Sanksi Bagi Penghina Rasulullah (1)

Jumat, 21 September 2012, 18:36 WIB
4shared.com

 

REPUBLIKA.CO.ID, Penistaan terhadap Rasulullah SAW seakan tiada hentinya. Kasus demi kasus bermunculan silih berganti.

Di Belanda, ada film berbau SARA yang merendahkan ajaran Islam beserta Muhammad dengan judul “Fitna”, begitu juga kasus kartun Nabi di Denmark.

Paling anyar, tentunya ialah penghinaan Rasulullah yang dilakukan oleh Sam Bacile, lewat film kelas teri, “The Innocence of Muslims”.

Kasus terakhir ini terbilang paling heboh. Bukan karena kualitas filmnya, melainkan dampak yang diakibatkan setelah diunggahnya film tersebut di Youtube dan media sosial lainnya. Aksi protes meledak di berbagai belahan dunia.

Tak ada jaminan, tindakan serupa tidak terulang pada kemudian hari. Ini lantaran tidak ada peraturan dan kesepakatan internasional soal kejahatan menghina Rasulullah atau simbol-simbol agama yang disucikan. Rentetan kejadian ini menarik perhatian sejenak untuk menengok polemik penghinaan Rasulullah di era klasik.

Prof Hasan As-Sayyid Hamid Khitab, melalui makalahnya yang berjudul “Jarimat Sub An-Nabi Muhammad SAW wa Uqubatuha Bain Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qanun Ad- Dauli”, memaparkan persoalan ini secara terperinci dan penyikapan para ulama salaf.

Mereka sepakat satu hal, yaitu bila pelaku adalah Muslim, ia bisa dinyatakan murtad dan mesti dibunuh. Pendapat ini adalah pernyataan para ulama, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Laits, Ahmad, Syafi’i, dan Ishaq. Konsensus ini ditegaskan oleh Abu Bakar ibn Al-Mudzir dan Abu Sulaiman Al-Khutabi.

REPUBLIKA.CO.ID, Kesepakatan ini dilandasi dasar dan argumentasi yang kuat. Larangan untuk menyudutkan Rasulullah itu tertuang, antara lain, dalam ayat 57 Surah Al-Ahzab, Adz-Dzariyaat ayat ke-10, dan Al-Munafiquun ayat 4.

Ini diperkuat dengan hadis-hadis Rasulullah yang melarang cacian dan ejekan terhadapnya. Misalnya saja, riwayat Al-Hakim yang mengisahkan tentang perintah membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf.

Instruksi itu menyusul ejekan dan hinaannya terhadap Rasulullah. Kasus dan sanksi serupa juga dijatuhkan terhadap pelaku penistaan ketika peristiwa penaklukan Makkah. Kisah ini seperti dinukilkan oleh Bukhari dan Muslim.

Pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku penistaan juga berlangsung pada masa kekhalifahan. Suatu saat, Harun Ar-Rasyid meminta fatwa ke Imam Malik bin Anas yang berada di Tanah Hijaz, Madinah, perihal sanksi bagi seseorang yang telah mencaci Rasulullah.

Sang Khalifah menceritakan para ahli fikih di Irak memberi fatwa, yaitu pelaku hanya dijatuhi hukuman cambuk. Tak elak, pendapat ini menyulut kemarahan Imam Malik.

Menurut dia, siapa pun yang menghina Rasulullah maka harus dibunuh. Sedangkan mereka yang merendahkan sahabat cukup dicambuk. “Wahai pemimpin Mukminin, apa jadinya umat bila Nabi mereka sendiri telah dihina?”

Sikap tegas terhadap para penista Nabi ditunjukkan pula oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketegasan itu bisa dilihat dari jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan oleh pejabat pemerintah di Kufah.

Ketika itu, bawahannya menanyakan hukum mereka yang telah mencaci Umar bin Khatab. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawab, haram hukumnya membunuh sesama Muslim yang mencaci seseorang, kecuali bila yang dihina Rasulullah. “Jika demikian, halal darahnya,” katanya.

Tidak gugur
Muncul pertanyaan, bagaimana bila pelaku bertobat setelah perbuatannya itu? Apakah tobatnya akan diterima lantas menggugurkan sanksi di dunia?

Guru Besar Adab di Universitas Manovea, Mesir, ini mengatakan ulama sepakat, tobat nasuha akan bermanfaat baginya kelak di akhirat. Tetapi, apakah kemudian menghindarkannya dari hukuman mati?

Para ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama dari Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, tobatnya tersebut tidak berpengaruh apa pun pada sanksi di dunia.

Ia tetap harus menjalani hukuman mati. Mereka beranggapan, sebagaimana hukuman lain di dunia, maka sanksi itu tak lantas otomatis gugur dengan tobat pelaku.

Sedangkan kelompok yang kedua berpandangan, mereka yang telah menghina Rasulullah dari kalangan Muslim lalu bertobat dengan sebenar-benar tobat maka sanksi itu gugur.

Ia tak perlu dibunuh. Opsi ini disuarakan oleh Mazhab Hanafi, Syafi’i di salah satu riwayat pendapatnya yang lemah, dan sebagian kecil Mazhab Hanbali.

Mereka berasumsi, bila seorang non-Muslim menistakan Rasulullah, lalu ia masuk Islam dan bertobat saja mendapat dispensasi tidak dibunuh, tentunya ketentuan yang sama pantas berlaku bagi seorang Muslim yang bertobat.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/09/23/masgup-sanksi-bagi-penghina-rasulullah-3