu’minin r.a. sekali-kali bukan seorang kanak-kanak di bawah umur pada masa itu. Dan juga, apabila diakui bahawa kanak-kanak lelaki yang berumur 14 tahun tidak dibenarkan menyertai peperangan, bagaimana mungkin Ummul Mu’minin r.a. yang berumur 10 tahun dibebankan dengan tugas berat ini.

    Saudara, perbincangan di atas adalah dari sudut hadis. Sekarang mari kita bincangkan tajuk ini dari aspek sejarah, yang mana akan terus menyokong pendapat bahawa Ummul Mu’minin tidak berumur enam tahun semasa beliau r.a. mengahwini Rasulullah s.a.w.

    Hujah Ke-12 – Aishah R.A. Lebih Muda 10 Tahun Dari Kakaknya Asma, Dan Semasa Peristiwa Hijrah Asma R.A. Berumur 27 Atau 28 Tahun

    Ahli hadis dan ahli sejarah sepakat bahawa Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. adalah sepuluh tahun lebih muda daripada kakaknya Asma’ r.a., dan Asma’ r.a. meninggal dunia sewaktu berumur 100 tahun pada tahun 73 H. Ini menunjukkan Asma’ r.a. berusia 27 atau 28 tahun semasa peristiwa Hijrah. Apabila sepuluh tahun ditolak daripada 28, umur Ummul Mu’minin r.a. menjadi 18 tahun ketika peristiwa Hijrah, dan jika ‘Aishah r.a. mula hidup bersama-sama Rasulullah s.a.w. pada tahun 1 H umurnya ialah 19 tahun, dan sekiranya mereka tinggal bersama pada tahun 2 H umurnya menjadi 20 tahun.

    Wali al-Din bin Al-Khatib menulis di dalam bukunya ‘Al-Ikmal fi Asma’ al-Rijal’ sebagaimana berikut: “Asma’ r.a. adalah ibu kepada Abdullah bin Zubair. Beliau memeluk Islam di awal permulaan Islam di Mekah. Diriwayatkan beliau merupakan orang ke lapan belas memeluk Islam. Beliau sepuluh tahun tua daripada adiknya, ‘Aishah. Dia meninggal dunia sepuluh hari selepas kematian anak lelakinya. Ada juga pendapat mengatakan bahawa selepas 20 hari Ibn Zubair diturunkan daripada gantungan, beliau (Asma’ r.a.) genap umurnya 100 tahun, dan perstiwa ini berlaku di Mekah pada tahun 73 H” (Mishkat, m/s 556)

    Hafiz Ibn Hajar menulis di dalam ‘Taqrib-ul-Tahzib’:

    “Asma r.a. hidup selama 100 tahun dan meninggal dunia pada tahun 73 atau 74 H.” (Taqrib-ul-Tahzib, m/s 565)

    Hafiz Ibn Kathir menulis di dalam kitab sejarahnya yang terkenal, ‘Al-Bidayah-wa al-Nihayah’: “Adik kepada Asma’ ialah ‘Aishah r.a., ayahnya ialah Abu Bakar As-Siddiq r.a., datuknya ialah Abu Qahafah r.a., anak lelakinya ialah Abdullah r.a., dan suaminya ialah Zubair r.a., dan kesemuanya adalah merupakan sahabat r.a.”

    Asma’ r.a., bersama-sama anaknya Abdullah dan suaminya, menyertai Perang Yarmuk. Beliau lebih tua sepuluh tahun dari adiknya ‘Aishah r.a.

    Beliau menyaksikan pembunuhan anaknya, Abdullah bin Az-Zubair r.a., yang menyedihkan beberapa hari sebelum kematiannya (pada tahun 73 H). Setelah lima hari kejadian ini berlaku, menurut sesetengah pendapat mengatakan ‘selepas sepuluh hari’ sementara pendapat yang lainnya pula mengatakan ‘setelah lebih daripada 20 hari’, dan beberapa pendapat lagi mengatakan ‘selepas 100 hari’, Asma’ r.a. meninggal dunia. Suatu yang dimaklumi semua bahawa beliau berumur 100 tahun semasa kematiannya. Tiada satupun giginya tanggal malah tidak ada sebarang kekurangan pada ingatannya. (Al-Bidayah-wan-Nihayah Jilid VIII, m/s 346)

    Begitu juga az-Zahabi telah menulis di dalam bukunya ‘Siyar -A’lam al-Nubala’. Beliau mengatakan:

    “Asma’ r.a. binti Abu Bakar r.a. adalah lebih kurang sepuluh tahun lebih tua daripada ‘Aishah r.a.” (Siyar-A’lam Al-Nubala, Jilid II, m/s 208)

    Abdur Rahman bin Abi Zinad mengatakan bahawa Asma’ r.a. adalah sepuluh tahun lebih tua daripada ‘Aishah r.a.. Urwah juga mengatakan bahawa Asma’ r.a. wafat semasa berumur 100 tahun.(Siyar- A’lam Al-Nubala, Jilid II, m/s 213)

    Hafiz az-Zahabi, Hafiz Ibn Kathir dan Wali al-Din Al-Khatib adalah dikenal sebagai ulama hadis. Tokoh-tokoh ini juga adalah ahli sejarah dan ulama hadis (muhaddis) yang terkenal dalam ilmu Rijal (biografi perawi). Mereka mengatakan Ummul Mu’minin Aishah r.a.ialah sepuluh tahun lebih muda dari Asma’ r.a. Berdasarkan fakta bahwa umur Asma’ adalah 100 tahun semasa meninggal dunia, kita dapati umur Ummul Mu’minin ialah 16 tahun semasa berkahwin dan 19 tahun semasa mula hidup bersama dengan Rasulullah s.a.w. r.a. Sekali lagi dibuktikan bahawa angka ‘10’ telah digugurkan oleh Hisham di dalam riwayatnya, dan beliau telah tersalah bila menyebut hanya satu angka iaitu ‘6’ dan perkara yang serupa bila menyebut angka ‘9’. Sekiranya riwayat Hisham adalah benar umur Asma’ r.a. menjadi kurang sebanyak sepuluh tahun.

    Hujah Ke-13 – Ahli Sejarah At-Tabari Mengatakan Aishah R.A. Lahir Di Zaman Jahilliyah (Sebelum Kerasulan)

    Ahli sejarah Muhammad bin Jareer al-Tabari, menceritakan tentang keluarga Saidina Abu Bakar r.a. sebagaimana berikut:

    “Abu Bakar r.a. telah berkahwin sebanyak dua kali semasa zaman Jahiliyah. Pertama dengan Qatilah dan memperolehi Abdullah dan Asma’ r.a., dan kedua dengan Ummu Rumman r.a., yang daripadanya ‘Aishah r.a. dan Abdur-Rahman r.a. telah dilahirkan”. Kemudian beliau menyebut:

    “Empat orang anak ini telah dilahirkan oleh dua orang isteri sebagaimana dinyatakan di atas. Kesemuanya telah dilahirkan pada zaman Jahiliyah”. (Tarikh Tabari, Jilid IV, m/s 50)

    Ingat bahawa kaum Shiah mengatakan umur Aishah ialah enam tahun bila mengahwini Rasulullah s.a.w. Al-Tabari sendiri merupakan seorang Syi’ah tulin tetapi beliau mengesahkan bahawa Ummul Mu’minin r.a. dilahirkan pada zaman Jahiliyah. Hampir setiap Muslim tahu bahawa zaman sebelum daripada Kerasulan dipanggil sebagai ‘zaman Jahiliyah’. Jika Ummul mu’minin r.a. telah dilahirkan meskipun beberapa bulan sebelum Kerasulan, usianya ialah 15 tahun pada waktu beliau mula tinggal bersama Rasulullah s.a.w. Dan juga, kami telah membuktikan sebelum ini bahawa Ummul Mu’minin r.a. telah dilahirkan sekurang-kurangnya lima tahun sebelum Kerasulan. Dengan ini, telah pasti bahawa Ummul Mu’minin r.a. mula hidup bersama Rasulullah s.a.w. ketika berusia 19 tahun. Bagaimanapun, mungkin juga usianya lebih tua daripada sembilan belas tahun tetapi adalah mustahil beliau lebih muda dari itu.

    Pada pandangan kami, semua tipu helah ini adalah ciptaan orang-orang Kufah. Ini adalah kerana mereka mendakwa Fatimah r.a. dilahirkan lima tahun selepas kerasulan dan beliau berkahwin semasa berumur sembilan tahun Dicatitkan di dalam ‘Tu’fatul Awam’ iaitu buku fiqah mereka, bahawa seorang gadis sepatutnya dikahwinkan setelah usianya mencecah sembilan tahun. Dengan itu, orang Kufah, dengan niat untuk menyembunyikan muslihat jahat mereka telah memalsukan fakta tentang usia Ummul Mu’minin r.a. Bila ahli sunnah dengan lantang menolak penipuan orang Syiah ini, mereka akan menjawab, “ Bagaimana kamu boleh menolak fakta ini sedangkan kamu menerima yang Fatimah berkahwin semasa berumur sembilan tahun!”

    Sekiranya kita berpegang bahawa perbezaan umur di antara Aishah r.a. dan Asma’ r.a ialah sepuluh tahun, maka umur Asma’ ialah 14 tahun semasa nabi s.a.w. dilantik menjadi rasul. Dengan fakta ini Ummul M’minin r.a. sudah pasti dilahirkan sebelum kerasulan. Ini bermakna, bahawa Ummul Mu’minin r.a. dan Saidatina Fatimah r.a. adalah hampir sebaya. Perbezaan umur sebanyak sepuluh tahun di antara kedua-duanya hanyalah rekaan orang Kufah.

    Hujah Ke-14 – Aishah R.A. Adalah Antara Orang-Orang Yang Terawal Memeluk Islam

    Ibn Hisham, seorang ahli sejarah, telah menyenaraikan nama mereka yang beriman di dalam bukunya ‘As-Seerat’ di bawah tajuk “As-Sabiqun al-Awwalun” (Orang-orang Yang Terawal dan Terkemuka). Beliau meletakkan Ummul Mu’minin Saidatina Khadijah r.a. di tempat yang teratas, diikuti lelaki, wanita dan kanak-kanak mengikut turutan. Beliau menulis:

    “Selepas Saidatina Khadijah r.a., Usman Ibn Affan, Zubair bin Al-Awwam, Abdur-Rahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqas dan Talhah bin Ubaidullah (termasuk Zaid, Ali dan Abu Bakar) r.a. Ini adalah sekumpulan lapan orang yang telah memeluk Islam melalui seruan Abu Bakar r.a. yang terlebih dahulu memeluk Islam. Kemudiannya Abu Ubaidah bin Al-Jarah memeluk Islam diikuti oleh Abu Salamah bin Abdul Asad dan Arqam bin Abi Al-Arqam (yang mana rumahnya terletak di atas Bukit Safa yang digunakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. meyebarkan Islam secara rahsia).

    Setelah orang Islam berjumlah 40 orang, mereka telah keluar berdakwah secara terang-terangan. Hasil daripada usaha tersebut, mereka ini telah menerima Islam, Uthman bin Maz’un beserta adiknya Qadamah dan Abdullah, Ubaidah bin Al-Harith, Sa’id bin Zaid dan isterinya Fatimah (adik perempuan Umar bin Al-Khattab), Asma’ binti Abu Bakar r.a. dan ‘Aishah binti Abu Bakar r.a., kedua-duanya masih kecil, dan Khabab bin Al-Arth. (Ibn Hisham, Jilid I, m/s 65)

    Dari senarai Ibnu Hisham, Asma’ dan Aishah r.a. berada di tempat ke sembilan belas dan ke dua puluh. Aishah r.a. telah memeluk Islam lama terlebih dahulu sebelum Saidina Umar r.a., iaitu pada tahun nabi s.a.w. dilantik menjadi rasul. Kini, jika kita hendak menerima riwayat Hisham, Ummul Mu’minin r.a. telah memeluk Islam empat tahun sebelum kelahirannya. Oh, amat menakjubkan!

    Ibn Ishaq juga menyenaraikan dengan turutan, sahabat-sahabat r.a. yang telah memeluk Islam pada awal permulaannya. Dia menyebut nama sembilan sahabat r.a. yang telah memeluk Islam di peringkat permulaan. Ibn Ishaq berkata, “Kemudian Abu Ubaidah r.a. telah memeluk Islam, selepasnya Abu Salamah r.a., dan Arqam bin Abi Al-Arqam, dan Uthman bin Maz’un, dan Ubaidah bin Al-Harith, dan Sa’id bin Zaid beserta isterinya Fatimah (binti Al-Khattab), dan Asma’ binti Abu Bakr dan ‘Aishah binti Abu Bakar r.a. memeluk Islam dan beliau masih kecil ketika itu. (As-Seerat-un-Nabawiyyah, Jilid I, m/s 452)

    Di sini, Ibn Ishaq telah meninggalkan nama dua adik-beradik kepada Maz’un r.a., iaitu Qadamah dan Abdullah, meletakkan nama Asma’ dan ‘Aishah pada kedudukan yang ke-17 dan 18; dan sekiranya dua nama tadi dimasukkan maka Ummul Mu’minin Saidatina ‘Aishah r.a. jatuh di tempat yang ke-20.

    Senarai yang sama telah dikeluarkan oleh Ibn Suhaili dalam kitabnya yang terkenal iaitu ‘Kitab-Al-Raudh Al-A’yif’

    Keterangan di atas menjelaskan bahawa Ummul Mu’minin r.a. adalah di kalangan Orang-orang Yang Terawal Beriman, dan beliau telah menyatakan keimanannya pada tahun pertama Kerasulan. Meskipun beliau seorang gadis kecil, yang pastinya, beliau sudah faham tentang makna Islam dan Iman. Kemungkinan besar beliau telah dilahirkan lima tahun sebelum kerasulan dan beliau berumur enam tahun semasa menerima Islam.

    Penulis ‘Hayat Sayyid -ul-Arab’ meletakkan Waraqah bin Naufal sebagai orang yang pertama sekali memeluk Islam. Ia telah disokong oleh Hafiz Balqinin dan Hafiz Iraqi. Ibn Mandah, Ibn Hajar, Tabari, al-Baghawi, Ibn Qan’iah dan Ibn al-Sakan juga telah menyatakan Waraqah adalah salah seorang di antara sahabat r.a.

    Selepas daripada Waraqah, Khadijah r.a. ialah Orang Yang Terawal Beriman. Kemudian selepasnya ialah Abu Bakar r.a. di kalangan lelaki dewasa, Ali r.a. di kalangan kanak-kanak, Za’id bin Harithah r.a. di kalangan hamba sahaya. Kemudiannya Ummu Aiman, dan Ummu Rumman isteri Abu Bakar r.a., kemudian Ummu Khair ibu kepada Abu Bakar, selepas itu Asma’ r.a. anak perempuan Abu Bakar. Dan telah diakui di kalangan ahli sejarah bahawa ‘Aishah dan Asma’ telah memeluk Islam bersama-sama. Dengan ini, Ummul Mu’minin Aishah berada di tempat yang kesepuluh.

    Ibn Sa’ad menceritakan bahawa wanita pertama yang memeluk Islam ialah Khadijah r.a. Selepasnya ialah Ummul Fazal r.a. iaitu isteri kepada Abbas. Kemudiannya ialah Asma’ anak perempuan Abu Bakar dan ‘Aishah. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan sebagaimanan turutan ini.

    Akan tetapi amat dikesali bahawa mereka yang terpengaruh dengan riwayat Hisham, telah menulis sesuatu yang bercanggah dengan kenyataan iaitu bahawa Ummul Mu’minin r.a. belum lagi dilahirkan pada masa itu! Kami amat terkejut bahawa Shibli tidak memasukkan langsung seorang pun ahli keluarga Abu Bakar di dalam senarai Orang Yang Terawal Beriman di dalam bukunya ‘Siratun Nabi, Jilid I’. Beliau telah menggugurkan nama Ummu Rumman, Ummul Khair, Asma’ dan ‘Aishah r.a. daripada senarai ini. Beliau bukan sahaja melakukan kesilapan di segi sejarah, tetapi melakukan kesilapan besar bila tidak menyebut mana-mana wanita kecuali Khadijah. Bahkan, beliau tidak menyebut nama puteri-puteri Rasulullah s.a.w. Seperti dijangkakan beliau tidak dapat melupakan Ali!

    Hakim Abdur Rauf Danapuri telah menulis di dalam bukunya ‘As’hah-ul-Sa’yer’ sebagai jawapan kepada tulisan Shibli dalam ‘Siratun Nabi’, di mana beliau telah memberikan satu senarai panjang mereka Yang Terawal Beriman. Di dalam senarai ini, beliau telah meletakkan nama Saidatina Asma’ di kedudukan yang ke-16 dan nama Ummul Mu’minin ‘Aishah di tempat yang ke-17. Namun begitu, disebabkan oleh Riwayat Hisham yang menghantui fikirannya, beliau menulis nota kaki sebagaimana berikut:

    “Riwayat Bukhari dan Muslim menyebut bahawa apabila Nabi Muhammad s.a.w. mengahwini beliau (‘Aishah), umurnya enam tahun; dan dalam riwayat yang lain beliau berusia tujuh tahun, dan apabila mereka mula tinggal bersama, beliau berusia sembilan tahun. Ibn Sa’ad menulis bahawa Rasulullah s.a.w. dan isterinya ‘Aishah r.a. mulai tinggal bersama di bulan Syawal pada tahun pertama Hijrah”.

    Beliau (‘Aishah r.a.) telah dilahirkan selepas empat atau lima tahun Kerasulan. Bagaimanapun, telah difahamkan beliau adalah salah seorang di antara Orang-orang Terawal Beriman. Ini bermakna, beliau adalah seorang Muslim sejak daripada awal kebangkitan Islam. (Abdur-Rauf Danapuri, ‘As’hah-ul-Sa’yer’, m/s 64)

    Hakim Rauf telah menunjukkan rasa tidak senangnya mengapa Ummul Mu’minin r.a. telah disenaraikan bersama-sama Orang-orang Terawal Beriman, kerana beliau r.a. masih belum dilahirkan ketika itu. Ini kerana, sebagaimana telah dibuktikan melalui riwayat oleh Imam Bukahri dan Muslim (dari Hisham), bahawa beliau (‘Aishah r.a.) dilahirkan selepas empat atau lima tahun Kerasulan. Hakim Rauf mengatakan bahawa Ummul Mu’minin r.a. adalah seorang Muslim semenjak dilahirkan. Kita hairan mengapa Hakim Rauf tidak memasukkan Zainab dan Ruqayyah r.a., anak perempuan nabi s.a.w. di dalam senarai ini.

    Ramai orang telah terkeliru disebabkan riwayat Hisham sehingga ke hari ini sebagaimana yang telah dibincangkan di awal tulisan ini. Riwayat Hisham telah menutup pemikiran sehingga hadis dan riwayat lain tidak dipedulikan. Mereka tidak dapat menerima yang lain kecuali yang satu ini dan mata mereka masih lagi tertutup sehingga hari ini.

    Hujah Ke-15 – Abu Bakar R.A. Bercadang Mengahwinkan Aishah R.A. Sebelum Berhijrah Ke Habshah

    Ahli sejarah mendakwa Ummul Mu’minin r.a telah ditunangkan dengan Jabir bin Mut’im sebelum Rasulullah s.a.w. mengahwini beliau.

    Ibn Sa’ad telah meriwayatkan daripada Ibn Abbas bahawa sewaktu Rasulullah s.a.w. menyampaikan hajatnya kepada Abu Bakar r.a. untuk mengahwini ‘Aishah r.a., beliau (Abu Bakar) meminta tangguh daripadanya s.a.w., “Wahai Rasulullah! Saya telah berjanji dengan Mut’im bin ‘Adi bin Nawfal untuk mengahwinkan ‘Aishah dengan anaknya Jabir. Berikan saya sedikit masa supaya saya dapat meleraikan ikatan janji ini daripadanya.” Kemudiannya Abu Bakar r.a. telah membebaskan dirinya daripada Mut’im dan anak lelakinya. Selepas daripada itu, beliau mengahwinkan anak perempuannya dengan Rasulullah s.a.w.

    Ibn Sa’ad r.a. telah menukilkan satu riwayat yang lain, melalui Abdullah bin Numeer, daripada Abdullah bin Abi Mulaikah sebagaimana berikut:

    “Rasulullah s.a.w. telah menyampaikan hajatnya kepada Abu Bakar untuk mengahwini ‘Aishah. Abu Bakar telah meminta tangguh, “Wahai Rasulullah! Saya telah memberikan ‘Aishah kepada anak lelaki Mut’im bin ‘Adi, Jabir. Tolong berikan saya sedikit tempoh supaya saya dapat membebaskannya. Jabir telah membebaskan ‘Aishah, dan Rasulullah pun mengahwini beliau (‘Aishah).” (Tabaqat Ibn Sa’ad, Jilid VIII, m/s 58)

    Perhatikan baik-baik bahawa rundingan telah dibuat dengan Mut’im bin Adi untuk mengahwinkan Ummul Mu’minin r.a. dengan anak lelakinya Jabir (bin Mut’in bin Adi)

    Semoga Allah mengampuni Shibli kerana terkeliru dengan mengatakan bahawa ‘Aishah r.a. telah ditunangkan dengan anak lelaki Jabir bin Mut’im (bukannya dengan Jabir) sebelum daripada Rasulullah mengahwininya. (Siratun Nabi, m/s 405)

    ‘Aishah sebenarnya ditunangkan kepada Jabir, dan bukannya kepada anak lelaki Jabir kerana beliau belum berkahwin pada ketika itu. Shibli telah melakukan kesilapan, dan kesilapan ini telah disalin oleh penulis-penulis kemudiannya.

    Almarhum Syed Sulaiman Nadvi menulis di dalam bukunya:

    “Akan tetapi sebelum ini ‘Aishah telah ditunangkan kepada anak lelaki Jabir bin Mut’im, maka adalah perlu untuk bertanya kepadanya (Jabir) terlebih dahulu.” (Seerah ‘Aishah, m/s 15)

    Niaz Fatehpuri menulis; “Saidatina ‘Aishah telah ditunangkan kepada anak lelaki Jabir bin Mut’im hingga ke waktu itu, jadi Saidina Abu Bakar telah bertanya kepada Jabir. (Sahabiyyat, m/s 36)

    Almarhum Maulana Said Akbaradi, iaitu seorang penyelidik terkemuka, menulis; “ Beliau (Abu Bakar) berkata bahawa dia telah berjanji dengan Jabir bin Mut’im. Tetapi apabila Jabir bin Mut’im diminta untuk memutuskannya, beliau menolak.” (Seerat-us-Siddiq, m/s 16)

    Adalah jelas bahawa kesemua penulis yang hebat ini telah mengakui bahawa perhubungan Ummul Mu’minin r.a. telahpun diputuskan, akan tetapi mereka semua tidak mengetahui kepada siapa sebenarnya beliau r.a. telah ditunangkan. Mereka telah menyalin bulat-bulat pernyataan Shibli itu, dan mereka telah mempertunangkan ‘Aishah bukan dengan Jabir tetapi kepada anak lelaki Jabir yang tidak pernah wujud sampai ke hari ini. Nampaknya, tiada siapa pernah merujuk kepada kitab “Ibnu Sa’ad”. Mereka menjumpai riwayat ini di dalam “Siratun Nabi’ dan tanpa usul periksa menyalin cerita ini di dalam tulisan mereka. Kami tidak menyalahkan penulis-penulis ini tetapi cukup untuk kami katakan kekeliruan ini sebagai “Kesilapan Menyalin”.

    Ahli sejarah Muhammad bin Jareer Tabari telah menulis tentang peristiwa ini dengan terperinci sebagaimana berikut:

    “Apabila Abu Bakar As-Siddiq r.a. berasa amat terganggu dengan penindasan yang dilakukan oleh orang kafir, beliau memutuskan untuk berhijrah ke Habshah. Beliau terfikir untuk mengahwinkan anaknya Aishah sebelum meninggalkan Mekah.

    Abu Bakar pun pergi berjumpa Mut’im. Isteri Mut’im juga ada bersamanya. Apabila Abu Bakar menyatakan niatnya, isteri Mut’im memberitahu Abu Bakar bahawa jika mereka mengahwinkan anak lelaki mereka dengan anak perempuan Abu Bakar, sudah tentu Abu Bakar dan anaknya akan membuatkan anak mereka, Jabir, keluar daripada agama asalnya untuk memeluk agama Islam.

    Sambil melihat ke arah Mut’im, Abu Bakar berkata, “Apa yang dicakapkan oleh isteri kamu ?” (bermaksud, bagaimana beliau menolak lamaran ini?). Mut’im telah menjawab bahawa apa yang dikatakan oleh isterinya adalah betul. “Kami menganggap kamu dan anak perempuan kamu adalah sama (iaitu berdakwah kepada Islam). Mendengarkan ini, Abu Bakar pun beredar dari situ. (Tabari, Jilid I, m/s 493)

    Riwayat oleh Tabari ini telah mendedahkan beberapa perkara seperti berikut:

    1. Hubungan yang dimaksudkan ialah dengan Jabir, bukannya dengan anak lelaki Jabir.

    2. Apabila Saidina Abu Bakar r.a bercadang untuk berhijrah ke Habshah, Ummul Mu’minin r.a. adalah seorang gadis remaja ataupun hampir dewasa. Inilah sebabnya mengapa Saidina Abu Bakar memikirkan tentang anak perempuannya sebelum berhijrah ke Habshah.

    Menurut riwayat Hisham, Ummul Mu’minin r.a. belum lagi dilahirkan, dan jika beliau telah dilahirkan pun, beliau mungkin baru berusia dua atau empat bulan. Bolehkah kita katakan Ummul Mu’minin r.a.. berkahwin pada usia 2-4 bulan?

    Kita hairan, Mut’in tidak pernah mengatakan “Wahai Abu Bakar! Baguslah, kamu mempunyai seorang bayi perempuan, dia akan menjadi isteri anak saya.” Tidak, perkataan seperti ini tidak pernah diucapkan.

    3. Ini juga membuktikan bahawa ‘Aishah r.a., sebagaimana ayahnya, Abu Bakar telah terkenal dalam mendaawahkan Islam. Mut’im bimbang bahawa anak perempuan Abu Bakar akan mendaawah anak lelakinya memeluk Islam oleh itu adalah lebih baik untuk menghalang perkahwinan itu. Ini satu lagi bukti bahawa beliau (‘Aishah) telah remaja dan mampu berdaawah kepada Islam.

    4. Logiknya, seorang ayah hanya akan mula memikirkan mengenai perkahwinan anaknya apabila anaknya melewati usia remaja. Dalam keadaan ini, kita akan terfikir bahawa umurnya sekurang-kurangnya 15 tahun pada ketika itu. Berdasarkan andaian ini, usianya ialah 25 tahun pada ketika beliau mula tinggal bersama suaminya s.a.w. Adalah tidak berasas untuk menetapkan usia yang lebih muda dari itu.

    Hujah Ke-16 – Aishah R.A. Disebut Sebagai ‘Gadis’ Dan Bukan ‘Kanak-Kanak’ Semasa Dicadangkan Untuk Bernikah Dengan Rasulullah

    Juga merupakan satu fakta sejarah bahawa Khaulah binti Hakim telah memberi cadangan kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengahwini ‘Aishah r.a. dan Saudah r.a.. Khaulah bt Hakim adalah isteri kepada Uthman bin Maz’un, dan Uthman bin Maz’un adalah adik susuan Baginda s.a.w. Dalam hubungan ini, Khaulah adalah isteri kepada adik sesusuan Nabi s.a.w.

    Khaulah telah berkata, “Wahai Rasulullah! Mengapa anda tidak mahu berkahwin?” Khaulah mengusulkan demikian setelah kematian Ummul Mu’minin Saidatina Khadijah r.a. Lalu Baginda s.a.w. bertanya, “Dengan siapa saya patut berkahwin?” Khaulah r.a. menjawab, “Dengan seorang gadis atau janda” Baginda s.a.w. berkata, “Siapakah gadis itu, dan siapa pula janda itu?” Khaulah menjawab, “Dia adalah anak perempuan orang yang paling kau sayangi di atas muka bumi ini, Abu Bakar, iaitu Aishah, dan janda itu pula ialah Saudah binti Zam’ah.” Lalu Baginda s.a.w. berkata, “Baiklah, beritahu tentang saya kepada kedua-duanya, dan tunggu.”

    Hafiz Ibn Kathir telah menukilkan riwayat ini dengan panjang lebar dengan merujuk kepada ‘al-Baihaqi’ dan ‘Musnad Ahmad’. Kedua-dua kitab tersebut bukanlah buku sejarah, tetapi kitab hadis dan Ibn Kathir tidak meminda atau mengulas riwayat-riwayat ini. Oleh itu, perbahasan ini bukanlah dalil sejarah, akan tetapi dalil hadis.

    Dalam Bahasa Arab, perkataan ‘Jari`ah’ biasa digunakan untuk gadis kecil yang belum baligh, sementara perkataan ‘Bakra’ digunakan untuk seorang anak dara. Perkataan ini tidak diucapkan untuk seorang anak kecil berusia lapan atau sembilan tahun; tetapi ia digunakan untuk anak dara yang telah baligh. Sepertimana Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda, “Persetujuan hendaklah diperolehi daripada ‘bakra’ (anak dara) (dalam hal nikah), dan diamnya adalah persetujuannya.” (SahehMuslim)

    Perkataan ‘bakra’ dalam Bahasa Arab adalah lawan kepada perkataan ‘thayb’. ‘Thayb’ ialah wanita

    berkahwin yang kematian suami atau yang telah bercerai, yang mana dalam Bahasa Urdu disebut sebagai ‘au`rat’(dan dalam bahasa Melayu disebut ‘janda’ atau ‘balu’). Jika anda tidak mempercayainya, cubalah panggil seorang anak dara dengan sebutan ‘au`rat’, dan lihat apa yang akan terjadi!

    Itulah sebabnya satu lagi ayat di dalam hadis ini ialah:

    “Dan, seorang ‘thayb’(janda atau balu) lebih berhak ke atas dirinya berbanding dengan wali ”. (Saheh Muslim)

    Perkataan ‘thayb’ ini digunakan sebagai lawan kepada perkataan ‘bakra’. Di dalam Riwayat daripada ‘Musnad Ahmad’ dan ‘Baihaqi’, Khaulah r.a. mengucapkan; “ada seorang ‘bakra’(gadis atau anak dara) dan ada seorang ‘thayb’(janda)”. Perkataan ‘bakra’ (gadis) ini adalah suatu bukti bahawa ‘Aishah ialah seorang anak dara yang melepasi usia remaja. Jika Aishah r.a. adalah seorang kanak-kanak perempuan berusia enam tahun, maka Khaulah r.a. tentunya akan mengucapkan perkataan “ada seorang ‘jari’at’ (kanak-kanak perempuan) dan seorang ‘thayb’(janda)”. Beliau tidak mungkin berdusta dengan sebegitu jelas. Beliau juga bukanlah seorang ‘ajami’ (bukan Arab), iaitu seseorang yang tidak fasih berbahasa Arab. Beliau tidak mungkin melakukan kesilapan sebodoh ini.

    Telah menjadi suatu kebiasaan bagi Nabi Muhammad s.a.w. untuk melawat rumah Abu Bakar setiap hari di waktu pagi dan petang, sepertimana yang diriwayatkan oleh Bukhari. Dalam hal ini, mungkinkah Nabi s.a.w. tidak menyedari bahawa apa yang Khaulah beritahu sebagai ‘seorang anak dara’ hanyalah seorang kanak-kanak perempuan yang baru berusia enam tahun? Jikalau benar sedemikian sudah tentu baginda s.a.w. akan berkata:

    “Wahai Khaulah!Adik iparku! Adakah kamu berfikir dengan betul ? Kamu telah mencadangkan kepada saya seorang kanak-kanak perempuan dengan mengatakan beliau seorang gadis. Saya biasa melihatnya setiap pagi dan petang”.

    Adalah jelas perkara yang sedemikian tidak pernah berlaku. Bahkan, apabila Khaulah menyampaikan hasrat Rasulullah kepada Abu Bakar r.a., beliau (Abu Bakar) menjawab bahawa beliau telah berjanji untuk mengahwinkan Aishah dengan anak Mut’im, dan meminta tempoh untuk menyelesaikan perkara tersebut dengan sebaik mungkin. Abu Bakar tidak pernah mengatakan Aishah r.a. masih lagi kanak-kanak kecil.

    Peristiwa ini adalah bukti bahawa Saidatina ‘Aishah bukan lagi seorang kanak-kanak di waktu itu. Sekiranya tidak, Abu Bakar r.a. dan Khaulah binti Hakim r.a. mungkin dianggap sebagai orang kurang siuman, dan kemungkinan juga kemuliaan Nabi s.a.w. akan diperlekehkan. (Semoga Allah melindungi kita dari semua ini!)

    Khaulah mencadangkan seorang anak dara kepada Rasulullah s.a.w. Bapanya, Abu Bakar r.a. dan Rasulullah s.a.w. tidak menolak bila mendengar cadangan ini. Jikalau perkahwinan ini telah berlaku sewaktu Ummul Mu’minin r.a. baru berusia enam tahun, maka Nabi Muhammad s.a.w. dan Islam kemungkinannya telah menjadi bahan ejekan dan cemuhan kaum musyrikin di Mekah. Dan, tidak boleh dibayangkan tokoh-tokoh yang bijaksana sebagaimana nabi s.a.w. dan Abu Bakar r.a. melakukan kesilapan sedemikian rupa sehingga menjadi sasaran dan buah mulut orang ramai.

    Sebelum daripada ini kami adalah salah seorang yang mempercayai bahawa Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. telah hidup bersama Rasulullah s.a.w. sejak umurnya sembilan tahun, dan kami menerima riwayat ‘Bukhari’ dan ‘Muslim’. Akan tetapi apabila kami, dengan mengosongkan fikiran, membaca buku-buku hadis dan sejarah, dan buku-buku rijal (biografi perawi), kami membuat kesimpulan bahawa selama ini kami seolah-olah katak yang berada di dalam telaga. Namun, kini kami telah sampai ke peringkat di mana sungai Furat dan Dajlah, bahkan Teluk Farsi, tidak lagi mengepung kami. Sekarang doa kami hanyalah supaya Ulama kami turut keluar daripada tempurung kejahilan dan tipudaya, dan kemudian lihatlah berapa banyak manakah sungai yang mengalir di Pakistan ini.

    Hujah Ke-17 – Rasullulah Tidak Tinggal Bersama Aishah R.A. Kerana Masalah Mendapatkan Mahar, Bukan Kerana Umur Aishah Yang Terlalu Muda

    Ibn Saad di dalam “Tabaqat”, menukilkan dari Amra binti Abdur Rahman bahawa beliau telah bertanya kepada Ummul Mu’minin r.a., “Bilakah Rasulullah mula tinggal bersama dengan anda?” Beliau (‘Aishah r.a.) menjawab, “Apabila Rasulullah s.a.w. berhijrah ke Madinah, baginda telah meninggalkan saya dan anak perempuannya di Mekah. Setelah tiba di Madinah, baginda telah menghantar Zaid bin Harithah r.a. untuk membawa kami (ke Madinah), dan juga menghantar pembantunya Abu Raf’a r.a. bersamanya (Zaid), dan telah memberi kepada Zaid dua ekor unta dan 500 Dirham. Baginda s.a.w. mendapat duit ini daripada Abu Bakar r.a., dan duit ini telah diberi kepada Zaid bin Harithah untuk tujuan mereka membeli barang-barang keperluan dan lebih banyak unta, jika diperlukan.

    Abu Bakar r.a. menghantar Abdullah bin Ariqit Al-dili bersama dengan dua orang ini, dan telah memberikan dua atau tiga ekor unta (kepada Al-dili). Beliau (Abu Bakar r.a.) telah menulis kepada anaknya Abdullah dan menyuruhnya menyiapkan keluarganya untuk berhijrah. Emak saya Ummu Rumman r.a. dan isteri Zubair, Asma’ r.a. dan saya keluar bersama-sama. Apabila kami telah tiba di Qadid, Zaid bin Harithah membeli tiga ekor unta dengan harga 500 Dirham, dan kami mulai bertolak bersama-sama. Di dalam perjalanan kami berjumpa Talhah bin Ubaidullah yang telah keluar dengan niat untuk berhijrah dan beliau mahu menyertai rombongan keluarga kami berhijrah ke Madinah.

    Zaid bin Harithah r.a. meneruskan perjalanan ke Madinah dengan membawa bersama Abu Raf’a, Fatimah, Ummu Kalthum dan Saudah bin Zam’ah r.a. Zaid juga telah membawa bersama isterinya Ummu Aiman dan anak lelakinya Usamah r.a. Manakala Abdullah bin Abu Bakar membawa ibunya Ummu Rumman r.a. dan kedua-dua adik perempuannya. Apabila kami sampai ke tempat bernama Baidh yang terletak berhampiran dengan Mina, unta saya telah ketakutan dan lari. Ketika itu saya berada di dalam mehfah, ibu saya telah menangis, “Oh! Anak ku. Oh! Pengantin ku”. Kemudian mereka menemui unta kami yang turun dari gaung. Allah yang Maha Kuasa telah memeliharanya.

    Apabila kami tiba di Madinah, saya tinggal bersama dengan keluarga Abu Bakar r.a. (ayah saya), sementara keluarga Rasulullah s.a.w. telah tinggal di rumah berdekatan dengan masjid. Baginda s.a.w. pada masa itu sibuk membina masjid. Kami telah tinggal untuk beberapa hari di rumah Abu Bakar.

    Kemudian Abu Bakar r.a. telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Sekarang apakah halangan kepada tuan untuk tinggal bersama dengan isteri tuan?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Maskahwin ialah halangannya.” Kemudian Abu Bakar r.a memberi kepada baginda s.a.w. 12 Ukyah dan beberapa Nash (lebih kurang 500 Dirham atau lebih sedikit). Rasululah s.a.w. kemudiannya telah menghantar wang tersebut kepada kami sebagai mahar perkahwinan. Selepas itu saya telah datang ke rumah ini untuk tinggal bersamanya, di tempat saya tinggal sekarang ini. Di rumah inilah Rasulullah s.a.w. wafat. Dan, Rasulullah telah membina sebuah pintu yang menghala ke masjid yang terletak di hadapan rumah saya. Dan, Rasulullah juga telah hidup bersama Saudah r.a. di sebuah rumah di anjung masjid, bersebelahan dengan rumah saya. (“Tabaqat Ibn Sa’ad”, Jilid VIII, m/s 68)

    Meskipun perawi riwayat ini adalah Waqidi, seorang pendusta, tetapi tidak semestinya dia akan berdusta setiap masa. Ada masanya dia akan bercakap benar. Sekali lagi, tidak sebagaimana Shibli, sesetengah pakar hadis cuba untuk membuktikan bahawa beliau (Waqidi) adalah ‘thiqah’. Kami telah menyalin riwayatnya di sini disebabkan oleh apa yang kami petik di atas menyokong riwayat ini. Bayangkan, akhirnya sesuatu yang benar telah keluar dari mulut seorang pendusta!

    Tujuan kami hanya untuk menunjukkan jika sekiranya Ummul Mu’minin baru sahaja berusia lapan tahun selepas berhijrah ke Madinah. tidak mungkin sekali-kali Abu Bakar akan meminta Rasulullah s.a.w. untuk tinggal bersama Aishah r.a. Dalam perkataan lain, seolah-olah beliau berkata: “Berapa lama saya patut membiarkan anak perempuan saya tingal di rumah saya? Dan Rasulullah s.a.w tidak akan sekali-kali menjawab ‘Maskahwinnya adalah penghalangnya’. Abu Bakar r.a. tidak suka anak perempuannya tinggal di rumahnya. Jadi beliau menghantar wang hantaran perkahwinan, dan kemudian baginda s.a.w. telah mengadakan majlis perkahwinannya dengan Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a.”. Ini telah membuktikan bahawa tiada sebarang halangan mengapa Rasulullah tidak membawa isterinya r.a. tinggal bersamanya melainkan kerana tiada maskahwin.

    Hujah Ke-18 – Hadis Yang Mensyaratkan Mendapat Persetujuan Seorang Gadis Sebelum Dikahwinkan Memerlukan Gadis Tersebut Telah Cukup Umur

    Ibn Abbas meriwayatkan yang Rasulullah s.aw. bersabda:,

    “seorang janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, dan persetujuan mestilah diperolehi daripada seorang anak dara, dan diamnya adalah menunjukkan persetujuannya (Muslim, jilid 1, m/s 455)

    Namun di dalam beberapa riwayat, disebutkan “Anak dara mestilah diminta pandangan darinya”.

    Di dalam hadith riwayat Abu Hurairah r.a., nabi s.a.w. bersabda;

    “ Janganlah kamu mengahwinkan janda sebelum meminta pandangan darinya dan janganlah kamu mengahwinkan anak dara sebelum meminta persetujuan” (Muslim, Jilid I, m/s 455)

    Berdasarkan hadis-hadis ini, kerelaan seorang anak dara (yang belum berkahwin) ialah satu syarat asas bagi perkahwinannya; dan jika gadis itu di bawah umur, tidak timbul soalan mengenai kerelaannya. Ia disebabkan beliau tidak mengetahui tujuan perkahwinan itu sendiri. Dengan itu ulama fiqah menyelesaikan masalah ini dengan memutuskan bahawa wali boleh menjalankan pernikahan seorang kanak-kanak bagi pihak kanak-kanak tersebut. Ulama fiqah berdalilkan riwayat Hisham kerana tiada riwayat lain berkenaan perkara ini. Oleh kerana riwayat ini terbukti salah, maka perkahwinan kanak-kanak belum baligh juga adalah salah.

    Hujah Ke-19 – Kebolehan Luarbiasa Aishah R.A Mengingati Syair Yang Biasa Di Sebut Di Zaman Jahiliyah Membuktikan Beliau R.A. Lahir Di Zaman Jahiliyah

    Telah tercatat dalam buku hadis dan sejarah bahawa apabila Muhajirin berhijrah ke Madinah, ramai di kalangannya jatuh sakit, termasuklah Abu Bakar As-Siddiq r.a.yang mengalami demam kuat.

    Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. telah menjaga ayahnya sepanjang ayahnya jatuh sakit. (Tabaqat Ibn Sa’ad, Jilid III, m/s 43)

    Iklim di Madinah tidak sesuai dengan sahabat Muhajirin untuk beberapa ketika. Mereka jatuh sakit berulangkali, hinggakan Nabi Muhammad s.a.w. telah berdoa sebagaimana berikut:

    “Ya Allah! Jadikanlah Madinah mengasihi kami sebagaimana Mekah mengasihi kami, malah lebih lagi. Sesuaikanlah iklimnya kepada kami. Berkatilah kami dengan udara dan permukaan bumi. Alihkan demamnya ke arah Jahfah”

    (Hadis riwayat Bukahri dan Muslim)

    Riwayat ini juga diceritakan oleh Saidatina ‘Aishah r.a. dan dinukilkan oleh Hisham dari ayahnya Urwah. Dan, terdapat riwayat lain oleh Hisham yang diriwayatkan oleh Imam Malik yang disebutkan di dalam ‘Bukhari’ Jilid II, m/s 848.

    Aishah r.a. berkata bahawa Madinah adalah suatu tempat di mana bersarangnya penyakit-penyakit dan wabak-wabak. Penduduknya senantiasa menderita penyakit demam. Saidina Abu Bakr r.a., hambanya ‘Amir r.a. bin Faheerah dan Bilal r.a. telah terlantar sakit di dalam sebuah rumah. Dengan keizinan daripada Rasulullah s.a.w., beliau (‘Aishah r.a.) pergi untuk merawat mereka. Pada masa itu, perintah mengenai pemakaian purdah belum lagi diturunkan. Kesemua mereka sedang terbaring dengan keadaan separuh sedar disebabkan demam yang kuat. Beliau (‘Aishah r.a.) menyambung, ‘Saya menuju ke arah Abu Bakar r.a. dan berkata kepadanya, “Ayah! Bagaimana keadaan kamu?” beliau (Abu Bakar) menjawab:

    “Setiap manusia menghabiskan waktunya di kalangan sanak-saudaranya, dan kematian itu adalah lebih hampir daripada tali kasutnya.”

    Aishah r.a. berkata bahawa ayahnya tidak mengetahui apa yang telah diucapkannya (disebabkan oleh fikirannya terganggu oleh demam). Kemudiannya saya pergi kepada ‘Amir r.a., dan bertanya, “Amir! Apa khabar?” beliau (‘Amir) berkata:

    “Saya telah merasai keperitan maut sebelum datang kematian, kerana seorang penakut akan mati dicucuk hidungnya. Semua orang berjuang dengan kekuatannya, seperti mana sehelai kain menyelamatkan kulit manusia daripada sinarannya.”

    Saidatina ‘Aishah r.a. berkata lagi, “Saya fikir beliau juga tidak mengerti apa yang telah diucapkannya.”

    Telah menjadi tabiat Bilal apabila beliau menghidap demam, beliau selalunya berbaring di halaman rumah, dan menangis dengan sekuat-kuat hatinya. Pada ketika itu, beliau sedang memperdengarkan bait-bait berikut:

    “Alangkah baiknya, jika aku melalui malam di lembah di mana rumput liar dan belalang akan berada di sekeliling ku. Dan jika aku turun pada suatu hari mengambil air di Majnah dan alangkah baiknya kalau aku nampak sha’mmah dan tufail”

    Di dalam riwayat ‘Bukhari’ tidak disebut mengenai ‘Amir bin Fareehah, tetapi Imam Ahmad di dalam ‘Musnad’nya telah meriwayatkan tentang ‘Amir daripada Abdullah bin Urwah.

    Perhatikan riwayat ini dengan cermat. Ummu Rumman r.a. dan Asma’ r.a. juga berada di dalam rumah itu. Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. dipertanggungjawabkan menjaga orang-orang sakit. Adakah munasabah tanggungjawab penting seperti itu diamanahkan kepada seorang kanak-kanak perempuan berusia lapan tahun sedangkan pada masa yang sama terdapat wanita lain yang lebih tua di dalam rumah itu? Tugas merawat dan menjaga ini munasabah jika Ummul Mu’minin r.a. sendiri sudah cukup matang dan tahu tanggungjawabnya. Tugas melayan orang sakit sebagaimana yang telah digambarkan di dalam Tabaqat Ibn Sa’ad, adalah tidak masuk akal untuk kanak-kanak di usia 8 atau 9 tahun.

    ‘Aishah r.a. mengatakan bahawa beliau menceritakan keadaan ayahnya, ‘Amir bin Fareehah dan Bilal r.a., dengan menyebut bait-bait ini kepada Rasulullah s.a.w.:

    “Mereka ini berjalan terhuyung-hayang. Mereka menjadi kurang waras disebabkan oleh demam yang amat kuat.”

    Keseluruhan peristiwa ini membuktikan bahawa Ummul Mu’minin r.a. telahpun menjadi seorang surirumah pada tahun 1 H. Bayangkan dia meminta izin suaminya untuk melawat dan merawat orang sakit. Bayangkan bagaimana sekembalinya, beliau r.a. telah mengulang kesemua bait-bait yang didengarinya, dan memberitahu suaminya s.a.w. bahawa mereka ini melafazkan bait-bait ini di dalam keadaan demam kuat dan dalam keadaan tidak sedar.

    Kesemua perkara ini adalah amat payah untuk dilakukan dan difahami oleh seorang kanak-kanak perempuan berumur sembilan tahun. Ini adalah urusan orang dewasa. Mengingati dan menghafal syair-syair adalah mungkin, hanya apabila Ummul Mu’minin r.a. telah melalui sebahagian daripada usianya di dalam persekitaran begitu. Walaubagaimanapun, jika kita menerima bahawa beliau hidup bersama suami (Rasulullah) sewaktu berusia sembilan tahun dan beliau dilahirkan setelah tahun kelima Kerasulan, tidak wujud persekitaran rumah yang sedemikian kerana pada masa itu rumah mereka dipenuhi dengan bacaan al-Quran dan bukannya syair. Bila dan di mana beliau (‘Aishah) belajar syair ini? Jawapan mudahnya ialah: ‘beliau telah dilahirkan sebelum Zaman Kerasulan, mindanya telah terdidik dengan kesusasteraan sebagaimana penduduk Mekah yang lain’. Kita akan membincangkan hal ini dengan lebih lanjut di halaman yang selanjutnya.

    Hujah Ke-20 – Kemahiran Dalam Sastera, Ilmu Salasilah Dan Sejarah Sebelum Islam

    Waliuddin Al-Khateeb, penulis Mishkath menulis:

    “Saidatina ‘Aishah r.a. merupakan seorang wanita yang faqih, alim, fasih, dan fazilah. Beliau paling banyak meriwayatkan hadis daripada Rasulullah s.a.w. Beliau r.a. sangat mahir dalam sejarah peperangan dan syair-syair Arab (sebelum kedatangan Islam).”(‘Mishkat’, m/s 612)

    Anak saudaranya Urwah r.a. menjelaskan bahawa beliau tidak pernah menjumpai seseorang yang lebih mahir daripada Saidatina ‘Aishah r.a. di dalam bidang tafsir al-Qur’an, ilmu Fara’id, hukum halal-haram, hukum fiqah, syair, perubatan, sejarah Arab dan ilmu salasilah. (‘Al-Bidayah wan-Nihayah’, Jilid VIII, m/s 92)

    ‘Ata bin Abi Rabah mengatakan bahawa Ummul Mu’minin r.a. adalah seorang ahli fiqah yang paling hebat, seorang ulama’ yang paling tinggi pengetahuannya dan seorang pemikir yang paling tinggi tahap pemikirannya. (‘Al-Bidayah wan-Nihayah’, Jilid VIII, m/s 92)

    Abu Musa Ashaari r.a. berkata “Apabila kami, para sahabat mengalami kesulitan dalam memahami hadis nabi, kami akan mendapat penyelesaian yang mudah daripada beliau” (‘Tirmizi’, ‘Al-Bidayah wan-Nihayah)

    Abul Zinad menceritakan bahawa beliau belum pernah melihat seorang lelaki yang lebih mahir dalam syair berbanding Urwah. Beliau telah bertanya kepada Urwah, “Bagaimana anda boleh menjadi seorang yang sangat hebat dalam syair?” Urwah telah menjawab bahawa beliau mewarisinya daripada ibu saudaranya Aishah r.a.; dan menambah, apabila berlaku sebarang peristiwa, beliau (‘Aishah r.a.) akan melafazkan secara spontan serangkap syair yang menggambarkan keadaan itu.

    Musa bin Talhah menceritakan bahawa beliau tidak pernah menemui seseorang yang lebih petah berbicara dari Aishah r.a. Urwah r.a. berkata bahawa beliau pernah bertanya kepada Ummul Mu’minin r.a., “Wahai ibu saudaraku! Saya tidak hairan bagaimana anda menjadi seorang yang faqih, kerana anda adalah isteri kepada Rasulullah s.a.w. dan anak perempuan kepada Abu Bakar r.a. Saya juga tidak hairan kerana anda dapat mengingat syair dan mahir tentang sejarah kerana anda adalah anak kepada Abu Bakar, orang yang paling alim. Akan tetapi saya hairan dengan pengetahuan anda yang mendalam dalam perubatan, daripada manakah anda mempelajarinya?” Ummul Mu’minin r.a. menepuk bahu Urwah dan berkata, “Wahai Urwah! Rasulullah s.a.w. menderita sakit di hari-hari terakhir kehidupannya, dan ramai utusan yang datang melihatnya dari setiap ceruk, dan mereka mecadangkan ubat-ubatan untuknya s.a.w, dan saya memberikan ubat kepadanya menurut cadangan-cadangan tersebut.

    Untuk mencapai kecekapan di dalam kesusateraan Arab, syair, ilmu salasilah dan sejarah Arab, memerlukan masa yang lama dan seorang pelajar hendaklah cukup berumur untuk memahami dan mengingati ilmu tersebut. Dan kita tahu bahawa ilmu salasilah dan sejarah Arab adalah topik yang membosankan.

    Berdasarkan riwayat Hisham, beliau (‘Aishah) masih lagi seorang kanak-kanak berumur lapan tahun, semasa berlakunya peristiwa Hijrah. Abu Bakar r.a., meninggalkan keluarganya di Mekah dan berhijrah ke Madinah. Selepas beberapa bulan, beliau membawa ahli keluarganya (melalui sahabatnya). Beliau membawa ahli keluarganya datang ke Madinah, dan Saidatina ‘Aishah mulai tinggal bersama suaminya Rasulullah setelah beberapa hari tiba di Madinah. Dalam tempoh yang sebegitu singkat beliau tidak akan mendapat sebarang peluang untuk menimba ilmu dan pengalaman daripada ayahnya.

    Di Madinah, aktiviti Rasulullah s.a.w. adalah amat berbeza berbanding semasa berada di Mekah. Di sini baginda mengajarkan al-Qur’an, solat dan puasa, dan menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah.luar. Persekitaran ini tiada kaitan langsung dengan ilmu salasilah, ilmu sejarah dan syair. Saidatina ‘Aishah tidak mungkin dapat mencapai kemahiran dengan memahami dan menyesuaikan syair-syair melainkan beliau telah melalui masa yang agak panjang untuk memerhati dan mempelajari syair. Beliau telah menghafal rangkap-rangkap syair Arab yang terbaik yang akan diungkapkan bersesuaian dengan keadaan. Beliau juga telah memahami dengan mendalam rangkap-rangkap prosa. Hadis yang dinyatakan oleh Ummu Zar’i, yang diriwayatkan dalam ‘Muslim’, merupakan karya agung sasteranya.

    Dengan itu, boleh disimpulkan bahawa Ummul Mu’minin r.a. adalah merupakan seorang wanita yang dewasa sebelum perkahwinannya. Beliau telah memperolehi kemahiran ini samada dengan belajar atau memerhati ayahnya. Disebabkan oleh daya ingatan dan kebijaksanaannya yang luar biasa, beliau telah mencapai kecemerlangan di dalam ilmu salasilah Arab, juga kemahiran yang tinggi di dalam syair dan sejarah.

    Saidatina ‘Aishah r.a. berkata: “Suatu hari, Rasulullah sedang membaiki kasutnya dan saya memerhatikannya. Dengan melemparkan pandangannya ke arah saya, baginda s.a.w. bertanya, “Kenapa? Kamu merenung saya dengan begitu tekun.” Saya menjawab, “Saya melihat kesepadanan rangkap syair oleh Abu Bakr al-Hazli pada diri kamu. Jika beliau masih hidup, beliau tidak akan menemui orang lain yang lebih sesuai untuk rangkap syairnya.” Baginda s.a.w. bertanya kepada saya apakah rangkap tersebut. Kemudian Ummul Mu’minin r.a. berkata:

    “Sesuatu yang tidak ada padanya kekejian, dan daripada kekotoran pemerah susu dan daripada setiap penyakit yang berjangkit, (dan) apabila kamu melihat kepada garis-garis di wajahnya, (kamu akan melihat) ia bercahaya, sebagaimana pipi yang terang bercahaya.”

    Mendengarkan rangkap ini, Rasulullah s.a.w. amat gembira, sambil menggeleng-geleng kepalanya, baginda bersabda, “Ia amat menyenangkan saya, syair ini tepat pada tempatnya”

    Ini bermakna bahawa Ummul Mu’minin r.a. bukanlah sekadar seorang wanita alim yang kaku bahkan Rasulullah s.a.w. sendiri juga bukanlah seorang yang hambar dan membosanknan.

    Sewaktu adiknya Abdur Rahman meninggal dunia, beliau (‘Aishah r.a.) dengan spontan mengungkapkan bait-bait ini:

    “Kita berdua adalah diibaratkan seperti dua orang pengiring raja Jazimah. Untuk suatu tempoh yang lama, sangat lama mereka bersahabat hinggakan orang berkata bahawa tidak mungkin mereka akan berpisah. Namun apabila kami berpisah, meskipun saya dan Tuan telah bersama dalam tempoh yang lama, tetapi rasanya kami tidak pernah tinggal bersama walaupun satu malam.”

    Ungkapan-ungkapan Ummul Mu’minin r.a tentang syair, sejarah dan salasilah yang ditemui di dalam kitab-kitab hadis, sejarah dan kesusateraan boleh dirumuskan bahawa beliau adalah seorang ahli hadis, ahli feqah, ahli tafsir al-Quran, ahli sejarah dan pakar salasilah yang terhebat di zamannya.

    Dengan tujuan untuk menenggelamkan ketokohan Aishah r.a. dalam bidang keilmuan dan kesusasteraan, orang-orang Syiah mencipta cerita kononnya Ummul Mu’minin suka bermain dengan anak patung dan anak patung ini menjadi sebahagian penting dari hidupnya. Bahkan apabila Rasulullah s.a.w. kembali daripada Perang Tabuk, baginda s.a.w. melihat anak patung yang dihiasi di suatu sudut rumahnya, meskipun setelah sembilan tahun menjadi isteri Rasulullah s.a.w!! Dalam erti kata lain, beliau (‘Aishah) tidak melakukan sebarang kerja, melainkan berterusan bermain dengan anak patungnya, walaupun setelah menjadi salah seorang daripada ahli keluarga Nabi s.a.w.

    Sedangkan, fakta sebenarnya ialah setelah menjadi isteri Nabi s.a.w., Ummul Mu’minin r.a. telah pun mencapai tahap kemuncak di bidang keilmuan di mana beliau mampu meletakkan prinsip-prinsip asas hukum fiqah dan hadis yang diakui dan diguna pakai oleh sahabat-sahabat r.a.

    Contohnya, Ummul Mu’minin memperkenalkan satu prinsip iaitu suatu yang bercanggah dengan al-Quran tidak sekali-kali akan diterima, sama ada ia ditakwil atau sememangnya yang ditolak.

    Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas perhatikan riwayat tentang orang kafir yang telah terbunuh di dalam Perang Badar. Rasulullah s.a.w. mencampakkan mayat mereka ke dalam satu lubang dan sambil berdiri di tepi lubang tersebut baginda mengucapkan, “Adakah kamu dapati apa yang dijanjikan oleh tuhanmu benar.” Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Adakah kamu bercakap dengan orang yang telah mati? Baginda kemudiannya menjawab: “Kamu tidak akan mendengar lebih daripada mereka, cuma mereka tidak dapat menjawab.” Mendengarkan ini Ummul Mu’minin r.a. berkata, “ Rasulullah tidak pernah mengucapkan perkara tersebut, sebaliknya baginda telah mengucapkan: “Kini mereka tahu sesungguhnya apa yang aku cakapkan adalah benar ”. Baginda s.a.w. tidak mungkin melafazkan kata-kata sebagaimana riwayat di atas, kerana Allah Yang Maha Esa telah berkata: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat membuatkan orang yang telah mati mendengar.” (Bukhari Jilid I, m/s 183)

    Suatu contoh lagi ialah apabila hampir meninggal dunia Saidina Umar r.a. telah mengucapkan hadis Nabi ini: “Sesungguhnya, mayat akan diazab dengan ratapan daripada ahli keluarganya.” Mendengarkan ini, Saidatina ‘Aishah r.a. berkata: “Semoga Allah yang Maha Kuasa mencucuri rahmat kepada Umar r.a. Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengucapkan hadis ini, yakni bahawa Allah S.W.T. memberi azab terhadap orang Mu’min disebabkan oleh ratapan daripada ahli keluarganya, sebaliknya Rasulullah s.a.w. telah mengucapkan bahawa Allah S.W.T. akan melipatgandakan azab terhadap orang kafir lantaran ratapan oleh ahli keluarganya. Dan al-Qur’an itu adalah mencukupi bagi kamu, dan seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain.”

    Di dalam riwayat yang lain beliau (‘Aishah) menjelaskan, “Apa yang sebenarnya berlaku ialah seorang perempuan Yahudi telah meninggal dunia, dan ahli keluarganya telah meratapi kematiannya. Dengan menujukan kepada mereka, Rasulullah s.a.w. telah mengucapkan: “Mereka ini sedang meratapi kematian beliau, sedangkan beliau diazab di dalam kuburnya.” (Bukhari, Jilid I, m/s 172,/ ‘Muslim’, Jilid I, m/s 303)

    Teguran yang diberikan oleh Ummul Mu’minin r.a. dalam dua peristiwa ini, mengasaskan prinsip-prinsip fiqah dan hadis sebagaimana berikut :

    1- Bila makna sesuatu hadis bercanggah dengan al-Quran, walau betapa tinggi kedudukan sanadnya, ianya adalah tertolak. Prinsip ini digunakan oleh fiqah mazhab Hanafi.

    2– Walau setinggi manapun kedudukan seseorang perawi, sesuatu hadis tetap tidak akan diterima sekiranya dia meriwayatkan sesuatu yang bercanggah dengan al-Quran. Tiada siapa akan mencapai kedudukan seumpama Saidina Umar r.a. dan Saidina Abdullah bin Umar r.a. Apabila Ummul Mu’minin r.a. mengutamakan ‘prinsip’ bila berdepan dengan ‘peribadi’ perawi, suatu prinsip lain diperkenalkan iaitu, ‘ bila sahaja seorang perawi dibandingkan dengan satu prinsip maka perawi itu akan ditolak dan prinsip itulah yang akan diterima pakai.

    3- Apabila seseorang mengatakan sesuatu yang bercanggah dengan al-Quran atau prinsip ini, beliau dianggap telah tersalah faham atau tidak dapat mengingati peristiwa tersebut dengan tepat ataupun mungkin beliau tidak dapat memahami kedudukan sebenar peristiwa itu.

    4- Sesungguhnya al-Quran itu adalah mencukupi untuk perkara berkenaan Kaedah dan Rukun keimanan. Oleh itu kita tidak perlu menyokong riwayat tersebut.

    5- Sayugia diingat, siapakah Saidina Umar r.a. ini. Sedangkan peribadi agung seperti Saidina Umar r.a. tidak boleh diterima sekiranya riwayatnya bercanggah dengan al-Quran. Lalu, bagaimana mungkin kita bertaqlid buta kepada seseorang yang berjuta kali lebih rendah daripada Umar r.a.. Sekiranya telah jelas terdapat kecacatan dalam di dalam sesuatu riwayat maka riwayat tersebut hendaklah ditolak.

    Apabila Saidina Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan hadis di atas, Ummul Mu’minin r.a. berkata: “Semoga Allah mengampuni segala dosa Abu Abdur-Rahman. Beliau tidak berdusta. Akan tetapi mungkin beliau terlupa atau tersilap.” (‘Muslim’, Jilid I, m/s 303)

    Dari ungkapan ini, Ummul Mu’minin r.a. mengasaskan satu lagi prinsip, iaitu;

    6- Walau bagaimana jujur dan terpercayanya seseorang perawi, meskipun dia adalah seorang daripada sahabat yang adil yang sememangnya tidak pernah berdusta, mereka mungkin melakukan kesilapan iaitu samada ia terlupa atau kurang memahami maksud sebenar. Tiada seorang pun yang terkecuali daripada kesilapan seperti itu.

    Oleh itu tidak semestinya setiap riwayat perawi yang thiqah adalah tepat. Boleh jadi beliau tersilap dalam merawikan atau dia tidak mendengar percakapan dengan lengkap.

    Apabila kemungkinan seperti itu berlaku di kalangan sahabat r.a., untuk menganggap bahawa Hisham terselamat dan bebas daripada kekurangan atau kecacatan, adalah sama seperti mencela kesucian dan kebenaran Nabi s.a.w. dan juga suatu serangan terhadap kehormatan sahabat r.a. Ulama hadis menamakan riwayat sedemikian sebagai riwayat ‘mungkar’ (yang disangkal). Oleh kerana itu, masyhur di kalangan mereka istilah seperti mungkarat Sufyan Uyainah, Hammad ibn Salamah dan Sharik bin Abdullah Al-Madani.

    Berdasarkan alasan ini ulama hadis dan juga ahli feqah bersepakat bahawa setiap manusia, secara semulajadi, mempunyai mempunyai sifat pelupa dan melakukan kesilapan. Ada kemungkinan seorang sahabat r.a. melakukan kesilapan dalam memindahkan lafaz, ataupun telah tersilap dalam memahami maksudnya yang sebenar, atau mungkin juga beliau tidak menyaksikan keseluruhan peristiwa yang berlaku dan membuat kesimpulan yang salah. Ataupun mungkin telah mendengar sebahagian daripada percakapan dan mengeluarkan pendapat berdasarkan pertimbangannya sendiri. Mungkin juga beliau telah terkeliru bila menyaksikan hanya sebahagian daripada sesuatu peristiwa. Apabila kita menimbangkan kemungkinan kecacatan ini dalam riwayat sahabat kita sepatutnya perlu lebih berhati-hati sebelum menerima riwayat dari perawi bukan sahabat. Dan sekiranya sebarang kelemahan ditemui di dalam mana-mana riwayat, maka kita perlu lebih berhati-hati sebelum menerima riwayat tersebut. Dengan itu setinggi manapun sanad sesuatu hadis ianya tetap dikatakan ‘zanni’ (sangkaan kuat) dan setiap peringkat tidak terlepas dari ‘zann’. Bezanya di dalam hadis mutawatir tahap ‘zann’ (keraguan) adalah paling sedikit berbanding hadis ahad. Di dalam riwayat Hisham ini kita dapati ada ‘keraguan” di setiap peringkat perawi.

    Jikalau bilangan perawi lebih sedikit di dalam sesuatu sanad maka semakin berkuranglah ‘zann’ (keraguan) nya. Itulah sebabnya mengapa ulama hadis akan mengelaskan sesebuah hadis yang mempunyai bilangan dan peringkat perawi yang sedikit, sebagai ‘Alee’ (yang lebih tinggi)’, sementara sebuah hadis yang mempunyai bilangan dan peringkat perawi yang banyak, sebagai ‘Safil’ (tahap yang lebih rendah).

    Sebagai contohnya, Imam Bukhari menukilkan sebuah riwayat melalui sanad ini:

    “Al-Humaidi menceritakan bahawa Sufyan berkata kepadanya, daripada al-Zuhri, daripada Urwah, daripada ‘Aishah…” Di dalam ‘sanad’ ini, terdapat lima orang perawi yang menghubungkan antara Rasulullah s.a.w. dan Bukhari. Berlainan dengan riwayat yang kedua yang telah disampaikan melalui cara ini:

    “Abu ‘Asim menceritakan bahawa Ad-Duhak berkata kepadanya, daripada Salamah bin Al-Akwa’…” Di dalam sanad ini hanya terdapat tiga orang perawi. Tahap keraguan di dalam riwayat ini adalah kurang berbanding dengan riwayat pertama. Riwayat kedua dikatakan ‘alee’ manakala riwayat kedua dikatakan ‘safil’. Riwayat yang kedua adalah salah satu dari ‘thulathiyyat’ Imam Bukhari(iaitu yang mempunyai sanad yang paling sedikit, iaitu tiga orang perawi) dalam saheh Bukhari. Di dalam Bukhari hanya terdapat 23 thulathiyyat; riwayat yang lain adalah lebih rendah tarafnya daripada 23 riwayat ini. Dengan menggunakan asas yang sama, bahawa riwayat-riwayat Bukhari yang mempunyai empat peringkat perawi di dalam sanadnya, akan menjadi ‘alee’ jika dibandingkan dengan riwayat yang mempunyai lima peringkat perawi di dalam sanadnya.

    Bila Imam Abu Hanifah r.a. dan Imam Malik r.a. menukilkan mana-mana riwayat, kadangkala terdapat dua atau tiga orang perawi di dalam sanadnya. Terutama dalam riwayat Imam Abu Hanifah di mana ada riwayat yang hanya mempunyai seorang perawi iaitu sahabat r.a.. Kesemua riwayat oleh mereka ini akan menjadi ‘alee’ daripada Bukhari. Malahan, Riwayat Bukhari yang paling ‘alee’ (tinggi) pun adalah ‘safil’ (rendah) berbanding riwayat Abu Hanifah dan Imam Malik.

    Ummul Mu’minin ‘Aishah r.a. telah meletakkan satu kaedah asas fiqah dan hadis yang penting. Peribadi agung Ummul Mu’minin r.a. telah membezakan dengan jelasnya di antara al-Quran dan as-Sunnah, dan beliau telah menjelaskan bahawa ‘zann’ iaitu sesuatu yang mempunyai keraguan tidak boleh mengatasi yang ‘mutlak’. Di dalam Islam, hanya ‘Kalam Allah’ iaitu al-Qur’an, yang dijamin ‘tepat dan sempurna ’ sementara hadith Nabi s.a.w adalah ‘zann’ (yang mempunyai keraguan) kerana ianya diriwayatkan oleh manusia dan ‘kekurangan’ adalah sifat semulajadinya. Tidak pernah wujud manusia yang tidak mempunyai kelemahan ini.

    Hadis oleh Fatimah binti Qais adalah satu contoh lain, di mana beliau menyatakan bahawa seorang wanita yang diceraikan tidak akan sekali-kali akan mendapat rumah untuk tinggal, mahupun sebarang nafkah. Amirul Mu’minin Saidina Umar r.a. telah menolak ‘hadis’ ini sambil memberi peringatan bahawa kita tidak boleh mengingkari Kitab Allah hanya dengan berdasarkan kata-kata seseorang. Kami telah menghuraikan peristiwa ini di dalam buku kami yang terdahulu yang bertajuk ‘Usul-e-Fiqah’ dan di dalam sebuah buku baru yang berjudul ‘Isal-e-Sawab Qur’an ki Nazer mein’. Di sini kami hanya ingin menukilkan kata-kata yang diucapkan oleh Ummul Mu’minin r.a. berkenaan ‘hadis’ Fatimah binti Qais tersebut:

    “ Tidak ada kebaikan bagi Fatimah menyebutkan hadis ini (‘Saheh Bukhari’, Jillid I, m/s 485 / Jilid II, m/s 803).

    Satu lagi riwayat pula dinyatakan begini:

    “Adapun beliau tidak mendapat apa-apa kebaikan dengan menyebutkannya.” (‘Saheh Bukhari’, Jilid II, m/s 802 / ‘Muslim’, Jilid I, m/s 485)

    Qasim bin Muhammad berkata Ummul Mu’minin berkata kepada Fatimah binti Qais, “Tidakkkah kamu takut kepada Allah?” (Saheh Bukhari, Jilid I, m/s 803).

    Jika kami ingin mengumpulkan riwayat-riwayat yang disanggah oleh Umul Mu’minin tentunya kami akan dapat menghasilkan sebuah buku. Tunggulah buku kami “Sirah Aisha” yang akan membincangkan perkara ini dengan terperinci.

    (Nota: Allama Habibur Rahman Siddiqui Kandhalwi tidak dapat menyempurnakan bukunya, ‘Sirah ‘Aishah’ disebabkan oleh sakitnya yang panjang dan berterusan)

    Kami memang mengakui bahawa Hisham adalah seorang perawi ‘thiqah”. Beliau adalah salah seorang perawi dalam “Saheh Bukhari”. Beliau adalah seorang yang boleh dipercayai, seolah-olah turun daripada langit di dalam bentuk yang suci. Namun kami katakan bahawa Hisham yang kami hormati ini telah terlupa angka “sepuluh” ketika daya ingatannya lemah. Dan, hakikatnya apa yang dinyatakan oleh Hisham adalah tidak benar. Ianya tidak benar kerana adalah tidak masuk akal Ummul Mu’minin menguasai bidang kesusateraan, ilmu salasilah, sejarah dan pidato semasa berumur sembilan tahun. Dan, jika ianya mungkin, bantulah kami sekurang-kurangnya menguasai Bahasa Inggeris supaya kami dapat membidas kembali tulisan-tulisan beracun seumpama ini di dalam bahasa ini.

    Kami telah membaca buku ‘Sirah ‘Aishah’ karya Syed Sulaiman Nadwi. Beliau telah menulis secara ringkas tentang perkahwinan Aishah pada mukasurat 225 di dalam buku tersebut. Di situ, beliau juga telah menyatakan usia Aishah r.a.. adalah sembilan tahun semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w.. Sudah tentu kami amat kesal dengan kenyataan ini dan kami mengambil masa lima puluh tahun untuk membetulkan fakta ini.

    naik atas

    Hujah Ke-21 – Keinginan Mendapatkan Anak Dan Naluri Keibuan Tidak Mungkin Timbul Dari Kanak-Kanak Bawah Umur

    Adalah suatu naluri semulajadi seorang wanita dewasa yang telah berkahwin berkeinginan untuk mendapatkan anak. Ia adalah suatu perasaan semulajadi yang mana tiada seorang pun menafikannya. Dan perasaan ini, yang disebut sebagai ‘naluri keibuan’, tidak mungkin timbul di dalam jiwa seorang kanak-kanak perempuan kecil, sebagaimana seorang kanak-kanak lelaki di bawah umur tidak mempunyai keinginan untuk menjadi seorang bapa.

    Adalah suatu kebiasaan di Tanah Arab, bahawa bila sahaja seseorang menjadi bapa, beliau akan mengambil ‘kunniyah’(nama timangan) sempena nama anaknya yang dikasihi. ‘Kunniyah’ ini seringkali diambil daripada nama anak lelaki sulung, sebagaimana Abu Talib, namanya yang sebenar ialah Abd Manaf dan Talib adalah anak lelakinya. Abul Qasim adalah kunniyah Rasulullah s.a.w. sempena nama anak lelaki sulungnya yang bernama Qasim. Abul Hassan adalah kunniyah Saidina Ali r.a., yang diambil daripada nama anak lelaki sulungnya, Hassan r.a.

    Dengan cara yang sama, apabila seseorang wanita telah mendapat anak setelah perkahwinan, beliau akan menggunakan kunniyah berdasarkan nama anaknya dan akan dikenali dengan nama timangan ini. Dengan berpandukan kepada kunniyah, orang akan mengetahui bahawa beliau adalah seorang ibu kepada anaknya. Contohnya seperti Ummu Habibah r.a., Ummu Salamah’ r.a., dan Ummu Sulaim r.a.

    Kunniyah ini akan mengukuhkan lagi kedudukan seseorang di dalam masyarakatnya. Apabila beliau dipanggil dengan menggunakan kunniyah, akan timbul suatu perasaan bahawa beliau adalah seorang ayah kepada anaknya, dan dengan menjadi seorang ayah, tanggungjawab kebapaan dipikul olehnya. Dengan cara yang sama, apabila disebutkan seseorang wanita disebut ‘ibu kepada….’, maka wanita ini akan dapat merasai dirinya adalah seorang ibu, dan ini akan memuaskan naluri keibuannya.

    Bahkan, setiap perempuan yang telah berkahwin akan mengimpikan untuk mendapat anak setelah beberapa ketika berkahwin. Malah, wanita yang tiada anak seringkali mengambil anak angkat daripada keluarga lain untuk mememuaskan naluri keibuannya bila anak angkat memanggilnya dengan panggilan ‘ibu’. Dan, keinginan seperti ini tidak mungkin timbul di hati seorang kanak-kanak perempuan yang masih mentah.

    Aishah r.a. tidak mempunyai anak kandung, namun pada suatu hari di bawah tekanan naluri semulajadinya, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Kesemua isterimu yang lain telah mengambil kunniyah daripada nama anak lelaki mereka. Bagaimana saya boleh gunakan satu kunniyah?” Lalu Baginda s.a.w. menjawab, “Ambillah kunniyah daripada nama Abdullah, anak lelakimu.” (Abu Daud & Ibn Majah)

    Abdullah adalah merujuk kepada Abdullah bin Zubair (anak saudara lelakinya). Jadi kunniyah bagi Ummul Mu’minin r.a. adalah Ummu Abdullah (r.a.). (Sunan Abu Daud m/s 679 & Ibn Majah (terjemahan Jilid II, m/s 416 dan Tabaqat, Jilid VIII, merujuk kepada “Perbincangan mengenai ‘Aishah.”)

    Syed Sulaiman Nadwi menulis: Abdullah bermaksud Abdullah bin Zubair iaitu anak saudara Aishah r.a. dan anak lelaki kakaknya Asma’ r.a.. Beliau adalah anak lelaki Islam yang pertama selepas Hijrah. Aishah r.a. mengambilnya sebagai anak angkatnya dan menyayangi beliau dengan sepenuh hati. Abdullah r.a. juga mengasihi Aishah r.a. melebihi ibu kandungnya sendiri. Selain Abdullah, Aishah r.a. telah membesarkan ramai lagi kanak-kanak lain (Muwatta’ Kitab-uz-Zakat).

    Masruq bin Al-Ajda’, Umarah binti ‘Aishah, ‘Aishah binti Talhah, ‘Amarah binti Abdur-Rahman (Ansariyah), Asma’ binti Abdur-Rahman bin Abu Bakar, Urwah bin Az-Zubair, Qasim bin Muhammad dan saudara lelakinya, dan Abdullah bin Yazid adalah mereka yang telah dibesarkan oleh Saidatina ‘Aishah r.a. Beliau (‘Aishah) juga telah membesarkan anak-anak perempuan Muhammad bin Abu Bakar dan mengaturkan perkahwinan mereka. (Sirah Aishah, m/s 182)

    Saidatina ‘Aishah r.a. telah mengambil anak saudaranya menjadi anak angkatnya. Dengan sebab ini, Saidatina Asma’ r.a. tidak mengambil kunniyah berdasarkan nama anak lelakinya itu. Dan juga, oleh kerana Ummul Mu’minin r.a. telah biasa memanggil Abdullah sebagai anaknya semenjak awal, maka Rasulullah s.a.w. mencadangkan kepadanya untuk mengambil kunniyah berdasarkan nama anak saudaranya itu. Dengan cara ini, naluri keibuannya, yang menjadi impian setiap wanita muda, akan dapat dipenuhi. Hal ini sendiri adalah satu hujah bahawa beliau telah dewasa pada ketika itu, dan Abdullah, sekiranya menurut riwayat Hisham, hanyalah lapan tahun lebih muda daripadanya. Dalam keadaan ini, Abdullah lebih sesuai dipanggil sebagai ‘adik’, tetapi tidak mungkin dipanggil sebagai ‘anak’. Peristiwa ini membuktikan bahawa Aishah r.a. adalah seorang wanita yang matang semasa perkahwinannya. Dan, beliau, sebagaimana wanita lain mempunyai naluri semulajadi untuk mempunyai anak. Itu adalah sebabnya mengapa beliau menganggap anak saudaranya sebagai anaknya, dan selaku seorang wanita yang tiada anak, beliau membesarkan ramai kanak-kanak perempuan untuk memenuhi naluri perasaan kasih dan keibuannya.

    Hujah Ke-22- Aishah R.A. Sebagai Ibu Angkat Kepada Bashar R.A. Yang Berumur Tujuh Tahun Selepas Perang Uhud

    Terdapat satu riwayat daripada Bashar bin ‘Aqrabah bahawa ayahnya telah mati syahid di dalam Peperangan Uhud, dan beliau sedang menangis apabila secara tiba-tiba Rasulullah s.a.w. datang kepadanya dan berkata: “Adakah kamu tidak suka jika saya menjadi ayah kamu dan ‘Aishah sebagai ibumu?”

    Adakah ungkapan “…..Aishah sebagai ibumu.” sesuai diucapkan untuk seorang kanak-kanak perempuan berumur sepuluh tahun?

    Bukankah ianya sesuatu yang mustahil untuk perkataan-perkataan ini diungkapkan oleh Rasulullah s.a.w, melainkan Ummul Mu’minin ‘Aishah pada ketika itu bukan kanak-kanak di bawah umur.

    Bashar adalah seorang kanak-kanak yang berusia 6 atau 7 tahun. Dalam erti kata lain, seorang kanak-kanak perempuan yang berusia sepuluh tahun menjadi ibu angkat kepada seorang kanak-kanak lelaki berusia tujuh tahun!! Ia akan menjadi gurauan yang tidak masuk akal!.

    Pada pandangan kami, umur Ummul Mu’minin r.a., sekurang-kurangnya adalah dua puluh satu tahun semasa berlakunya Perang Uhud.

    Hujah Ke-23- Wujudkah Perkahwinan Gadis Bawah Umur Di Tanah Arab Dan Dalam Masyarakat Bertamadun?

    Satu lagi persoalan timbul iaitu adakah perkahwinan gadis bawah umur menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat Arab, khususnya di zaman Rasulullah s.a.w.

    Apabila kami meneliti sejarah Arab, kami tidak menemui sebarang contoh seumpama ini sebelum dan selepas kedatangan Islam. Bahkan, di zaman Rasulullah s.a.w., semua gadis berkahwin setelah mencapai usia dewasa. Malah, seorang ibu yang terhormat tidak sekali-kali akan bersetuju untuk mengahwinkan anak gadisnya yang baru baligh, kerana gadis itu masih lagi mentah untuk memahami tanggungjawab dalam perkahwinan. Contohnya, mungkin dia gagal menjalankan tanggungjawab bagaimana untuk membesarkan dan menjaga anaknya dengan baik. Dalam masyarakat yang bertamadun seoran gadis akan berkahwin bila cukup matang. Tahap kematangan biasanya dicapai bila seorang gadis berusia lapan belas tahun ke atas, sebagaimana kata-kata Imam Abu Hanifah bahawa umur baligh ialah lapan belas tahun. Dan, kami berpendapat gadis yang baligh (secara fizikal) pada usia 13-14 tahun, tidak akan matang di segi pemikiran sehingga berumur 18 tahun. Dalam erti kata lain, sifat keanak-anakannya tidak akan hilang semasa tempoh remaja.

    Ini adalah sebabnya mengapa Rasulullah s.a.w. mengaturkan perkahwinan anak-anak gadisnya hanya setelah mereka mencapai usia matang. Oleh sebab peristiwa sebelum hijrah tidak direkodkan dengan lenngkap di dalam sejarah, maka kami tidak dapat pastikan berkenaan usia anak perempuan baginda yang telah berkahwin di Mekah. Akan tetapi, baginda s.a.w. telah mengaturkan perkahwinan dua orang anak gadisnya selepas Hijrah, dan kedua-duanya telah berkahwin di usia yang cukup matang.

    PERKAHWINAN SAIDATINA FATIMAH R.A.

    Upacara perkahwinan Saidaitina Fatimah r.a., menurut sebilangan ahli sejarah, telah berlangsung pada bulan Syawal tahun kedua Hijrah; dan menurut beberapa penulis yang lainnya ia berlangsung di bulan Muharam tahun ketiga Hijrah. Berapakah usianya yang sebenar pada waktu itu? Ulama hadis dan juga ahli sejarah bersetuju bahawa Saidatina Fatimah r.a. telah dilahirkan pada masa orang-orang kafir membina semula bangunan Ka’abah. Pada waktu itu umur Rasulullah s.a.w. adalah 35 tahun, dalam erti kata lain, Fatimah dilahirkan lima tahun sebelum Kerasulan. Dengan ini, pada masa berlangsungnya Hijrah ke Madinah, usia Saidatina Fatimah adalah lapan belas tahun dan pada waktu perkahwinannya, Fatimah berusia 21 tahun.

    Hafiz Ibn Hajar menulis bahawa Saidatina Fatimah r.a. adalah lima tahun lebih tua daripada Saidatina ‘Aishah r.a.(Al-Asabah, Jilid IV, m/s 377)

    Namun, di waktu yang lain, beliau menyokong kuat pendapat bahawa majlis perkahwinan Ummul Mu’minin r.a. berlangsung semasa berusia sembilan tahun. Sekarang, jika kita mempertimbangkan fakta bahawa ‘Aishah r.a. adalah lima tahun lebih muda daripada Fatimah r.a., dan Fatimah telah dilahirkan lima tahun sebelum Kerasulan, ini bermakna bahawa Ummul Mu’minin dilahirkan pada tahun baginda s.a.w. diangkat menjadi rasul. Dengan itu, usia Ummul Mu’minin r.a. menjadi lima belas tahun pada masa beliau mula hidup bersama Rasulullah s.a.w. Bagaimanakah ia boleh menjadi sembilan tahun?

    Puak Syiah pula mendakwa bahawa Fatimah r.a. telah dilahirkan lima tahun selepas Kerasulan, dan oleh itu usianya semasa perkahwinan adalah 8 atau 9 tahun. Bahkan, berdasarkan alasan ini, pendapat fiqah mereka ialah: kanak-kanak perempuan mencapai sembilan tahun hendaklah dikahwinkan. Pada pandangan kami, puak Syiah sengaja mengadakan cerita tentang umur Ummul Mu’minin r.a. dalam usaha untuk menyembunyikan cerita yang direka oleh mereka sendiri. Dan, ahli Sunnah tanpa berfikir panjang, turut menyebarkan pemikiran mereka ini dengan menyebarkan riwayat seperti ini. Kesannya, apabila ahli Sunnah menerima riwayat yang Ummul Mu’minin berkahwin semasa berusia sembilan tahun orang Syiah akan mengejek sambil berkata : Tuan! Bagaimana seorang kanak-kanak perempuan yang hanya menghabiskan masanya dengan bermain anak patung, dapat memahami agama ini ?

    PERKAHWINAN SAIDATINA UMMU KALTHUM R.A.

    Selepas kematian Ruqayyah r.a., Ummu Kalthum r.a. telah berkahwin dengan Saidina Uthman ibn Affan r.a. di bulan Rabi’ul Awal tahun ketiga Hijrah. Sekiranya Ummu Kalthum adalah lebih muda daripada Fatimah r.a., maka umurnya sembilan belas tahun dan jika Ummu Kalthum lebih tua, sebagimana yang dikatakan oleh ahli sejarah secara umumnya, maka usianya (Ummu Kalthum) tidak akan kurang daripada 23 tahun, dan beliau adalah seorang perawan di usia itu.

    Alangkah ajaibnya ! Rasulullah s.a.w. mengatur perkahwinan anak perempuannya pada masa mereka berumur melebihi 20 tahun, sebagaimana perkahwinan gadis di zaman moden. Namun apabila baginda s.a.w. sendiri berkahwin, beliau memilih seorang kanak-kanak perempuan yang berusia sembilan tahun. Apakah perasaan anak perempuan baginda s.a.w. untuk memanggil Aishah r.a. sebagai ibu?

    PERKAHWINAN SAIDATINA ASMA’ R.A.

    Asma’ r.a. ialah kakak ‘Aishah r.a., yang usianya sepuluh tahun lebih tua daripadanya (‘Aishah r.a.). Beliau telah berkahwin dengan Zubair r.a. beberapa bulan sebelum peristiwa Hijrah ke Madinah. Beliau sedang mengandung pada waktu berlakunya Hijrah. Pada masa itu beliau berusia 27 tahun dan semasa perkahwinannya, beliau berusia 25 tahun. Ini bermakna bahawa Saidina Abu Bakar r.a. memelihara anak perempuan sulungnya (Asma’ r.a.) selama 26 tahun, dan anak perempuannya yang terkemudian (‘Aishah r.a.) adalah sangat membebankannya sehinggakan beliau (Abu Bakar r.a.) menguruskan perkahwinannya meskipun baru berusia sembilan tahun!

    Kami perhatikan di zaman moden ini, rata-rata pengantin perempuan berumur lebih 18 tahun. Oleh itu, mengapakah kisah ini hanya dikhususkan kepada Ummul Mu’minin r.a.? Apakah muslihat yang ada di sebaliknya?

    Alangkah baiknya sekiranya ada sesiapa yang mampu untuk mendedahkannya!

    Kami yakin segala kekalutan ini berpunca dari sikap permusuhan puak Syiah terhadap Ummu Mu’minin Saidatina Aishah r.a.

    Hujah Ke-24 – Kesepakatan (Ijmak) Umat Dalam Menolak Amalan Kahwin Bawah Umur

    Riwayat Hisham yang keliru ini sentiasa bercanggah dengan amalan umat Islam. Sehingga hari ini, tiada siapapun yang beramal menurut riwayat ini, malah tiada seorang pun yang menawarkan anak perempuan yang berusia sembilan tahun untuk tujuan ini; dan, tiada seorang pun kanak-kanak di usia mentah begitu yang telah diterima untuk dijadikan sebagai isteri.

    Kesimpulannya, riwayat ini hanya berlegar di atas lidah manusia. Dalam erti kata lain, riwayat ini tidak diterimapakai oleh sesiapa pun dari segi amalan.

    Tetapi, kita bukanlah dari jenis orang yang suka membantah. Oleh itu kita mempercayai riwayat ini secara lisannya, tetapi kita (dan juga masyarakat Islam seluruh dunia) enggan mengamalkannya.

    Perbahasan Tentang Usia Sebenar Khadijah R.A. Semasa Berkahwin Dengan Rasulullah S.A.W.

    Dikatakan bahawa Ummul Mu’minin Saidatina Khadijah r.a. berumur 40 tahun ketika beliau berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Ia adalah suatu riwayat yang yang tidak berasas tetapi telah disebarkan sebegitu rupa dan digarap seolah-olah sebahagian daripada ugama. Ini adalah percubaan untuk membuktikan bahawa Rasulullah s.a.w. telah melalui zaman mudanya bersama-sama dengan seorang wanita tua. Dalam usia lanjut, beliau r.a telah melahirkan empat orang anak perempuan iaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalthum dan Fatimah r.a.; dan tiga orang anak lelaki yang dinamakan Qasim, Tayyab and Tahir. Menurut sesetengahnya pula, beliau r.a. telah melahirkan empat orang anak lelaki; ada seorang yang bernama Abdullah, sedangkan setengah yang lainnya pula menyatakan bahawa yang sebenarnya Abdullah telah dipanggil sebagai Tayyab dan Tahir.

    Saidatina Khadijah r.a. telah berkahwin sebanyak dua kali sebelum berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Perkahwinan pertamanya adalah dengan Abu Halah Hind bin Banash bin Zararah. Daripadanya, beliau telah mendapat seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan. Nama anak lelakinya ialah Hind dan anak perempuannya bernama Halah. Setelah kematian Abu Halah, Khadijah r.a. berkahwin dengan Atiq bin ‘Aid Makhzumi. Daripadanya dia mendapat seorang anak perempuan yang juga bernama Hind. Inilah sebabnya mengapa Saidatina Khadijah r.a. mendapat kunniyah sebagai Ummu Hind. Anak lelaki Saidatina Khadijah, Hind, telah memeluk Islam. (Seerat-un-Nabi, Jilid II, m/s 402).

    Di sini, timbul satu persoalan, iaitu Saidatina Khadijah r.a. telah melahirkan empat orang anak sahaja di usia mudanya, namun semasa usia tuanya beliau telah melahirkan tujuh atau lapan orang anak, yang mana ia agak bertentangan dengan logik akal. Sebabnya, menurut Sains Perubatan, seorang wanita menjadi tidak subur untuk melahirkan anak, biasanya apabila melewati usia 45 tahun. Bagaimana pula boleh dipercayai bahawa lapan orang anak telah dilahirkan setelah melepasi usia 40 tahun?

    Pihak Orientalis dan musuh-musuh Islam telah memberi perhatian khusus terhadap riwayat ini, kerana peristiwa ini jelas bertentangan dengan akal. Dengan mendedahkan peristiwa seperti ini, mereka mengambil kesempatan untuk mencemuh Islam.

    Namun begitu, ulama kita sebaliknya menganggap kejadian ini sebagai ‘satu mukjizat’ Rasulullah s.a.w. Tambahan lagi mereka menganggap inilah keistimewaan nabi s.a.w. kerana sanggup mengahwini wanita yang tua sedangkan baginda s.a.w. sendiri muda belia.

    Di pihak yang lain golongan Syiah mendakwa adalah tidak mungkin melahirkan sebegitu ramai anak di usia tua. Oleh itu, Zainab, Ruqayyah dan Ummu Kalthum tidak diiktiraf sebagai anak nabi s.a.w.

    Golongan Syiah mengatakan bahawa umur Khadijah r.a. ialah 40 tahun semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Meskipun mereka amat mahir bermain dengan angka, mereka telah melakukan kesilapan bodoh bila mendakwa bahawa Fatimah r.a. dilahirkan lima tahun selepas kenabian. Dalam hal ini, Khadijah sudah berumur 60 tahun semasa melahirkan Fatimah r.a.. Dengan ini tidak mungkin Ruqayyah dan Kalthum adalah anak kepada Khadijah kerana mereka adalah lebih muda dari Fatimah.

    Kita akan membuktikan bahawa empat orang anak perempuan ini adalah dilahirkan oleh Saidatina Khadijah r.a. dari Rasulullah s.a.w. Tetapi sebelum itu orang Syiah perlu membuktikan bahawa seorang wanita yang berusia 60 tahun boleh melahirkan anak. Dan apabila mereka membuktikannya, mereka mesti juga membuktikan bahawa Fatimah r.a. adalah anak kepada Khadijah r.a.

    Sebenarnya terdapat perbezaan pendapat tentang usia sebenar Khadijah r.a bila berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Ada yang berkata umurnya 40 tahun. Ada yang berpendapat usianya 35 tahun. Yang lain pula mengatakan 30 tahun, dan sesetengah pula mengatakan 27 tahun, manakala ada pula yang menyatakan bahawa usianya 25 tahun. Ahli-ahli sejarah Syiah sependapat mengatakan umurnya 40 tahun, dan mereka menolak pendapat lain. Dan mereka riuh rendah menyebarkan pendapat ‘40 tahun’ ini seolah-olah pandangan lain tidak pernah wujud. Ulama kita dan ahli-ahli sejarah yang terkemudian juga terpengaruh dengan daayah ini dan menyangkakan bahawa pendapat golongan Syiah inilah yang ‘tepat’.

    Hafiz Ibn Kathir menulis:

    “Baihaqi telah memetik daripada Hakim iaitu apabila Rasulullah mengahwini Khadijah r.a., baginda s.a.w. adalah berumur dua puluh lima tahun dan Saidatina Khadijah r.a. berumur tiga puluh lima tahun, dan ada pendapat lain mengatakan usianya dua puluh lima tahun.” (al-Bidayah, Jilid II, m/s 295)

    Dengan lain perkataan, Baihaqi dan Hakim menyatakan bahawa Saidatina Khadijah r.a. berusia tiga puluh lima tahun pada waktu itu. Bersama-sama dengan itu, mereka juga turut mengatakan bahawa ada pendapat bahawa beliau r.a. berusia dua puluh lima tahun.

    Di tempat lain, Hafiz Ibn Kathir mengatakan usia Saidatina Khadijah r.a. pada masa kewafatannya, sebagaimana berikut: “Usia Saidatina Khadijah mencapai 65 tahun. Satu pendapat mengatakan beliau meninggal pada usia 50 tahun. Dan pendapat ini (iaitu 50 tahun) adalah yang benar.” (al-Bidayah wan Nihayah, Jilid II, m/s 294)

    Ulama Hadis dan ahli sejarah bersetuju bahawa Saidatina Khadijah r.a. menjalani hidup sebagai isteri Rasulullah s.a.w. selama 25 tahun dan beliau r.a. meninggal dunia pada tahun ke-10 Kerasulan. Hafiz Ibn Kathir berkata; ‘pendapat yang benar adalah usianya mencecah 50 tahun’ telah membuktikan bahawa usia Saidatina Khadijah pada masa perkahwinannya ialah 25 tahun. Dan juga, Hafiz Ibn Kathir juga telah membuktikan bahawa ‘maklumat’ yang diterima pada hari ini (iaitu umur Khadijah r.a. 40 semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w.) adalah salah dan tidak benar sama sekali..

    Meskipun dengan fakta yang sebegini jelas, kita masih mempercayai (dan terperangkap) dalam berita yang lebih merupakan khabar angin semata-mata.

    Apabila kami mengkaji ‘Al-Bidayah wan-Nihayah’ yang ditulis oleh Ibn Kathir, barulah kami menyedari akan kesilapan kami. Semoga Allah yang Maha Kuasa mengampuni kami, kerana kami adalah mangsa kepada suatu salah faham yang besar. Moga Allah yang Berkuasa mengurniakan kepada kita semua kefahaman akan Kebenaran.

    Wallahua’lam

    Aamin! Ya Rabbal Aalamin

    BIBLIOGRAFI

    Rujukan Akademik dan Buku Sumber

    1. Bukhari, Muhammad Ismail Al-Bukhari: Sahih Bukhari.

    2. Muslim, Muslim Bin Al-Hajjaj at-Taheeri: Sahih Muslim.

    3. Sulaiman bin Ash’ath: Sunan Abi Daud.

    4. An-Nasaie, Ahmad bin Shuaib An-Nasaie: Sunan Nasaie.

    5. Tirmidhi, Mohammad bin Essa Tirmidhi: Jama’a Tirmidhi.

    6. Ibn Majah, Mohammad bin Abdullah bin Yazid bin Majah: Sunan Ibn Majah.

    7. Al-Darimi, Abu Abdur-Rahman Abdullah bin Abdur-Rahman Al-Darimi: Sunan Darimi.

    8. Al-Hamidi, Abdullah bin Az-Zubair Al-Hamidi: Musnad Hamidi.

    9. Hafiz Ibn Hajar: Tahzib-ul-Tahzib.

    10. Aqueeli: Kitab-ul-Sanafa.

    11. Hafiz Zahabi: Mizan-ul-‘Atedal.

    12. Abdur-Rahman bin Abi Hatim Maruzi: Al-Jarah-wal-Ta’dil.

    13. Hafiz Sakhawi: Fateh-ul-Ghaith.

    14. Ibn Sa’ad: Tabaqat.

    15. Waliuddin Al-Khatib: Al-Kamal fi Asma-ur-Rajal.

    16. Hafiz Ibn Katheer: Al-Bidayah-wan-Nihayah.

    17. Hafiz Ibn Hajar: Taqrib-ul-Tahzib.

    18. Tabari, Muhammad bin Jareer Tabari: Tarikh Tabari.

    19. Hafiz Zahabi: Siyar-ul-A’lam An-Nubula.

    20. Ibn Hisham: As-Seerat.

    21. Hafiz Ibn Katheer: As-Seerat-un-Nabawiyyah.

    22. Hayat Syed-ul-Arab.

    23. Abdur-Rauf Danapuri: As’hah-ul-Sa’yer.

    24. Shibli: Seerat-un-Nabi.

    25. Niaz Fatehpuri: Sahabiyyat.

    26. Said Ahmad, Akberabadi Maulana: Seerat-us-Siddiq.

    27. Imam Ahmad: Al-Masnad.

    28. Sulaiman Nadvi, Syed: Seerah ‘Aishah.

    29. Hafiz Ibn Hajar: Al-Asabah fi Ahwal-us-Sahabah.

    30. Hakim Niaz Ahmad: ‘Ao‘mer ‘Aishah.

    http://www.darulkautsar.net/article.php?page=1&ArticleID=562

     
    • erzal 7:20 am on 19/09/2009 Permalink | Reply

      Age of Aishah

    • muhammad nabi pembohong 3:06 pm on 02/11/2009 Permalink | Reply

      Dasar pembohong! Anda berbohong supaya agama anda kelihatan benar. Itukah yang diajarkan oleh nabi “pembohong” muhammad?

    • erzal 3:30 am on 03/11/2009 Permalink | Reply

      yah begitulah orang2 kafir tolol yg doyan bohong, main tuduh islam bohong padahal agama ente kristen paling bohong dan paling sesat sedunia…

    • Hitaxoki 10:51 am on 05/01/2011 Permalink | Reply

      Halo, Bos 😀
      Bagus deh ada blog semacam ini, yang bisa membuat perdebatan tentang Islam makin profesional. Blog ini akan lebih bagus kalo formatnya tertata rapi dan kamu gak cuma copas dari artikel Malaysia.
      Tapi sebaliknya, kalau blog ini cuma copas tanpa tambahan pemikiran kritis dari penmbuatnya, blog ini akan menambah daftar Muslim kurang berpendidikan yang berusaha mendebat IFF.

      Terima kasih. 🙂

    • chachachichi 7:45 am on 25/05/2011 Permalink | Reply

      ummat kristen cuma ngoceh aja,buktiin dulu kebenaran kristen baru blagu,maaf mas,saya cuma pingin tau hadits dan kitabnya yang menerangkan tentang umur siti aisyah waktu kawin dngan RASULULLAH SAW.langsung kirim ke email jg tidak apap apa mas,terima kasih

    • niyazmandi،tiraxtur،barsa،gol 5:34 pm on 07/11/2011 Permalink | Reply

      I couldnt agree with you more!!!

    • CIKK 5:09 am on 10/11/2011 Permalink | Reply

      IBRANI 10

      TB10) Dan karena kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus.
      BS(10) Yesus Kristus sudah melakukan apa yang dikehendaki Allah dan mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban. Dengan persembahan itu, yang dilakukan-Nya hanya sekali saja untuk selama-lamanya, kita semua dibersihkan dari dosa.
      10) And in accordance with this will [of God], we have been made holy (consecrated and sanctified) through the offering made once for all of the body of Jesus Christ (the Anointed One).
      KRISTEN KATOLIK DAN SELURUH MANIUSIA DIBOHONGI YAHUDI.
      JESUS SUDAH JELAS2 DIBUNUH LALU MATINYA DIBILANG UNTUK NEBUS DOSA.
      KRISTEN KATOLIK MANUT SAJA DASAR BODOH.
      AJARAN YANG BENAR TIAP MANUSIA NANGGUNG DOSANYA SENDIRI.

    • CIKK 5:11 am on 10/11/2011 Permalink | Reply

      BUNG SERBU IFF ADA NGGA BUAT BLOK PAKE BAHASA INGGRIS. KALO ADA APA YA?KALO BELUM BUAT DONG YANG KAYAK GINI.BIAR KRISTEN KATOLIK DUNIA KITA KASIH PENCERAHAN

    • xbox live points ,xbox live points generator ,xbox live points 7:10 am on 25/11/2011 Permalink | Reply

      I do not disagree with this writing!!

    • slamet widodo 7:30 am on 21/04/2012 Permalink | Reply

      Survey membuktikan energi banyak terbuang untuk membela ego yang dibungkus dalam sistem kepercayaan ya Islam, Kristen dan Yahudi (padahal teks sucinya tak lebih dari cerita rakyat). Ajaran samin sepertinya menjadi pelabuhan hatiku karena menganggap semua agama baik dan saudara

    • wikki 6:50 am on 26/07/2012 Permalink | Reply

      Memikirkan syahwat dari seorang lelaki tua terhadap kanak-kanak adalah hal yang sangat mengganggu. Istilah satu-satunya untuk hal ini adalah pedofilia – salah satu kejahatan paling kotor yang bisa dibayangkan.

      Semua manusia dan hewan pada dasarnya melindungi anak-anak. Tangisan minta tolong dari anak-anak – setiap anak, termasuk dari spesies yang berbeda – akan membuat hati binatang melunak.

      Para pedofil termasuk orang-orang yang paling rusak, sebab mereka menafikan kepercayaan anak-anak.

      Sangat sulit melihat kenyataan bahwa Nabi Islam, seorang yang praktis disembah dan dijadikan teladan oleh semiliar jiwa-jiwa dalam kegelapan, ternyata adalah seorang pedofil yang menjijikkan.

      Muhammad mengawini Aisha tatkala ia baru berumur 6 tahun, dan menyetubuhinya (baca “memperkosanya”) disaat ia berumur 9. Dan dia sendiri 54 tahun.

      Kenyataan adalah terang benderang, sebab hal ini dilaporkan oleh Aisha sendiri dalam lusinan Hadis, dan tidak ada Muslim yang mempertanyakan hal tersebut sampai akhir-akhir ini dimana orang baru mulai mengernyitkan bulu matanya.

      Harap dicatat bahwa sikap orang-orang Muslim selama ini tidak ada yang merasa malu terhadap kenyataan bahwa nabi mereka adalah seorang pedofil. Soalnya, mereka sendiri juga telah mempraktekkan tindakan yang tercela ini selama rentang waktu seribuan tahun lebih, dan bahkan juga sedang mempraktekkannya sampai sekarang! Mereka hanya rikuh ketika dunia mempertanyakan hal ini kepada mereka. Namun bukti-bukti telah melimpah ruah.

      Sahih Muslim, buku 008, no.3310:
      Aisha (ra) melaporkan: Rasul Allah (saw) mengawini saya ketika saya berumur 6 tahun, dan saya masuk ke rumahnya saat saya berumur 9 tahun.

      Sahih Bukhari, vol.7, buku 62, no.64:
      Diriwayatkan Aisha: bahwa Nabi mengawininya ketika ia berumur 6 tahun dan ia (Muhammad) menggenapkan nikahnya tatkala ia berumur 9 tahun, lalu tinggal bersama-sama dengannya untuk 9 tahun (yaitu, hingga wafatnya).

      Sahih Bukhari, vol.7, buku 62, no.65:
      Diriwayatkan Aisha: bahwa Nabi mengawininya ketika ia berumur 6 tahun dan ia (Muhammad) menggenapkan nikahnya tatkala ia berumur 9 tahun. Hisham berkata: Saya telah diberitahu bahwa Aisha tinggal bersama-sama dengan Nabi selama 9 tahun (yaitu, hingga wafatnya). Apa yang engkau ketahui tentang Quran (hafal)’

      Sahih Bukhari, vol.7, buku 62, no 88:
      Diriwayatkan ‘Ursa: Nabi menuliskan (kontrak perkawinan) dengan Aisha tatkala ia berumur 6 tahun dan menggenapi nikahnya dengan dia ketika ia berusia 9 tahun dan ia tinggal bersama dengan beliau selama 9 tahun (sampai ajalnya).

      Sebagian Muslim berkata bahwa Abu Bakr-lah yang mendekati Muhammad dan meminta beliau untuk menikahi puterinya. Tentu ini tidak betul.

      Sahih Bukhari 7.18:
      Diriwayatkan ‘Ursa: Nabi meminta kepada Abu Bakr untuk menikahi Aisha. Abu Bakr berkata, “Tetapi sayakan saudaramu”. Nabi berkata, “ Engkau memang saudaraku dalam agama Allah dan Kitab-Nya, tetapi dia (Aisha) dibolehkan oleh hukum untuk kunikahi”.

      Bangsa Arab adalah primitif. Namun mereka mempunyai kode etik yang mereka junjung tinggi. Misalnya, sekalipun mereka katakanlah berperang sepanjang tahun, namun pada bulan-bulan suci tertentu mereka meniadakan permusuhan.

      Mereka juga menganggap Mekah sebagai kota suci dan tidak melakukan perang terhadap kota tersebut.

      Istri dari anak angkat juga dianggap sebagai menantu perempuan yang tidak boleh dinikahi. Juga merupakan istiadat bahwa teman-teman dekat membuat persekutuan persaudaraan dan ini mengikat sesama mereka sebagai saudara sungguhan. Namun Sang Nabi menyingkirkan setiap aturan ini manakala aturan tersebut menghalangi minat dan kepentingan-kepentingannya.

      Abu Bakr dan Muhammad telah bersumpah satu terhadap lainnya sebagai saudara. Jadi sesuai dengan adat mereka, Aisha adalah keponakan Muhammad. Namun hal ini tidak menghentikan dia untuk melamar kepada ayah dari anak gadis itu, bahkan ketika anak tersebut masih berumur 6 tahun!

      Jeleknya, Nabi yang bermoral ganda itu memakai alasan yang sama untuk menolak seorang perempuan yang tidak disukainya,

      Sahih Bukhari V7, B62, N37:
      Diriwayatkan oleh Ibn Abbas: Dikatakan kepada Nabi, “Apakah engkau tidak mau menikahi puteri Hamza?” Ia berkata, “Dia itu keponakan angkatku (puteri sesama saudara)”.

      Hamza adalah paman (separuh paman) dari Muhammad. Dalam Islam, menikahi keponakan pertama diperbolehkan. Muhammad menolak menikahi anak perempuan Hamza bukan atas dasar bahwa Hamza adalah pamannya, melainkan dengan alasan bahwa Hamza adalah saudara angkatnya. Abu Bakr juga adalah saudara angkat dari Muhammad.

      Jadi apanya yang berbeda? Bedanya bukan pada alasan mulut Nabi, tetapi karena Aisha adalah gadis kecil manis sedangkan puteri Hamza lebih tua dan kalah cantik.

      Moral-ganda dari Muhammad lebih jauh menjadi bukti nyata lanjutan dari hadis ini,

      Diriwayatkan Aisha, Ummul Mu’minin:

      Nabi (saw) berkata: Apa yang diharamkan oleh alasan hubungan darah adalah juga diharamkan oleh alasan hubungan (persaudaraan) angkat.

      Dalam Hadis berikut, Nabi yang mengangkat dirinya sendiri telah mengaku kepada Aisha, bahwa ia telah memimpikan dirinya (Aisha),

      Sahih Bukhari 9.140:

      Diriwayatkan Aisha: Rasul Allah berkata kepadaku, “Engkau telah diperlihatkan kepadaku dua kali (dalam mimpiku) sebelum aku menikahimu. Aku melihat seorang malaikat membawamu dalam sepotong kain sutera, dan aku berkata kepadanya,”Singkapkan (dia)”, dan benar itu adalah engkau. Aku berkata (pada diriku), “Bila ini dari Allah, maka hal itu harus terjadi.

      Apakah Muhammad betul-betul bermimpi demikian ataukah ia berbohong, itu bukanlah hal yang mau dipersoalkan disini. Mimpi hanyalah ungkapan-ungkapan dari bawah sadar kita sendiri dan bukan pesan-pesan dari alam dunia roh. Ini menunjukkan bahwa Aisha pasti masih dalam keadaan bayi yang diusung oleh malaikat pada saat Muhammad telah menggairahi dirinya.

      Ada banyak Hadis yang secara eksplisit mengungkapkan umur Aisha pada waktu nikahnya.

      Sahih Bukhari 5.236.
      Diriwayatkan oleh ayah Hisham:
      Khadijah wafat 3 tahun sebelum Nabi hijrah ke Medina. Ia (Muhammad) tinggal disana sekira 2 tahunan lalu menikahi Aisha gadis yang berumur 6 tahun, dan beliau berhubungan (suami-istri) ketika ia berumur 9 tahun.

      Sahih Bukhari 5.234.

      Diriwayatkan Aisha:

      Nabi melamar saya ketika saya berumur 6 (tahun). Kami pergi ke Medina dan tinggal dirumahnya Bani-al-Harith bin Khazraj. Kemudian saya sakit dan rambutku rontok. Kemudian rambutku tumbuh (kembali) dan ibuku, Um Ruman, datang menghampiriku ketika saya sedang bermain ayunan dengan beberapa teman-teman puteriku. Dia (ibu) memanggilku dan saya datang kepadanya, tanpa tahu apa yang hendak dilakukannya terhadapku. Dia menarik tanganku dan menempatkan diriku dipintu rumah. Nafasku terengah-engah jadinya, dan ketika nafas kembali biasa, ia mengambil air dan menyekakan muka dan kepalaku. Kemudian ia membawa saya masuk ke rumah. Disitu saya melihat beberapa perempuan Ansari yang berkata, “Selamat dan berkat Allah”. Maka iapun menyerahkan saya kepada mereka dan merekapun mempersiapkan saya (untuk menikah). Diluar sangkaan, Rasul Allah datang kepada saya pada siangnya lalu ibuku menyerahkan saya kepadanya, dan saat itu aku adalah gadis dengan umur 9 tahun.

      Sunan Abu Dawud, Buku 41, Nomor 4915, juga No.4916 dan 4917
      Diriwayatkan Aisha, Ummul Mu’minin:

      Rasul Allah (saw) menikahi saya tatkala saya berumur 7 atau 6. Ketika kami sampai di Medina, beberapa perempuan datang. (versi Bishr: Umm Ruman datang kepada saya ketika saya sedang main ayunan.

      Mereka mengambil saya, mempersiapkan saya dan menghiasi saya. Lalu saya dibawa kepada Rasul Allah (saw), dan dia menyetubuhi saya ketika saya berumur 9. Dia menghentikan saya di pintu, dan saya tertawa terbahak.

      Dalam Hadis diatas kita membaca bahwa Aisha sedang bermain ayunan, ketika ia hendak dibawa ke rumah Muhammad, yang mana membuktikan tidak adanya kesalahan bahwa ia betul masih seorang anak kecil.

      Aisha begitu kecil sehingga ia tidak mempunyai pengetahuan tentang perkawinan dan seks ketika Muhammad menghampirinya secara mengagetkan.

      Sahih Bukhari, vol.7, buku 62, no. 90

      Diriwayatkan oleh Aisha:

      “Ketika Nabi menikahi saya, ibu saya datang pada saya dan membawa saya masuk ke rumah (rumah Sang Nabi) dan tidak suatupun yang mengagetkan saya kecuali datangnya Rasul Allah menghampiri saya di pagi hari. Ini pastilah suatu hal yang sangat mengagetkan!”

      Hadis berikut ini mendemonstrasikan bahwa ia hanyalah seorang anak kecil yang sedang bermain dengan boneka-bonekanya.

      Perhatikan apa yang ditulis oleh penafsir dalam tanda kurung (ia adalah gadis kecil, belum mencapai umur pubertas).

      Sahih Bukhari, vol.8, buku 73, no. 151

      Diriwayatkan oleh Aisha:

      “Saya biasa bermain dengan boneka-boneka di tengah kehadiran Nabi, dan gadis-gadis temanku juga biasa bermain dengan saya.

      Ketika Rasul Allah masuk seperti biasanya (tempat tinggal saya), mereka (teman-teman saya) biasanya menyembunyikan diri mereka, namun Nabi memanggil mereka untuk bergabung dan bermain dengan saya.

      (Bermain dengan boneka-boneka dan barang-barang yang sejenis adalah terlarang, tetapi itu diizinkan untuk Aisha pada waktu itu, karena ia masih seorang gadis kecil, belum mencapai umur pubertas). (Fateh-al-Bari hlm 143, vol.13)

      Sahih Muslim, buku 008, no. 3311

      “Aisha (ra) melaporkan bahwa Rasul Allah (saw) mengawininya ketika ia berumur 7 tahun, dan ia dibawa ke rumahnya sebagai mempelai wanita ketika ia berumur 9 tahun, dan boneka-bonekanya menyertainya; dan ketika beliau (Nabi Suci) meninggal, ia (Aisha) berumur 18 tahun.”

      Muhammad meninggal ketika berumur 63 tahun. Dengan demikian ia tentu telah mengawini Aisha ketika berumur 51 tahun dan menghampirinya tatkala berumur 54 tahun (karena mereka hidup bersama serumah selama 9 tahun).

      Muhammad mempunyai banyak istri dan selir, namun tidak satupun diantara mereka yang dicintainya. Gadis-gadis muda ini hanyalah mainan seksnya. Yang sungguh-sungguh dicintai Muhammad adalah Khadijah. Jikalau Anda ingin mengetahui alasannya, maka Anda harus membaca buku saya: UNDERSTANDING MUHAMMAD: PSYCHOBIOGRAPHY OF ALLAH’S PROPHET (sudah ada terjemahan bahasa Indonesianya: Mengenal Muhammad, Sebuah Psychobiography dari Nabi Allah)

      Hubungan Muhammad dan Khadijah bukan berdasarkan cinta, melainkan saling ketergantungan.Kedua individu ini saling membutuhkan dan kedua-duanya manusia-sakit

      • Stain Remover 4:15 pm on 26/07/2012 Permalink | Reply

        @wikki
        lagi-lagi tidak melihat dari kepercayaan-nya sendiri, bahwa ibunya tuhan yang abg kawin dengan duda yang telah jadi fosil :

        Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” (Matius 7:5)

        …Mary, then twelve to fourteen years of age. Joseph, who was at the time ninety years old, went up to Jerusalem among the candidates; a miracle manifested the choice God had made of Joseph…

        http://www.newadvent.org/cathen/08504a.htm

        • camar 5:20 pm on 27/07/2012 Permalink | Reply

          itu sudah basi kawan tapi setidak tidaknya dia tidak pedhofilia.tidak membunuh tidak merampok tidak memerkosa.tidak jahat.lihat nabimu hanya seputar wahyu bagian bawah perut diatas lutut itu itu saja wahyunya bahkan sampai sorga yang berisi 72 bidadari yang perawan setiap hari

        • Stain Remover 2:54 pm on 28/07/2012 Permalink | Reply

          @camar

          masa sih ibunya Tuhan jadi korban pedofil, mending masih muda ini sudah tuan renta dan duda pula…hehehe

          Dan tidak ada situs “kristen” yang membantah hal tersebut, bahkan dipraktekkan oleh pendeta Jeff yang menyatakan bahwa tindakan-nya adalah benar dan memang dalam bibel sendiri tidak ada batasan umur untuk itu :

          Jeffs divonis bersalah telah menikahi dua gadis ingusan dengan dalih ‘pernikahan rohani’ di pusat sekte Yearning for Zion (YFZ) Ranch di Texas pada 2008. Salah satu korban saat itu baru berusia 15 tahun.

          Pria berusia 55 tahun tersebut juga terbukti melakukan hubungan seks dengan anak-anak berusia 12 dan 14 tahun di Texas, Amerika Serikat (AS).

          Bukti lain adalah hasil temuan seorang ahli forensik. Menurutnya, hampir seluruh DNA Jeffs ditemukan di dalam tubuh seorang anak, bayi dari seorang ibu berusia 15 tahun.
          Pengadilan Kamis (4/8/2011) itu berlangsung cukup cepat.

          Hakim hanya membutuhkan waktu tiga jam untuk menentukan vonis bersalah terhadap pendeta penganut paham poligami ini. Pemimpin spiritual gereja fundamentalis Jesus Christ of Latter Day Saints (Gereja Fundamentalis Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir) ini dihadapkan pada ancaman penjara 119 tahun.

          Tanpa didampingi pengacara selama persidangan, dalam pembelaannya, Jeffs berkukuh bahwa praktik poligaminya adalah legal secara spiritual. Dia bahkan balik mengancam pihak pengadilan yang meneruskan kasusnya.

          http://globalkhilafah.blogspot.com/2011/08/zinahi-bocah-ingusan-nabi-gereja-yesus.html

          • camar 5:44 pm on 28/07/2012 Permalink | Reply

            yang kita bicarakan adala seorang nabi yang tega mengawini seorang perempuan yang umurnya masih 6 tahun dan pada saat usia 9 tahun dibawa ke ranjang nya apa anak ini sudah mengerti dengan yang terjadi ????padahal dia masih bermain main denga bonekanya tiba tiba diseret ke tempat tidur..coba bayangkan adik atau anak anda diperlakukan seperti itu apakah saudara rela //???.diatas saudara memelintir ke seorang pendeta ..ingat itu tidak tetulis dalam kitab. apakah dengan meberi tahukan kelakuan pendeta itu maka kelakuan nabi kita ini akan dibenarkan????

      • SERBUIFF 11:34 pm on 26/07/2012 Permalink | Reply

        TULISAN SAMPAH LAGI NIH…

        • camar 3:25 am on 28/07/2012 Permalink | Reply

          buktikan kalau pernyataan diatas tidak pernah terjadi.

          • Stain Remover 3:01 pm on 28/07/2012 Permalink | Reply

            @camar

            Kamu perhatikan ya, biar jelas :

            Aisyah adalah satu-satunya istri Muhammad yang masih gadis pada saat dinikahi. Aisyah dinikahkan pada tahun 620 M. Akad nikah diadakan di Mekkah sebelum Hijrah, tetapi setelah wafatnya Khadijah dan setelah Muhammad menikah dengan Saudah. Upacara dilakukan oleh ayahnya Abu Bakar dengan maskawin 400 dirham.

            Yang dibold adalah petunjuk untuk mengetahui kebenaran usia Aisyah :

            Menurut Tabari, keempat anak Abu Bakar (termasuk Aisyah) dilahirkan oleh istrinya pada zaman Jahiliyah, artinya sebelum 610 M. Apabila Aisyah dinikahkan sebelum 620 M, maka ia dinikahkan pada umur di atas 10 tahun dan hidup sebagai suami-istri dengan Muhammad dalam umur di atas 13 tahun.

            Menurut Abd alRahman bin Abi Zannad: “Asmah 10 tahun lebih tua dari Aisyah.” Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Asmah hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriyah.

            Apabila Asmah meninggal dalam usia 100 tahun dan meninggal dalam tahun 73 atau 74 Hijriyah, maka Asma berumur 27 atau 28 tahun pada waktu Hijrah, sehingga Aisyah berumur (27 atau 28) – 10 = 17 atau 18 tahun pada waktu Hijrah.

            Itu berarti Aisyah mulai hidup berumah tangga dengan Muhammad pada waktu berumur 19 atau 20 tahun.

            • camar 6:05 pm on 28/07/2012 Permalink | Reply

              Sahih Muslim, buku 008, no.3310:
              Aisha (ra) melaporkan: Rasul Allah (saw) mengawini saya ketika saya berumur 6 tahun, dan saya masuk ke rumahnya saat saya berumur 9 tahun.

              Sahih Bukhari, vol.7, buku 62, no.64:
              Diriwayatkan Aisha: bahwa Nabi mengawininya ketika ia berumur 6 tahun dan ia (Muhammad) menggenapkan nikahnya tatkala ia berumur 9 tahun, lalu tinggal bersama-sama dengannya untuk 9 tahun (yaitu, hingga wafatnya).

              Sahih Bukhari, vol.7, buku 62, no.65:
              Diriwayatkan Aisha: bahwa Nabi mengawininya ketika ia berumur 6 tahun dan ia (Muhammad) menggenapkan nikahnya tatkala ia berumur 9 tahun. Hisham berkata: Saya telah diberitahu bahwa Aisha tinggal bersama-sama dengan Nabi selama 9 tahun (yaitu, hingga wafatnya). Apa yang engkau ketahui tentang Quran (hafal)’

              Sahih Bukhari, vol.7, buku 62, no 88:
              Diriwayatkan ‘Ursa: Nabi menuliskan (kontrak perkawinan) dengan Aisha tatkala ia berumur 6 tahun dan menggenapi nikahnya dengan dia ketika ia berusia 9 tahun dan ia tinggal bersama dengan beliau selama 9 tahun (sampai ajalnya).

              Sebagian Muslim berkata bahwa Abu Bakr-lah yang mendekati Muhammad dan meminta beliau untuk menikahi puterinya. Tentu ini tidak betul.

              Sahih Bukhari 7.18:
              Diriwayatkan ‘Ursa: Nabi meminta kepada Abu Bakr untuk menikahi Aisha. Abu Bakr berkata, “Tetapi sayakan saudaramu”. Nabi berkata, “ Engkau memang saudaraku dalam agama Allah dan Kitab-Nya, tetapi dia (Aisha) dibolehkan oleh hukum untuk kunikahi”.Diriwayatkan Aisha: Rasul Allah berkata kepadaku, “Engkau telah diperlihatkan kepadaku dua kali (dalam mimpiku) sebelum aku menikahimu. Aku melihat seorang malaikat membawamu dalam sepotong kain sutera, dan aku berkata kepadanya,”Singkapkan (dia)”, dan benar itu adalah engkau. Aku berkata (pada diriku), “Bila ini dari Allah, maka hal itu harus terjadi.Sahih Bukhari 5.236.
              Diriwayatkan oleh ayah Hisham:
              Khadijah wafat 3 tahun sebelum Nabi hijrah ke Medina. Ia (Muhammad) tinggal disana sekira 2 tahunan lalu menikahi Aisha gadis yang berumur 6 tahun, dan beliau berhubungan (suami-istri) ketika ia berumur 9 tahun.

              Sahih Bukhari 5.234.

              Diriwayatkan Aisha:

              Nabi melamar saya ketika saya berumur 6 (tahun). Kami pergi ke Medina dan tinggal dirumahnya Bani-al-Harith bin Khazraj. Kemudian saya sakit dan rambutku rontok. Kemudian rambutku tumbuh (kembali) dan ibuku, Um Ruman, datang menghampiriku ketika saya sedang bermain ayunan dengan beberapa teman-teman puteriku. Dia (ibu) memanggilku dan saya datang kepadanya, tanpa tahu apa yang hendak dilakukannya terhadapku. Dia menarik tanganku dan menempatkan diriku dipintu rumah. Nafasku terengah-engah jadinya, dan ketika nafas kembali biasa, ia mengambil air dan menyekakan muka dan kepalaku. Kemudian ia membawa saya masuk ke rumah. Disitu saya melihat beberapa perempuan Ansari yang berkata, “Selamat dan berkat Allah”. Maka iapun menyerahkan saya kepada mereka dan merekapun mempersiapkan saya (untuk menikah). Diluar sangkaan, Rasul Allah datang kepada saya pada siangnya lalu ibuku menyerahkan saya kepadanya, dan saat itu aku adalah gadis dengan umur 9 tahun.

              Sunan Abu Dawud, Buku 41, Nomor 4915, juga No.4916 dan 4917
              Diriwayatkan Aisha, Ummul Mu’minin:

              Rasul Allah (saw) menikahi saya tatkala saya berumur 7 atau 6. Ketika kami sampai di Medina, beberapa perempuan datang. (versi Bishr: Umm Ruman datang kepada saya ketika saya sedang main ayunan.Mereka mengambil saya, mempersiapkan saya dan menghiasi saya. Lalu saya dibawa kepada Rasul Allah (saw), dan dia menyetubuhi saya ketika saya berumur 9. Dia menghentikan saya di pintu, dan saya tertawa terbahak.

              Dalam Hadis diatas kita membaca bahwa Aisha sedang bermain ayunan, ketika ia hendak dibawa ke rumah Muhammad, yang mana membuktikan tidak adanya kesalahan bahwa ia betul masih seorang anak kecil.

              Aisha begitu kecil sehingga ia tidak mempunyai pengetahuan tentang perkawinan dan seks ketika Muhammad menghampirinya secara mengagetkan.

              Sahih Bukhari, vol.7, buku 62, no. 90

              Diriwayatkan oleh Aisha:

              “Ketika Nabi menikahi saya, ibu saya datang pada saya dan membawa saya masuk ke rumah (rumah Sang Nabi) dan tidak suatupun yang mengagetkan saya kecuali datangnya Rasul Allah menghampiri saya di pagi hari. Ini pastilah suatu hal yang sangat mengagetkan!”

              Hadis berikut ini mendemonstrasikan bahwa ia hanyalah seorang anak kecil yang sedang bermain dengan boneka-bonekanya.

              Perhatikan apa yang ditulis oleh penafsir dalam tanda kurung (ia adalah gadis kecil, belum mencapai umur pubertas).

              Sahih Bukhari, vol.8, buku 73, no. 151

              Diriwayatkan oleh Aisha:

              “Saya biasa bermain dengan boneka-boneka di tengah kehadiran Nabi, dan gadis-gadis temanku juga biasa bermain dengan saya.

              Ketika Rasul Allah masuk seperti biasanya (tempat tinggal saya), mereka (teman-teman saya) biasanya menyembunyikan diri mereka, namun Nabi memanggil mereka untuk bergabung dan bermain dengan saya.

              (Bermain dengan boneka-boneka dan barang-barang yang sejenis adalah terlarang, tetapi itu diizinkan untuk Aisha pada waktu itu, karena ia masih seorang gadis kecil, belum mencapai umur pubertas). (Fateh-al-Bari hlm 143, vol.13)

              Sahih Muslim, buku 008, no. 3311

              “Aisha (ra) melaporkan bahwa Rasul Allah (saw) mengawininya ketika ia berumur 7 tahun, dan ia dibawa ke rumahnya sebagai mempelai wanita ketika ia berumur 9 tahun, dan boneka-bonekanya menyertainya; dan ketika beliau (Nabi Suci) meninggal, ia (Aisha) berumur 18 tahun.”

              Muhammad meninggal ketika berumur 63 tahun. Dengan demikian ia tentu telah mengawini Aisha ketika berumur 51 tahun dan menghampirinya tatkala berumur 54 tahun (karena mereka hidup bersama serumah selama 9 tahun).

              Muhammad mempunyai banyak istri dan selir, namun tidak satupun diantara mereka yang dicintainya. Gadis-gadis muda ini hanyalah mainan seksnya. Yang sungguh-sungguh dicintai Muhammad adalah Khadijah. Jikalau Anda ingin mengetahui alasannya, maka Anda harus membaca buku saya: UNDERSTANDING MUHAMMAD: PSYCHOBIOGRAPHY OF ALLAH’S PROPHET (sudah ada terjemahan bahasa Indonesianya: Mengenal Muhammad, Sebuah Psychobiography dari Nabi Allah)Khadijah meninggal bulan Desember 619 M, 2 tahun sebelum Hijrah. Tatkala itu Muhammad berumur 51 tahun. Kemudian Muhammad mengawini Aisha dan membawanya ke ranjang 3 tahun sesudahnya.

              Muslim tidak malu terhadap kenyataan, bahwa Nabi mereka adalah seorang PEDOFIL, tetapi sebaliknya merasa rikuh bila ada beberapa Muslim diantaranya yang mengklaim bahwa Aisha lebih tua, katakanlah 16 atau 18 tahun, ketika menikahi Muhammad. Klaim ini tidak benar. Aisha berkata bahwa selama yang dapat dia ingat kedua orangtuanya adalah selalu Muslim.

              Sahih Bukhari, vol.5, buku 58, no.245
              Diriwayatkan Aisha:
              (Istri Nabi) saya tak pernah ingat orang-tuaku ada percaya pada agama manapun kecuali agama yang benar (yaitu Islam).

              Jadi jikalau Aisha berumur lebih tua, maka dia pasti akan ingat agama dari orangtuanya sebelum mereka menjadi Muslim.

              Sekarang orang masih akan mengklaim bahwa semua Hadis ini adalah bohong. Muslim bebas mengatakan apapun yang mereka inginkan. Tetapi kebenaran adalah jelas ibarat matahari bagi mereka yang mempunyai mata untuk melihatnya.Apa perlunya begitu banyak Muslim-taat yang justru mengarang banyak Hadis palsu tentang umur Aisha, demi membuat Nabi mereka tampak seperti pedofil? Hadis-hadis semacam ini tidak dapat dipungkiri.Orang-orang Kristen percaya kelahiran Kristus adalah mujizat, dan orang-orang Yahudi percaya bahwa Musa menyibakkan Laut Merah. Semua orang yang percaya ingin mendengar kisah-kisah mujizat tentang Nabi mereka bahkan sekalipun hal itu tidak benar. Namun tidak ada seorangpun yang akan merancang kebohongan untuk menggambarkan Nabi nya sebagai seorang yang jahad. Jadi jikalau kisah-kisah jahat demikian telah diceritakan banyak orang dari kalangan sendiri, maka kisah itu pastilah benar.Situs Islamonline.com menerangkan: “Perlu diperhatikan bahwa di daerah yang berhawa panas, maka adalah normal bagi seorang gadis cilik mendapatkan kedewasaannya pada umur yang masih sangat muda.” Lalu membenarkan bahwa pernikahan Muhammad adalah untuk mempererat persekutuan politik dengan orangtua gadis beserta suku-suku nya. Ini adalah nonsense yang membodohi.
              Bukankah Muhammad menikahi Safiyah setelah ia memenggal kepala ayah Safiyah, menyiksa hingga mati suaminya (Kinana) dan membantai seluruh sukunya?

              Bukankah Muhammad menikahi Juwariyah setelah menyerang orang-orangnya, membunuh secara massal para lelakinya, dan merampok kekayaan mereka dan mengambil perempuan-perempuan serta anak-anak sebagai budak?

              Bukankah dia juga mengambil Rayhana, gadis Yahudi umur 15 tahun dari bani Quraiza setelah membantai semua laki-laki termasuk anak-anak laki-laki yang telah mencapai pubertas? Jadi dengan siapakah Muhammad hendak membuat persekutuan?Ini semua menunjukkan bahwa pada zaman tersebut angka-angka tidak berarti banyak. Lebih mungkin bahwa orang-orang membuat kesalahan terhadap tanggal dan tahun dari peristiwa-peristiwa tertentu. Laporan-laporan tentang usia muda Aisha adalah konsisten dengan kisah-kisah kanak-kanaknya, seperti bermain-main dengan bonekanya, ayunannya, teman-teman ciliknya bersembunyi ketika Muhammad memasuki ruangan, Nabi bermain-main dengan dia, ketidak-tahuannya tentang seks dan “kekagetannya” ketika Muhammad menghampirinya. Semua ini menegaskan bahwa dia adalah gadis cilik.

              • Stain Remover 4:01 pm on 29/07/2012 Permalink | Reply

                @camar

                dibaca dong neng yang diatas…

                • camar 11:28 am on 30/07/2012 Permalink | Reply

                  Sahih Muslim, buku 008, no. 3311

                  “Aisha (ra) melaporkan bahwa Rasul Allah (saw) mengawininya ketika ia berumur 7 tahun, dan ia dibawa ke rumahnya sebagai mempelai wanita ketika ia berumur 9 tahun, dan boneka-bonekanya menyertainya; dan ketika beliau (Nabi Suci) meninggal, ia (Aisha) berumur 18 tahun.”

                  Muhammad meninggal ketika berumur 63 tahun. Dengan demikian ia tentu telah mengawini Aisha ketika berumur 51 tahun dan menghampirinya tatkala berumur 54 tahun (karena mereka hidup bersama serumah selama 9 tahun).

                  • Stain Remover 5:06 pm on 30/07/2012 Permalink | Reply

                    @camar

                    Yang diatas dibaca dulu mengenai kronologisnya…

    • camar 11:45 am on 31/07/2012 Permalink | Reply

      masih menyangkal ini bukti bukti ini diambil dari tulisan para penulis yangsahih..malu ya mengaku nggak usah malu aku akan rahasiakan…..

    • Stain Remover 4:43 pm on 31/07/2012 Permalink | Reply

      @camar

      Kamu sudah baca tulisan diatas tidak yang telah membantahnya, belum. Kalau ibu tuhan yang ABG dan kemudian kawin dengan fosil manusia (kakek tua renta yang duda dan telah berusia 90 tahun) tidak ada sumber lain yang bisa membantahnya.

      • wikki 5:33 pm on 25/08/2012 Permalink | Reply

        muhammad meninggal pada saat aisyah beumur 18 tahun pernikahan aisyah berlangsung selama 9 tahun berarti aisyah menikah pada umur 9 tahun

    • tarwi wulur 8:50 pm on 03/01/2013 Permalink | Reply

      artinya banyak hadits yang memberikan informasi yang berbeda, dan bgtu banyak pilihan, maka otomatis kita tdk bisa menentukan mana yang paling benar,,
      kesimpulannya..1. gnakan pilihan hadits yang masuk logika, karena dalam islam agama adlh akal. 2. kalau tdak tau seluk beluk islam jangan sok tau….

    • luk sosial 6:54 am on 04/01/2013 Permalink | Reply

      Bukan cuma Hadits saja yg banyak perbedaan dan rancuh, quran juga demikian .Justru kalau pake AKAL SEHAT maka akan kelihatan sekali HOAX dalam quran dan hadits , kecuali kalau anda pake “AKAL TIDAK SEHAT” baru akan cocok.

      • melly 6:36 am on 11/04/2013 Permalink | Reply

        lha bibelmu juga jelas hoax…cocok buat dongeng anak2 menjelang tidur (kebagusan kali buat dongeng, mestinya buat ganjel pintu aja)
        dan pengikutnya ho oh aja….macam kamu. kadang aku heran kok bisa idiotnya ya pengikutnya bibile ini macam kambing di rumah aku.

    • STEFANUS LIM 12:15 pm on 06/01/2013 Permalink | Reply

      YESUS NYEMBAH TUHAN YAHUDI DI TEMBOK RATAPAN.

      http://www.google.com/search?q=PAUS+DI+DEPAN+TEMBOK+RATAPAN&sugexp=chrome,mod%3D14&um=1&ie=UTF-8&hl=en&tbm=isch&source=og&sa=N&tab=wi&ei=gGrpUL2XLMyakgWnpYGYDA&biw=1366&bih=668&sei=hWrpUOGAKsPRkQXtvIGYAw

      PAUS DITANYA YESUS KETIKA DIA NYEMBAH YAHWEH TUHAN YAHUDI DI TEMBOK RATAPAN.
      YESUS:” HAI PAUS NGAPAIN NYEMBAH YAHWEH TUHAN YAHUDI APA SUDAH BOSAN NYEMBAH AKU DITIANG SALIB?”
      PAUS:”MAAF TUAN YESUS, ANDA KAN ANAK JADI AKU PIKIR SEBAIKNYA AKU NYEMBAH BAPAK SAJA.”
      YESUS:’LHO KAGAK BISA BEGITU’.
      PAUS:”MEMANGNYA KENAPA”
      YESUS”HEI AKU KAN MATI UNTUK KAMU, UNTUK NEBUS DOSA KAMU TAHU NGGA, JADI KAMU HARUS NYEMBAH AKU?’
      PAUS:TUAN YESUS.KALO AKU NYEMBAH BAPAK KAMU ITUKAN PERINTAH KAMU SENDIRI.YANG SURUH HANYA NYEMBAH DIA., KALO AKU NYEMBAH KAMU ITUKAN BUKAN KATA KAMU ITUKAN KATA ORANG2 YANG BUNUH KAMU.BETUL NGGA??
      YESUS:’BETUL, PINTER JUGA KAMU YAH., HANYA ORANG TOLOL NYEMBAH AKU.

    • luk sosial 4:48 pm on 06/01/2013 Permalink | Reply

      Kenapa saudara SL… sudah kehabisan bahan ka untuk membelah kebohongan quran??? sudahlah anda tidak bisa terus menerus menutupi sesuatu yang busuk. pasti akan tercium juga

      • melly 6:38 am on 11/04/2013 Permalink | Reply

        ya mungkin akan tercium jika sudah ketahuan busuknya. lha bibelmu itu sudah jelas2 tercium dan terlihat dg mata busuknya kok masih aja diembat dan dipercaya, itu apa gak kebablasan bodohnya kalian?

      • melly 6:40 am on 11/04/2013 Permalink | Reply

        luk…luk…opo kamu itu lukkk…bisanya cuma menghujat agama orang, agamamu dewe dihujat juga gak sanggup kau bela. kau bela juga jawabannya macam orang sakit jiwa gak nyambung blasssssssssss……

    • lim bho tak 7:05 am on 08/01/2013 Permalink | Reply

      yesus ngga makan babi umatnya makan babi, artinya mereka kafir sama sabda yesusnya.buah sabda malah dihina lagi setelah jadi kotoran mereka kencingi lagi,padahal pajoh babi dilarang , makanya pendeta2 pinter seperti yahya waloni masuk islam.jadi makan babi ajaran siapa?setan?ha ha ha

    • lim bho tak 10:39 am on 11/04/2013 Permalink | Reply

      @Prof Doktor Stepenth Cong.
      jujurlah

      Anda tahu bahwa orang sekaliber einstein tetap tak bisa lari dari hukum Allah.
      orang 2 islam telah menemukan hukum ketetapan massa dan lainnya dalam Quran

      S U R A T A L – A H Z A B

      33:62. Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.

      S U R A T A L – F A T H

      48:23. Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunatullah itu.

      yang tidak dan perubahan dan pergantian dalam sunnatullah. air mendidih 100 derajat celsius, manusia tak bisa jadi kera , kera tak bisa jadi manusia (kecuali kalau Allah kehendaki)

      kristen katholik (barat)malah dibodohkan darwin dengan teori kera.

      jauh sebelum orang2 barat yang masih bau pesing serta gigi kuning.karena orang2 islam telah bersiwak hingga gigi mereka bersih dan kuat serta wangi badan dan pakaian untuk sholat menghadap Allah, karena begitulah ajaran Allah yang dibawa nabi Muhammad sangat bersih lahir dan batin.

      dalam al kitab kristen tuhan malah disuguhi bakaran lemak busuk isi perut bab dibakar dioles kemenyan.
      mana yang anda pilih sebagai tuhan??

      tuhannya orang islam atau tuhannya kristen katholik yahudi yahweh yang hina dina itu(kesukaan tuhan di imamat)

      sungguh mengherankan kristen katholik tetap dalam kebodohan dan ketololan sampai sekarang mereka menuhankan paulus pendusta dengan jalan mengikuti kata2 dustanya dikitab roma yang menghapus taurat, semua pada makan babi dan tidak sunat.

      bisakah anda membantah bahwa kristen katholik adalah penyembah paulus sebenarnya?

      anda bukan menyembah Allah seperti yang di perintahkan yesus ?sampai2 karena bebalnya bani israil pemberontak mereka menyembah setan.

      di matius yesus malah mendakwah iblis untuk hanya menyembah Allah.anda kok kafir sama yesus anda.kenapa anda ikuti kata2 paulus pendusta???

      coba jawab mana intelekual anda??jawab dengan al kitab bukan dengan kata2 bersayap.ok.

    • luk sosial 5:08 am on 18/04/2013 Permalink | Reply

      jauh sebelum orang2 barat yang masih bau pesing serta gigi kuning.karena orang2 islam telah bersiwak hingga gigi mereka bersih dan kuat serta wangi badan dan pakaian untuk sholat menghadap Allah, “karena begitulah ajaran Allah yang dibawa nabi Muhammad sangat bersih lahir dan batin.”
      seking bersihnya si mohammad sampe tidak sadar dan tidak mencium kalo ada bangkai binatang yang sudah berhari hari dibawah kolong ranjangnya, mungkin seking kebanyakan ML kali ya

      • melly 1:21 am on 19/04/2013 Permalink | Reply

        cuihh….komentar gak bermutu, gak intelek sama sekali. keliatan kualitas berdebat mu cukup memalukan kalangan kristen.

        • luk sosial 10:31 am on 19/04/2013 Permalink | Reply

          Kamu nda tau ka ada cerita seperti itu…makanya baca quran dan hadist itu dipahami artinya, jangan suara aja dikencangin tapi nda tau artinya…atau kalo kamu cukup intelek coba kau debat di forum murtadin FFI, biar orang banyak yang nilai seberapa intelek kamu ..jangan cuma jago kandang

          • melly 8:12 am on 22/04/2013 Permalink | Reply

            iya gak tahu luk , trus hubungannya apa’an yah antara islam mengajarkan kebersihan lahir dan batin dengan “seking bersihnya si mohammad sampe tidak sadar dan tidak mencium kalo ada bangkai binatang yang sudah berhari hari dibawah kolong ranjangnya, mungkin seking kebanyakan ML kali ya”

            logikanya kalo ngajarin bersih lahir batin masa ada bangkai binatang tidak tercium baunya, orang yang suka kebersihan jangakan bau bangkai, ada debu aja sudah risih. makin lama makin meracau macam abis nyimeng aja kau itu.

            • LIM BHO TAK 4:10 am on 27/04/2013 Permalink | Reply

              TOLOL BIN BODOH ALIAS OTAK KELEDAI BIN BLEGUK
              XIXIXIXIXI

              KRUUUUUK KRUUUUK KRUUUK KRUUK
              KRUUUUUK KRUUUUK KRUUUK KRUUUUK KRUUUK KRUUK KRUUK KRUUK KRUUUUUK KRUUUUK KRUUUK KRUUK
              KRUUUUUK KRUUUUK KRUUUK KRUUUUK KRUUUK KRUUK KRUUK KRUUK

              LHO MASIH BELUM TAU???ATAU MEMANG BUDEK???

              AGAMA UDAH DIAMBIL ALIH DARI ANGGUR ASAM DIBERIKAN PADA BANGSA ARAB
              DASAR MIRIS TOLOL

              YESAYA 5

              (7) Sebab kebun anggur TUHAN semesta alam ialah kaum Israel, dan orang Yehuda ialah tanam-tanaman kegemaran-Nya; dinanti-Nya keadilan, tetapi hanya ada kelaliman, dinanti-Nya kebenaran tetapi hanya ada keonaran. (7) Sebab kebun anggur TUHAN Yang Mahakuasa adalah umat Israel, dan orang-orang Yehuda adalah pohon anggur yang ditanam-Nya. Dari mereka Ia mengharapkan keadilan, tetapi hanya ada kelaliman. Ia harapkan mereka menegakkan kebenaran, tetapi hanya ada jeritan minta keadilan.

              SEBAB KEJAHATAN ISRAIL AGAMA DIBERIKAN PADA BANGSA ARAB KETURUNAN NABI IBRAHIM (PARAN)

              HABAKKUK 3
              3) Allah datang dari negeri Teman dan Yang Mahakudus dari pegunungan Paran. Sela. Keagungan-Nya menutupi segenap langit, dan bumipun penuh dengan pujian kepada-Nya.

              HANYA ISLAM BANGSA ARAB MENJELAJAH DUNIA.

              HABAKKUK 3

              12) Dalam kegeraman Engkau melangkah melintasi bumi, dalam murka Engkau menggasak bangsa-bangsa.

              TAK ADA BANGSA ISRAIL MENJELAJAH DUNIA MEREKA SEMUA TERJAJAH.
              AYAT INI UNTUK BANGSA ARAB(ISLAM)

            • luk sosial 3:03 am on 28/04/2013 Permalink | Reply

              Syukurla kalo kamu masih bisa pake logika yang diberikan Tuhan pada kamu, berarti kamu belum islam kaffa, untuk cerita bangkai di bawah kolong t4 tidur muhammad silahkan anda cari sendiri di hadist hitung hitung biar belajar agama sendiri juga, tapi pasti kamu akan bilang hadist itu dhoiff atau palsu dan tidak bisa dipercaya,seperti muslim pada umumnya, itu hak anda mau percaya atau tidak tapi hal positif, paling tidak andah mau belajar kritis dan mau mencari tau, bukan membeo apa yang dikatakan ustad

            • luk sosial 3:24 pm on 01/05/2013 Permalink | Reply

              udah ketemu tidak cerita soal bangkai di bawah kolong ranjang nabi elo ??

            • luk sosial 3:32 pm on 02/05/2013 Permalink | Reply

              ayo mbak melly…monggo di jawab, uda ketemu belum ceritanya ??? masa kafir yang harus kasi tau juga, kan malu ama atheis,Budhis dll

    • LIM BHO TAK 1:03 pm on 18/04/2013 Permalink | Reply

      olik Says:

      April 18, 2013 at 12:32 pm
      COBA RENUNGIN…. bacalah lukas 13:31-33

      APAKAH MUNGKIN TUHAN SEPERTI INI ” Tuhan ketakutan,,”” ?????? Pada saat Yesus ingin di bunuh oleh Herodes ,,, beliau ketakutan dan berkata ..::”” Aku harus meneruskan perjalananku, sebab tidaklah semestinya seorang “NABI ” dibunuh kalau tidak di Yerusalem.” (lukas:13:31-33) Teks ini menunjukkan bahwa Yesus adalah seorang Nabi dan sedang ketakutan yang ingin keluar daerah Yerusallem..

      ===================================
      @LIK YANG PINTER SMPAI SEKARANG POSTINGAN INI TAK BISA DIJAWAB PROF STEPENTH KONG DKK
      MATIUS BUAL ATAU LUKAS BUAL ATAU KEDUANYA BUAL

      ITULAH KEBODOHAN DAN KETOLOLAN PENYEMBAH YESUS.

      HERODES SUDAH MAMPUS WAKTU YESUS KECIL DI MATIUS 2 :15

      NAH DI LUKAS HERODES HIDUP LAGI, BAHKAN MAU BUNUH YESUS,
      HA HA HA HA SAMPAI YESUS KETAKUTAN SAMA ORANG YANG SUDAH MATI.
      HA HA HA YESUS TAKUUUUUUUT. SAMA ORANG MATI.

      HERODES SUDAH MAMPUS DI MATIUS KOK ADA AYAT LUKAS BILANG HERODES MASIH HIDUP

      AYO SIAPA YANG BUAL LAKAS ATAU MATIUS????
      PIKIR BAIK2 MAKANYA BACA JANGAN MAKAN DOGMA TERUS DI GEREJA CUMA DENGAN DOGMA BUALAN, LALU DENGAN BUALAN ITU ANAK ISTRI ANDA ANDA JERUMUSKAN KE NERAKA
      KEJAM SEKALI KALIAN.
      KEJAM DAN BODOH.
      XIXIXIXI

      INILAH AYAT2 BUALAN MATIUS BUAL ATAU LUKAS BUAL
      TOLONG PROF KONG JAWAB MANA YANG BENAR?

      MATIUS 2 (HERODES SUDAH MAMPUS WAKTU YESUS KECIL)

      13) Setelah orang-orang majus itu berangkat, nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia.”
      (14) Maka Yusufpun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir,
      (15) dan tinggal di sana hingga Herodes mati. Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: “Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku.”

      LUKAS 13 (HERODES MASIH HIDUP WAKTU YESUS JEJAKA TINGTING)

      (31) Pada waktu itu datanglah beberapa orang Farisi dan berkata kepada Yesus: “Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau.
      (32) Jawab Yesus kepada mereka: “Pergilah dan katakanlah kepada si serigala itu: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, pada hari ini dan besok, dan pada hari yang ketiga Aku akan selesai.
      (33) Tetapi hari ini dan besok dan lusa Aku harus meneruskan perjalanan-Ku, sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem.

    • luk sosial 5:04 am on 05/05/2013 Permalink | Reply

      Hoi Mba Melly ..Sudah Murtad ka ? .. Sudah mulai coba pakai logika yang diberi Tuhan ya ?..
      Selamat memasuki kehidupan yang merdeka dan bebas dari aturan syariah gila ciptaan nabi gila dari arab.

    • melly 1:29 am on 06/05/2013 Permalink | Reply

      males luk, ngeladeni kamu yg super gila.

      • luk sosial 5:52 am on 06/05/2013 Permalink | Reply

        Malas apa nda ada jawaban lagi ?? …ngomong2 sudah ketemu belum cerita bangkai di bawah kolong ranjang nabi palsu yang katanya bersih lahir batin ?

    • melly 2:29 am on 16/05/2013 Permalink | Reply

      kamu itu gak ada pertanyaan yg lebih bermutu tah?!?!? aku gak tertarik dengan cerita bangkai2 mu itu, wes jelas gak ada hubungannya dengan konteks kebersihan. lha lapo aku mesti cari2 ceritanya. buang2 waktu. kamu mau pake itu buat nyerang muhammad yo terserah. nek menurutku gak masuk akal bahan yg kamu pakai buat argumen. hehhhh….

    • luk sosial 12:58 pm on 18/05/2013 Permalink | Reply

      Masih banyak pertanyaan saya…tapi yang itu saja dulu dijawab…biar anda tidak pusing ..soalnya kebiasaan muslim kalo debat suka melebar kemana mana biar sesuatu yang tidak bisa dijawab jadi terabaiakan..itu suda siri ciri muslim

  • SERBUIFF 8:04 am on 12/09/2009 Permalink | Reply
    Tags: , ISTRI-ISTRI NABI MUHAMMAD, , PERNIKAHAN MUHAMMAD   

    ISTRI-ISTRI NABI MUHAMMAD 

    Pernikahan Muhammad

    Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

    Langsung ke: navigasi, cari

    Bagian dari artikel tentang
    Nabi Islam Muhammad



    Ibu-ibu dari orang-orang yang beriman (Arab: أمهات المؤمنين) adalah istilah Islam yang merupakan penyebutan kehormatan bagi istri-istri dari Nabi Muhammad. Muslim menggunakan istilah tersebut sebelum atau sesudah nama istri beliau. Istilah ini diambil dari ayat Quran, Surah Al-Ahzab ayat 6.

    Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka…

    Nabi Muhammad seringkali disebutkan menikah dengan 11 orang perempuan. Terdapat anggapan bahwa ia menikah dengan dua orang perempuan lainnya, tetapi diceraikannya sebelum mereka sempat bersama-sama.[rujukan?]

    Daftar isi

    [sembunyikan]

    // <![CDATA[//

    [sunting] Khadijah binti Khuwailid

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Khadijah binti Khuwailid

    Ia merupakan isteri Nabi Muhammad yang pertama. Sebelum menikah dengan Nabi, ia pernah menjadi isteri dari Atiq bin Abid dan Abu Halah bin Malik dan telah melahirkan empat orang anak, dua dengan suaminya yang bernama Atiq, yaitu Abdullah dan Jariyah, dan dua dengan suaminya Abu Halah yaitu Hindun dan Zainab.

    Berbagai riwayat memaparkan bahwa saat Muhammad s.a.w. menikah dengan Khadijah, umur Khadijah berusia 40 tahun sedangkan Nabi hanya berumur 25 tahun. Tetapi menurut Ibnu Katsir, seorang tokoh dalam bidang tafsir, hadis dan sejarah, mereka menikah dalam usia yang sebaya. Nabi Muhammad s.a.w. bersama dengannya sebagai suami isteri selama 25 tahun yaitu 15 tahun sebelum menerima wahyu pertama dan 10 tahun setelahnya hingga wafatnya Khadijah, kira-kira 3 tahun sebelum hijrah ke Madinah. Khadijah wafat saat ia berusia 50 tahun.

    Ia merupakan isteri nabi Muhammad s.a.w. yang tidak pernah dimadu, karena semua isterinya yang dimadu dinikahi setelah wafatnya Khadijah. Di samping itu, semua anak Nabi kecuali Ibrahim adalah anak kandung Khadijah.

    Maskawin dari nabi Muhammad s.a.w. sebanyak 20 bakrah dan upacara perkawinan diadakan oleh ayahnya Khuwailid. Riwayat lain menyatakan, upacara itu dilakukan oleh saudaranya Amr bin Khuwailid.

    Pernikahannya dengan Khadijah menghasilkan keturunan hanya enam orang, yaitu: Al Qosim, Zainab, Rukayah, Ummu Kultsum, Fatimah, dan Abdullah.

    Al Qosim mendapat julukan Abul Qosim, sedangkan Abdullah mempunyai julukan at Thoyib at Thohir yang berarti “Yang Bagus dan Lagi Suci”.

    [sunting] Saudah binti Zam’ah

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Saudah binti Zam’ah

    Nabi menikah dengan Saudah setelah wafatnya Khadijah dalam bulan itu juga.

    Saudah adalah seorang janda tua. Suami pertamanya ialah al-Sakran bin Amr. Saudah dan suaminya al-Sakran adalah di antara mereka yang pernah berhijrah ke Habsyah. Saat suaminya meninggal dunia setelah pulang dari Habsyah, maka Rasulullah telah mengambilnya menjadi isteri untuk memberi perlindungan kepadanya dan memberi penghargaan yang tinggi kepada suaminya.

    Acara pernikahan dilakukan oleh Salit bin Amr. Riwayat lain menyatakan upacara dilakukan oleh Abu Hatib bin Amr. Maskawinnya ialah 400 dirham. ???

    [sunting] Aisyah binti Abu Bakar

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Aisyah binti Abu Bakar

    Akad nikah diadakan di Mekkah sebelum Hijrah, tetapi setelah wafatnya Khadijah dan setelah nabi Muhammad menikah dengan Saudah. Ketika itu Aisyah berumur 6 tahun. Rasulullah tidak bersama dengannya sebagai suami isteri melainkan setelah berhijrah ke Madinah. Ketika itu, Aisyah berumur 9 tahun sementara nabi Muhammad berumur 53 tahun.

    Aisyah adalah satu-satunya isteri rasulullah yang masih gadis pada saat dinikahi. Saat itu Aisyah berumur 9. Upacara dilakukan oleh ayahnya Abu Bakar dengan maskawin 400 dirham.

    lebih jauh dapat dibaca di: https://erzal.wordpress.com/category/pernikahan-nabi-muhammad-dengan-siti-aisyah/

    [sunting] Hafshah binti Umar bin al-Khattab

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hafshah binti Umar

    Hafsah seorang janda. Suami pertamanya Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia saat Perang Badar. Ayahnya Umar meminta Abu Bakar menikah dengan Hafsah, tetapi Abu Bakar tidak menyatakan persetujuan apapun dan Umar mengadu kepada nabi Muhammad.

    Kemudia rasulullah mengambil Hafsah sebagai isteri.

    [sunting] Ummu Salamah

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ummu Salamah

    Salamah seorang janda tua mempunyai 4 anak dengan suami pertama yang bernama Abdullah bin Abd al-Asad. Suaminya syahid dalam Perang Uhud dan saudara sepupunya turut syahid pula dalam perang itu lalu nabi Muhammad melamarnya. Mulanya lamaran ditolak karena menyadari usia tuanya. Alasan umur turut digunakannya ketika menolak lamaran Abu Bakar dan Umar al Khattab.

    Lamaran kali kedua nabi Muhammad diterimanya dengan maskawin sebuah tilam, mangkuk dari sebuah pengisar tepung.

    [sunting] Ummu Habibah binti Abu Sufyan

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ummu Habibah

    Ummu Habibah seorang janda. Suami pertamanya Ubaidillah bin Jahsyin al-Asadiy. Ummu Habibah dan suaminya Ubaidullah pernah berhijrah ke Habsyah. Ubaidullah meninggal dunia ketika di rantau dan Ummu Habibah yang berada di Habsyah kehilangan tempat bergantung.

    Melalui al Najashi, nabi Muhammad melamar Ummu Habibah dan upacara pernikahan dilakukan oleh Khalid bin Said al-As dengan maskawin 400 dirham, dibayar oleh al Najashi bagi pihak nabi.

    [sunting] Juwairiyah (Barrah) binti Harits

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Juwairiyah binti Harits

    Ayah Juwairiyah ialah ketua kelompok Bani Mustaliq yang telah mengumpulkan bala tentaranya untuk memerangi nabi Muhammad dalam Perang al-Muraisi’.

    Setelah Bani al-Mustaliq tewas dan Barrah ditawan oleh Tsabit bin Qais bin al-Syammas al-Ansariy. Tsabit hendak dimukatabah dengan 9 tahil emas, dan Barrah pun mengadu kepada nabi.

    Rasulullah bersedia membayar mukatabah tersebut, kemudian menikahinya.

    [sunting] Shafiyah binti Huyay

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Shafiyah binti Huyay

    Shafiyah anak dari Huyay, ketua suku Bani Nadhir, yaitu salah satu Bani Israel yang berdiam di sekitar Madinah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya Kinanah bin al-Rabi telah tertawan. Dalam satu perundingan setelah dibebaskan, Safiyah memilih untuk menjadi isteri nabi Muhammad.

    [sunting] Zainab binti Jahsy

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zainab binti Jahsy

    Zainab merupakan isteri Zaid bin Haritsah, yang pernah menjadi budak dan kemudian menjadi anak angkat nabi Muhammad s.a.w. setelah dia dimerdekakan.

    Hubungan suami isteri antara Zainah dan Zaid tidak bahagia karena Zainab dari keturunan mulia, tidak mudah patuh dan tidak setaraf dengan Zaid. Zaid telah menceraikannya walaupun telah dinasihati oleh nabi Muhammad s.a.w. .

    Upacara pernikahan dilakukan oleh Abbas bin Abdul-Muththalib dengan maskawin 400 dirham, dibayar bagi pihak nabi Muhammad s.a.w.

    [sunting] Zainab binti Khuzaimah

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Zainab binti Khuzaimah

    Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia sewaktu nabi Muhammad s.a.w. masih hidup.

    [sunting] Maria al-Qibtiyyah

    !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Maria al-Qibtiyyah

    Mariah al-Qibthiyah ialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dari Mesir. Ia seorang mantan budak Nabi yang telah dinikahi dan satu-satunya pula yang dengannya Nabi memperoleh anak selain Khadijah yakni Ibrahim namun sayangnya meninggal dalam usia 4 tahun.

    [sunting] Referensi

    • Profesor Madya Dr. Ishak Mohd. Rejab, Rasulullah Sebagai Ketua Keluarga, Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia, 1988.

    ====================================================

    Isteri-isteri Nabi Muhammad s.a.w.

    Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.

    Lompat ke: pandu arah, gelintar

    Nabi Muhammad s.a.w. pernah berkahwin dengan 13 orang perempuan. Sebelas daripadanya pernah bersama dengan Baginda sebagai suami isteri, manakala dua daripadanya diceraikan sebelum mereka bersama.

    1. Khadijah bt. Khuwailid al-Asadiyah r.a
    2. Saudah bt. Zam’ah al-Amiriyah al Quraisiyah r.a
    3. Aisyah bt Abi Bakr r.a
    4. Hafsah bt. Umar bin al-Khattab r.a
    5. Ummu Salamah Hindun bt. Abi Umaiyah r.a
    6. Ummu Habibah Ramlah bt. Abi sufian r.a
    7. Juwairiyah ( Barrah ) bt. Harith
    8. Safiyah bt. Huyay
    9. Zainab bt. Jansyin
    10. Asma’ bt. al-Nu’man al-Kindiyah
    11. Umrah bt. Yazid al-Kilabiyah
    12. Zainab bin Khuzaimah
    13. Maria al-Qibtiyyah (Maria The Copt)

    Isi kandungan

    [sorok]

    // <![CDATA[//

    [sunting] Khadijah bt. Khuwailid al-Asadiyah r.a

    Beliau adalah merupakan isteri nabi Muhammad s.a.w. yang pertama. Sebelum berkahwin dengan baginda, beliau pernah menjadi isteri kepada Atiq bin Abid dan Abi Halah bin Malik dan telah mempunyai empat anak, dua dengan suaminya yang bernama Atiq, iaitu Abdullah dan Jariyah, dan dua dengan suaminya Abu Halah iaitu Hindun dan Zainab.

    Banyak kisah memaparkan bahawa sewaktu nabi Muhammad s.a.w. bernikah dengan Khadijah, umur Khadijah berusia 40 tahun sedangkan nabi Muhammad s.a.w. hanya berumur 25 tahun. Tetapi menurut Ibnu Kathir, seorang tokoh dalam bidang tafsir, hadis dan sejarah, mereka berkahwin dalam usia yang sebaya. Nabi Muhammad s.a.w. bersama dengannya sebagai suami isteri selama 25 tahun iaitu 15 tahun sebelum bithah dan 10 tahun selepasnya iaitu sehingga wafatnya Khadijah, kira-kira 3 tahun sebelum hijrah. Khadijah wafat semasa beliau berusia 50 tahun.

    Beliau merupakan isteri nabi Muhammad s.a.w. yang tidak pernah dimadukan kerana kesemua isterinya yang dimadukan adalah berlaku selepas daripada wafatnya Khadijah. Di samping itu, kesemua anak baginda kecuali Ibrahim adalah kandungannya.

    Mas kahwin daripada nabi Muhammad s.a.w. sebanyak 20 bakrah dan upacara perkahwinan diadakan oleh ayahnya Khuwailid. Riwayat lain menyatakan, upacara itu dilakukan oleh saudaranya Amr bin Khuwailid.

    [sunting] Anak-anak Rasulullah bersama Khadijah

    Diriwayatkan bahawa anak perempuan Nabi Muhammad SAW iaitu Fatimah Az-Zaharah telah berkahwin dengan Khalifah Saidina Ali bin Abi Talib.

    Kesemua ketiga – tiga anak lelaki Rasullullah telah meninggal dunia sejak kecil lagi.Tujuan Allah SWT mencabut semua nyawa anak lelaki Nabi adalah bagi mengelakkan supaya tiada lagi wujud Nabi dan Rasul yang baru sesudah Nabi Muhammad,hal ini kerana Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul yang terakhir diutuskan Allah sesudah Nabi Isa diatas muka bumi ini.Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul bagi seluruh umat alam buana dan semesta sehinggalah ke Hari kiamat.

    [sunting] Saudah bt. Zam’ah al-Amiriyah al Quraisiyah r.a

    Nabi Muhammad s.a.w. berkahwin dengan Saudah setelah wafatnya Khadijah 3 tahun. Saudah adalah seorang janda tua. Suami pertamanya ialah al-Sakran bin Amr. Saudah dan suaminya al-Sakran adalah di antara mereka yang pernah berhijrah ke Habsyah. Apabila suaminya meninggal dunia setelah pulang dari Habsyah, maka nabi Muhammad s.a.w. telah mengambilnya menjadi isteri untuk memberi perlindungan kepadanya dan memberi penilaian yang tinggi kepada suaminya.

    Acara perkahwinan dilakukan oleh Salit bin Amr. Riwayat lain menyatakan upacara dilakukan oleh Abu Hatib bin Amr. Mas kahwinnya ialah 400 dirham.

    [sunting] Aishah bt Abu Bakar

    Akad nikah diadakan di Mekah sebelum Hijrah, tetapi setelah wafatnya Khadijah dan setelah nabi Muhammad s.a.w. berkahwin dengan Saudah. Ketika itu Aisyah berumur 16 tahun. Rasulullah tidak bersama dengannya sebagai suami isteri melainkan setelah berhijrah ke Madinah. Ketika itu, Aisyah berumur 19 tahun sementara nabi Muhammad s.a.w. berumur 53 tahun.Umur Aisyah dan kekeliruan akibat dari perpecahan dalam Islam akibat fitnah syi’ah yang membenci Ummmul Mukminin

    Aisyah adalah isteri nabi Muhammad s.a.w. yang tunggal yang dikahwininya semasa gadis. Upacara dilakukan oleh ayahnya Abu Bakar dengan mas kahwin 400 dirham.

    [sunting] Hafsah bt. Umar bin al-Khattab r.a

    Hafsah seorang janda. Suami pertamanya Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia selepas Perang Badar. Bapanya Umar mempelawa Abu Bakar berkahwin dengan Hafsah, tetapi Abu Bakar tidak menyatakan sebarang persetujuan dan Umar mengadu kepada nabi Muhammad s.a.w.. Lalu baginda mengambil Hafsah sebagai isteri.

    [sunting] Ummu Salamah Hindun bt. Abi Umaiyah r.a

    Salamah seorang janda tua mempunyai 4 anak dengan suami pertama yang bernama Abdullah bin Abd al-Asad. Suaminya terkorban dalam Perang Uhud dan saudara sepupunya turut terkorban dalam perang itu lalu nabi Muhammad s.a.w. melamarnya. Mulanya lamaran ditolak kerana menyedari usia tuanya. Alasan umur turut digunakannya ketika menolak lamaran Abu Bakar dan Umar al Khattab.

    Lamaran kali kedua nabi Muhammad s.a.w. diterimanya dengan mas kahwin sebuah tilam, mangkuk dari sebuah pengisar tepung.

    [sunting] Ummu Habibah Ramlah bt. Abi sufian r.a

    Ummu Habibah seorang janda. Suami pertamanya Ubaidullah bin Jahsyin al-Asadiy. Ummu Habibah dan suaminya Ubaidullah pernah berhijrah ke Habsyah. Ubaidullah meninggal dunia ketika di rantau dan Ummu Habibah yang berada di Habsyah kehilangan tempat bergantung.

    Melalui al Najashi, nabi Muhammad s.a.w. melamar Ummu Habibah dan upacara perkahwinan dilakukan oleh Khalid bin Said al-As dengan mas kahwin 400 dirham, dibayar oleh al Najashi bagi pihak nabi.

    [sunting] Juwairiyah ( Barrah ) bt. Harith

    Ayah Juwairiyah ialah ketua puak Bani al-Mustaliq yang telah mengumpulkan bala tenteranya untuk memerangi nabi Muhammad s.a.w. dalam Perang al-Muraisi’. Bani al-Mustaliq telah tewas dan Barrah telah ditawan oleh Thabit bin Qais bin al-Syammas al-Ansariy. Thabit mahu dia dimukatabah dengan 9 tahil emas Barrah mengadu kepada nabi. Baginda sedia membayar mukatabah tersebut dan seterusnya mengahwininya.

    [sunting] Safiyah bt. Huyay

    Safiyah anak kepada Huyay, ketua puak Bani Quraizah iaitu dari keturunan Nabi Harun a.s. Dalam Perang Khaibar, suaminya seorang Yahudi telah ditawan dan Safiyah telah ditawan. Dalam satu rundingan setelah dibebaskan, Safiyah telah memilih untuk menjadi isteri nabi Muhammad s.a.w.. Safiyyah meriwayatkan 10 hadis dan meninggal dunia dalam bulan Ramadhan tahun ke-50H (ada yang mengatakan 52H). Dia dikebumikan di al Baqi’.

    [sunting] Zainab bt. Jahsyin

    Zainab merupakan isteri kepada Zaid ibn Harithah, yang pernah menjadi hamba dan kemudian menjadi anak angkat nabi Muhammad s.a.w. setelah dia dimerdekakan.

    Hubungan suami isteri antara Zainab dan Zaid tidak bahagia kerana Zainab dari keturunan mulia, tidak mudah patuh dan tidak setaraf dengan Zaid. Zaid telah menceraikannya walaupun telah dinasihati oleh nabi Muhammad s.a.w. .

    Upacara perkahwinan dilakukan oleh al-Abbas bin Abd al-Muttalib dengan mas kahwin 400 dirham, dibayar bagi pihak nabi Muhammad s.a.w.

    [sunting] Umrah bt. Yazid al-Kilabiyah

    Nabi Muhammad s.a.w. berkahwin dengan Umrah ketika Umrah baru sahaja memeluk agama Islam. Umrah telah diceraikan dan dipulangkan kepada keluarganya.

    [sunting] Zainab bt Khuzaimah

    Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia sewaktu nabi Muhammad s.a.w. masih hidup.

    [sunting] Maria al-Qibtiyyah

    Maria al-Qibtiyyah, English;(Maria The Copt) merupakan salah seorang isteri kepada Muhammad Rasulullah.

    [sunting] Rujukan

    • Profesor Madya Dr. Ishak Mohd. Rejab, ‘Rasulullah Sebagai Ketua Keluarga’, Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia, 1988.
    • Dipetik dari buku soal jawab berkaitan Rasullulah oleh Hj Ahmad bin Haji Awang.

    [sunting] Pautan luar

    =========================================

    Muhammad’s wives

    From Wikipedia, the free encyclopedia

    Jump to: navigation, search

    Part of a series on Islam

    Umm-al-Momineen
    Wives of Muhammad
    Khadijah bint Khuwaylid

    Sawda bint Zama

    Aisha bint Abi Bakr

    Hafsa bint Umar

    Zaynab bint Khuzayma

    Hind bint Abi Umayya

    Zaynab bint Jahsh

    Juwayriya bint al-Harith

    Ramlah bint Abi-Sufyan

    Rayhana bint Amr

    Safiyya bint Huyayy

    Maymuna bint al-Harith

    Maria al-Qibtiyya

    Muhammad’s wives were the eleven women married to the Islamic prophet Muhammad. Muslims refer to them as Mothers of the Believers (Arabic: Ummu l-Mu’minīn). Muslims use the term prominently before or after referring to them as a sign of respect. The term is derived from the Qur’anic verse [Qur’an 33:6]

    The Prophet is closer to the believers than their selves, and his wives are (as) their mothers.[1]

    Muhammad’s life is traditionally delineated as two epochs: pre-hijra (emigration) in Mecca, a city in northern Arabia, from the year 570 to 622, and post-hijra in Medina, from 622 until his death in 632. All but two of his marriages were contracted after the Hijra (migration to Medina). The verse’s interpretation mandated that Muslims were forbidden to marry Muhammad’s widows and should regard them as they would their own mothers.

    Contents

    [hide]

    // <![CDATA[//

    [edit] History

    A series of articles on


    Prophet of Islam
    Muhammad


    Life
    Companions · wives · Family tree · In Mecca · In Medina · Conquest of Mecca · The Farewell Sermon · Succession


    Career
    Diplomacy · Family · Wives · Military leadership


    Succession
    Farewell Pilgrimage · Ghadir Khumm · Pen and paper · Saqifah · General bay’ah


    Interactions with
    Slaves · Jews · Christians


    Perspectives
    Muslim (Poetic and Mawlid) · Medieval Christian · Historicity · Criticism · Depictions

    v d e

    During his life Muhammad married eleven or thirteen women depending upon the differing accounts of who were his wives.

    In Arabian culture, marriage was generally contracted in accordance with the larger needs of the tribe and was based on the need to form alliances within the tribe and with other tribes. Virginity at the time of marriage was emphasized as a tribal honor.[2] Watt states that all of Muhammad’s marriages had the political aspect of strengthening friendly relationships and were based on the Arabian custom.[3] Esposito points out that some of Muhammad’s marriages were aimed at providing a livelihood for widows.[4] Francis Edwards Peters says that it is hard to make generalizations about Muhammad’s marriages: many of them were political, some compassionate, and some perhaps affairs of the heart.[5]

    [edit] Khadijah bint Khuwaylid

    At age 25, Muhammad wed his employer, the 40 year old merchant Khadijah. The marriage, his first, would be both happy and monogamous; Muhammad would rely on Khadijah in many ways, until her death 25 years later.[6][7][8] They had two sons, Qasim and Abd-Allah (nicknamed al Tahir and al Tayyib), and four daughters –Zainab, Ruqaiya, Umm Kulthum and Fatimah. There is a dispute over the paternity of Khadijah’s daughters, as Shia scholars view them as the product of previous marriages.[9] During their marriage, Khadija purchased the slave Zayd ibn Harithah at Muhammad’s request -who then adopted the young man as his son.[10]

    [edit] Al-Hijrah

    The death of Khadija left Muhammad lonely, and, before he left for Medina, it was suggested to him that he marry Sawda bint Zama, who had suffered many hardships after she became a Muslim. Muhammad married her in Shawwal, when she was about 55 years old, in the tenth year of Prophethood, after the death of Khadijah. Prior to that, she was married to a paternal cousin of hers called As-Sakran bin ‘Amr. At about the same period, Aisha (daughter of his close friend Abu Bakr) was betrothed to Muhammad.[11] Aisha was initially betrothed to Jubayr ibn Mut’im, a Muslim whose father, though pagan, was friendly to the Muslims. When Khawla bint Hakim suggested that Muhammad marry Aisha after the death of Muhammad’s first wife (Khadijah bint Khuwaylid), the previous agreement regarding marriage of Aisha with ibn Mut’im was put aside by common consent.[11]

    As life became unbearable for him, Muhammad migrated to Medina. Because of Meccan attempts at his life Muhammad traveled only with Abu Bakr and the rest of his family traveled in stages. His wife Sawda and his daughters Fatimah and Umm Kulthum traveled with Zayd ibn Harithah, while his other wife Aisha travelled with her brother ‘Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr. Regarding his other daughters: Zainab’s husband prevented her from migrating, and Ruqayyah was with her husband Uthman Ibn Affan in Abyssinia and migrated much later.[12]

    Aisha was six or seven years old when betrothed to Muhammad. She stayed in her parents’ home until the age of nine, when the marriage was consummated in Medina.[13][11][14][15] Both Aisha and Sawda, his two wives, were given apartments adjoined to the Al-Masjid al-Nabawi mosque.[12] Muhammad wished to divorce Sawda, who offered to give her turn of Muhammad’s conjugal visit to Aisha to prevent this, and the incident is referred to in the Qur’an 4:127.[16]

    [edit] War with Mecca

    During the Muslim war with Mecca, many men were killed leaving behind widows and orphans. Hafsa bint Umar, daughter of Umar (‘Umar bin Al-Khattab), was widowed at battle of Badr when her husband Khunais ibn Hudhaifa was killed in action. Muhammad married her in 3 A.H./625 C.E.[17] Zaynab bint Khuzayma was also widowed at the battle of Badr. She was the wife of ‘Ubaydah b. al-Hārith,[18] a faithful Muslim and from the tribe of al-Muttalib, for which Muhammad had special responsibility.[19] When her husband died, Muhammad aiming to provide for her, married her 4 A.H. She was nicknamed Umm Al-Masakeen (roughly translates as the mother of the poor), because of her kindness and charity.[20]

    Close to Aisha’s age, both Hafsa and Zaynab were welcomed into the household. Sawda, who was much older, extended her motherly benevolence to the younger women. Aisha and Hafsa had a lasting relationship. As for Zaynab, however, she fell ill and passed away eight months after her marriage.[21][22][23]

    The death of Zaynab coincided with the that of Abu Salamah, a devoted Muslim, as a result of his wounds from the Battle of Uhud.[22] Abu Salamah’s widow, Umm Salama Hind bint Abi Umayya also a devoted Muslim, had none but her young children. Her plight reportedly saddened the Muslims, and after her iddah some Muslims proposed marriage to her; but she declined. When Muhammad proposed her marriage, she was reluctant for three reasons: she claimed to suffer from jealousy and pointed out the prospect of an unsuccessful marriage, her old age, and her young family that needed support. But Muhammad replied that he would pray to God to free her from jealousy, that he too was of old age, and that her family was like his family[citation needed]. She married Muhammad.[24] In 626, Raihanah bint Zaid, entered Muhammad’s household as a widow, as her husband had been executed along with the men of Banu Qurayza. The sources regarding his status differ, but she eventually converted to Islam and was married by Muhammad.[25]

    [edit] Internal dissension

    After Muhammad’s final battle against his Meccan enemies, he diverted his attention to stopping the Banu Mustaliq‘s raid on Medina. During this skirmish, Medinan dissidents, begrudging Muhammad’s influence, attempted to attack him in the more sensitive areas of his life, including his marriage to Zaynab bint Jahsh,[26] and an incident in which Aisha left her camp to search her lost necklace, and returned with a Companion of Muhammad.[27]

    [edit] Zaynab bint Jahsh

    Zaynab bint Jahsh was Muhammad’s cousin, being the daughter of one of his father’s sisters.[11] In Medina, Muhammad arranged Zaynab’s marriage, a widow, to Zayd ibn Harithah. Zaynab disapproved of the marriage and her brothers rejected it, because according to Ibn Sa’d, she was of aristocratic lineage and Zayd was a former slave.[28][29] Muhammad, however, was determined to establish the legitimacy and right to equal treatment of the adopted, Caesar E. Farah states.[30] Watt however states that it is not clear why Zaynab was unwilling to marry Zayd as Zayd was held in a high place in Muhammad’s esteem. Watt discusses the following two possibilities: being an ambitious woman, she was already hoping to marry Muhammad; and the other she may have been wanting to marry someone of whom Muhammad disapproved for political reason. In any case, Watt says, it is almost certain that she was working for marriage with Muhammad before the end of 626.[31] According to Maududi, the Qur’anic verse 33:36 was revealed,[32] thus Zaynab acquiesced and married Zayd. Zaynab’s marriage was unharmonious, and eventually became unbearable.[28]

    According to Ibn Sa’d and Tabari, after the marriage, Muhammad went to pay Zayd a visit, but instead found Zaynab, scantily clad, and fell in love with her.[28][33] Zaynab told Zayd about this, and Zayd offered to divorce her, but Muhammad told him to keep her.[11] The story laid much stress on Zaynab’s perceived beauty and Muhammad’s supposedly disturbed set of mind.[34] William Montgomery Watt doubts the accuracy of this portion of the narrative, since it does not occur in the earliest source, and that it is unlikely that Muhammad was attracted since Zaynab (after Khadija) was the most elderly woman Muhammad married. He thinks that even if there is a basis of fact underlying the narrative, it is suspect to exaggeration in the course of transmission as the later Muslims liked to maintain that there was no celibacy and monkery in Islam.[29] Nomani considers this story to be a rumor.[35] Rodinson disagrees with Watt arguing that the story is stressed in the traditional texts and that it would not have aroused any adverse comment or criticism.[36]

    The marriage seemed incestuous to Muhammad’s contemporaries because Muhammad was marrying the former wife of his adopted son, and the adopted sons were counted the same as a biological son.[11] According to Watt, this “conception of incest was bound up with old practices belonging to a lower, communalistic level of familial institutions where a child’s paternity was not definitely known; and this lower level was in process being eliminated by Islam.”[37] Muhammad’s decision to marry Zaynab was an attempt to break the hold of pre-Islamic ideas over men’s conduct in society.[citation needed] Initially, however, he was reluctant to marry Zaynab, fearing public opinion. The Qur’an, however, indicated that this marriage was a duty imposed upon him by God. Thus Muhammad, confident that he was strong enough to face public opinion, proceeded to reject these taboos.[38] When Zaynab’s waiting period was complete, Muhammad married her.[39] A prominent faction who held influence in the civic atmosphere in Medina, called “Hypocrites” in the Islamic tradition,[40] criticized the marriage as incestuous.[11] They spread rumors in an attempt to divide the Muslim community, as part of a strategy of attacking Muhammad through his wives.[40] However, the marriage was justified by verse 33:37 of the Qur’an,[11] which implied that treating adopted sons as real sons was objectionable, and that there should now be a complete break with the past.[11] According to Ibn Kathir, the verses were a “divine rejection” of the Hypocrites’ objections.[40] According to Rodinson, doubters argued the verses were in exact conflict with social taboos and favored Muhammad too much. The delivery of these verses, thus, did not end the dissent.[34]

    [edit] Necklace incident

    Aisha had accompanied Muhammad on his skirmish with the Banu Mustaliq. On the way back, Aisha lost her wedding necklace (a treasured possession), and Muhammad required the army to stop so that it could be found. Many in the army were indignant over the requirement, and the incident proved to be an embarrassment. The necklace was found, but during the same journey, Aisha lost it again. This time, she quietly slipped out in search for it, but by the time she recovered it, the caravan had moved on. She was eventually taken home by Safw’an bin Mu’attal.[41]

    Rumors spread that something untoward had occurred although there were no witnesses to this.[27] Disputes arose, and the community was split into factions. Meanwhile, Aisha had been ill, and unaware of the stories. At first Muhammad himself was unsure of what to believe, but eventually trusted Aisha’s protestations of innocence.[41] Eventually verses were revealed, establishing her innocence, and condemning the slanders and the libel. Although the episode was uneasy for both Muhammad and Aisha, in the end it reinforced their mutual love and trust.[42]

    [edit] Reconciliation

    One of the captives from the skirmish with the Banu Mustaliq was Juwayriya bint al-Harith, who was the daughter of the tribe’s chieftain. When made captive, Juwayriya went to Muhammad requesting that she, as the daughter of the lord of the Mustaliq, be released. Meanwhile her father approached Muhammad with ransom to secure her release, but her captor refused to ransom her. Muhammad then offered to marry her, and she accepted.[43] When it became known that tribes persons of Mustaliq were kinsmen of the prophet of Islam through marriage, the Muslims began releasing their captives.[44] Thus, Muhammad’s marriage resulted in the freedom of nearly one hundred families from captivity.[45]

    In the same year, Muhammad signed a peace treaty with his Meccan enemies, the Quraysh, effectively ending the state of war between the two parties. He soon married the daughter of the Quraysh leader, Abu Sufyan ibn Harb, aimed at further reconciling his opponent.[46] He sent a proposal for marriage to Ramlah bint Abi-Sufyan who was in Abyssinia at the time, when he learned her husband had died. She had previously converted to Islam (in Mecca) against her father’s will. After her migration to Abyssinia her husband had apostated to Christianity, and although she remained a steadfast Muslim, perhaps Muhammad feared that she too may apostate.[47] Muhammad dispatched ‘Amr bin Omaiyah Ad-Damri with a letter to the Negus (king), asking him for Umm Habibah’s hand — that was in Muharram, in the seventh year of Al-Hijra.

    In 629, after the Battle of Khaybar, Muhammad freed Safiyya bint Huyayy a noblewoman[48] of the defeated Jewish tribe Banu Nadir, from her captor Dihya and proposed marriage. Safiyya accepted. Scholars believe that Muhammad married Safiyya as part of reconciliation with the Jewish tribe and as a gesture of goodwill.[49][50] Safiyyah had been previously married to Kinana ibn al-Rabi, a commander who was executed, and before that to the poet Salaam ibn Mas̲h̲kam, who had divorced her.[48] [51] He then convinced Safiyya to convert to Islam and marry him.[52] Upon entering Muhammad’s household, Safiyya became friends with Aisha and Hafsa, and also offered gifts to Fatima. But when Muhammad’s other wives spoke ill of Safiyya’s Jewish descent, Muhammad intervened, pointing out to everyone that Safiyya’s “husband is Muhammad, father is Aaron, and uncle is Moses”, a reference to revered Islamic prophets.[53]

    As part of the agreement of Hudaybiyah, Muhammad visited Mecca for the lesser pilgrimage. There Barra bint al-Harith proposed marriage to him.[54] Muhammad accepted, and thus married Barra, the sister-in-law of Abbas, a long time ally of his. By marrying her Muhammad also established kinship ties with the Makhzum, his previously fierce opponents.[55] As the Meccans didn’t allow him to stay any longer, Muhammad left the city, taking Barra with him. He called her “Maymuna” meaning blessed, as his marriage to her had also marked the first time in seven years when he could enter his hometown Mecca.[54]

    Maria al-Qibtiyya was an Egyptian Coptic Christian slave, sent as a gift to Muhammad from Muqawqis, a Byzantine official.[56] She then served as Muhammad’s concubine, and some historians further state that he married her. Regardless, she bore him a son, Ibrahim ibn Muhammad, who died in infancy. She is thus regarded as a Mother of Believers.

    [edit] Muhammad’s widows

    The extent of Muhammad’s property at the time of his death is unclear. Although Quran [2.180] clearly addresses issues of inheritance, Abu Bakr, the new leader of the Muslim ummah, refused to divide Muhammad’s property among his widows and heirs, saying that he had heard Muhammad say:

    We (Prophets) do not have any heirs; what we leave behind is (to be given in) charity.[57]

    Muhammad’s widow Hafsa played a role in the collection of the first Qur’anic manuscript. After Abu Bakr had collected the copy, he gave it to Hafsa, who preserved it until Uthman took it, copied it and distributed it in Muslim lands.[58]

    Some of Muhammad’s widows were active politically in the Islamic state after Muhammad’s death. Safiyya, for example, aided the caliph Uthman during his siege.[53] During the first fitna, some wives also took sides. Umm Salama, for example, sided with Ali, and sent her son Umar for help.[59] The last of Muhammad’s wives, Umm Salama lived to hear about the tragedy of Karabala in 680, dying the same year.[59]

    [edit] Family life

    Muhammad and his family lived in small apartments adjacent the mosque at Medina. Each of these were six to seven spans wide and ten spans long. The height of the ceiling was that of an average man standing. The blankets were used as curtains to screen the doors.[60]

    Muhammad helped out with the housework, such sewing clothes, and repairing shoes. He would usually do this for long periods of time, stopping only for prayers. Muhammad had accustomed his wives to dialogue; he listened to their advice, and the wives debated and even argued with him. Muhammad’s wives distinguished his role as a prophet from his role as a husband. He did not allow his wives to use his status as a prophet to obtain special treatment in public.[61]

    [edit] See also

    [edit] Notes

    1. ^ Aleem, Shamim (2007). “12. Mothers of Believers”. Prophet Muhammad(s) and His Family. AuthorHouse. p. 85. ISBN 9781434323576.
    2. ^ Amira Sonbol, Rise of Islam: 6th to 9th century, Encyclopedia of Women and Islamic Cultures
    3. ^ Watt (1956), p.287
    4. ^ Esposito (1998), pp. 16–8.
    5. ^ F. E. Peters (2003), p.84
    6. ^ Esposito (1998), p.18
    7. ^ Bullough (1998), p. 119
    8. ^ Reeves (2003), p. 46
    9. ^ Muhammad al-Tijani in his The Shi’a: The Real Followers of the Sunnah on Al-Islam.org note 274
    10. ^ Muhammad Husayn Haykal. The Life of Muhammad: “From Marriage to Prophethood.” Translated by Isma’il Razi A. al-Faruqi
    11. ^ a b c d e f g h i Watt, “Aisha bint Abu Bakr”, Encyclopaedia of Islam Online
    12. ^ a b Nomani (1970), pg. 257-9
    13. ^ Barlas (2002), p.125-126
    14. ^ Sahih al-Bukhari 5:58:234, 5:58:236, 7:62:64 7:62:65,7:62:88, Sahih Muslim 8:3309, 8:3310,8:3311,Sunnan Abu Dawud 41:4915, 41:4917
    15. ^ Tabari, Volume 9, Page 131; Tabari, Volume 7, Page 7
    16. ^ Vacca, “Sawda bint Zama ibn Qayyis ibn Abd Shams”, Encyclopaedia of Islam
    17. ^ Nomani (1970), pg. 360
    18. ^ Watt(1956), pg.393
    19. ^ Watt(1956), pg.287
    20. ^ Lings (1983), p. 201
    21. ^ Lings (1983), p. 165
    22. ^ a b Lings (1983), p. 206
    23. ^ Nomani (1970), pg. 345
    24. ^ Umm Salamah. Courtesy of ISL Software. University of Southern California.
    25. ^ al-Baghdadi, Ibn Sa’d. Tabaqat. vol VIII, pg. 92–3.
    26. ^ Watt (1956), 330-1
    27. ^ a b Denise A. Spellberg, Aisha bint Abī Bakr, Encyclopedia of the Qur’an
    28. ^ a b c Freyer Stowasser (1996), p. 88, Oxford University Press
    29. ^ a b Watt (1974), page 158.
    30. ^ Caesar E. Farah, Islam: Beliefs and Observances, p.69
    31. ^ Watt (1974), page 157-158.
    32. ^ Maududi (1967), vol. 4, p. 108
    33. ^ Fishbein, Michael (February 1997). The History Al-Tabari: The Victory of Islam. State University of New York Press. pp. 2–3. ISBN 978-0791431504. “Zaynab had dressed in haste when she was told “the Messenger of God is at the door.” She jumped up in haste and excited the admiration of the Messenger of God, so that he turned away murmuring something that could scarcely be understood. However, he did say overtly: “Glory be to God the Almighty! Glory be to God, who causes the hearts to turn!””
    34. ^ a b Rodinson, page 207.
    35. ^ Nomani (1970). Sirat al-Nabi.
    36. ^ Rodinson, page 207.
    37. ^ William Montgomery Watt (1974), p.233
    38. ^ Watt(1956), p.330-1
    39. ^ Watt, page 156.
    40. ^ a b c Freyer Stowasser (1996), p. 89
    41. ^ a b Peterson (2007), page 169-71
    42. ^ Ramadan (2007), p. 121
    43. ^ Rodinson, page 196.
    44. ^ Lings (1983), pg. 241-2
    45. ^ Nomani, pg. 365-6
    46. ^ Watt (1961), p. 195
    47. ^ Umm Habibah: Ramlah Bin Abi Sufyan. IslamOnline.
    48. ^ a b Al-Shati’, 1971, 171
    49. ^ Nomani(1970) p. 424.
    50. ^ Watt (1964) p. 195
    51. ^ V. Vacca, Safiyya bt. Huyayy b. Ak̲htab, Encyclopedia of Islam
    52. ^ Rodinson (1971), p. 254.
    53. ^ a b Al-Shati’, 1971, 178-181
    54. ^ a b Al-Shati’, 1971, 222-224
    55. ^ Ramadan (2007), p. 1701
    56. ^ A. Guillaume (1955), p. 653
    57. ^ The Book of Jihad and Expedition (Kitab Al-Jihad wa’l-Siyar)“. USC-MSA Compendium of Muslim Texts,. University of Southern California. pp. Chapter 16, Book 019, Number 4351. http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/hadithsunnah/muslim/019.smt.html#019.4351. Retrieved 2007-10-05.
    58. ^ Al-Shati’, 1971, p. 110
    59. ^ a b Al-Shati’, 1971, p. 135
    60. ^ Numani, p. 259-60
    61. ^ Ramadan (2007), p. 168-9

    [edit] References

    [edit] Encyclopedias

    [edit] External links

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Reply
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Go to top
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Cancel