Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.(QS. 17:33) 

Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Israa’ 33
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا (33)
Sesudah itu Allah SWT melarang hamba Nya membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya. Maksud “membunuh jiwa” ialah menghilangkan jiwa manusia. Sedang yang dimaksud dengan “yang diharamkan Allah membunuhnya” ialah tidak dengan alasan yang sah,.
Adapun sebab mengapa Allah SWT melarang para hamba-Nya membunuh jiwa dengan alasan yang tidak sah ialah:
1. Pembunuhan itu menimbulkan kerusakan. Islam melarang setiap tindakan yang menimbulkan kerusakan itu. Larangan itu berlaku umum untuk segala macam tindakan yang menimbulkan kerusakan, maka pembunuhanpun termasuk tindakan yang terlarang. Allah SWT berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
Artinya:
“…., dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya.” (Q.S. Al A’raf: 85)
2. Pembunuhan itu membahayakan orang lain. Ketentuan pokok dalam agama ialah semua tindakan yang menimbulkan mudarat itu terlarang.
Allah SWT berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kusukaran bagimu. (Q.S. Al Baqarah: 185)
Rasulullah saw bersabda:

لا ضرر ولا ضرار
Artinya:
Tidak boleh terjadi mudarat dan tidak boleh terjadi saling memudaratkan.
3. Mengganggu keamanan masyarakat yang membawa kepada musnahnya masyarakat itu: Karena apabila pembunuhan itu diperbolehkan tidak mustahil akan terjadi tindakan saling membunuh di antara manusia, yang pada akhirnya manusia itu akan binasa.
Dalam ayat ini Allah SWT memberikan pengecualian siapa-siapakah yang boleh dibunuh, dengan firman-Nya “melainkan dengan sesuatu alasan yang sah”, yaitu antara lain pria atau wanita yang berzina setelah terikat dalam hukum dengan akad pernikahan dan orang yang membunuh orang yang beriman yang dilindungi hukum dengan sengaja.
Pengecualian seperti tersebut di atas, disebutkan dalam hadis Nahi: Diriwayatkan oleh As Sahihain (Bukhari dan Muslim) dan ahli hadis lain dari Ibnu Masud:

لا يحل دم امرئ يشهد ان لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله إلا بإحدى ثلاث: النفس بالنفس، والثيب الزاني والتارك لدينه المفارق للجماعة
Artinya:
Tidak halal darah orang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: Orang yang harus dibunuh karena membunuh jiwa, janda/duda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari kaum muslimin”.
Kemudian Allah SWT menjelaskan tindakan apa yang harus dilakukan oleh waris dari yang terbunuh, dan siapa yang harus melaksanakan tindakan itu, apabila secara kebetulan si terbunuh itu tidak mempunyai ahli waris.
Allah SWT menetapkan, bahwa barang siapa yang membunuh secara lalim, yakni tanpa alasan yang benar, maka Allah telah memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya, untuk menentukan pilihannya di antara dua hal: hukum kisas atau menerima diat (tebusan) seperti yang telah ditetapkan dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Q.S. Al Baqarah: 178)
Dan sabda Nabi Muhammad saw yang disabdakan pada penaklukan kota Mekah:

من قتل قتيلا فأهله بين خيرتين، إن أحبو قتلوا وإن أحبوا أخذو الدية
Artinya:
Barang siapa membunuh, maka keluarga siterbunuh diberi hak memilih antara dua hal, apabila ia ingin menuntut balas hukuman bunuh, lakukanlah, dan bila ia ingin menuntut diat (tebusan), lakukanlah.
Kemudian apabila secara kebetulan siterbunuh itu tidak mempunyai ahli waris, maka yang bertindak menggantikan kedudukannya dalam menentukan pilihan ialah penguasa, yang di dalam hukum Islam terkenal dengan Sultan atau Al-Imamul A’zam atau Al Khalifatul `Ulya. Dalam hal ini Sultan boleh melimpahkan kekuasaannya kepada para kadi (hakim) setempat, apabila dipandang perlu.
Sesudah itu Allah SWT menentukan pula bagaimana cara melaksanakan kisas itu, yaitu agar para penguasa yang diberi wewenang untuk melaksanakan kisas itu jangan melampaui batas-batas yang ditentukan, seperti yang telah terjadi di zaman Jahiliah Orang-orang di zaman Jahiliah tidak puas dengan hanya menuntut balas dengan kematian orang yang membunuh, akan tetapi menuntut pula matinya orang lain, apabila si terbunuh itu dari kalangan bangsawan. Dan kalau kebetulan yang terbunuh itu orang bangsawan, sedang yang membunuh dari kalangan biasa, maka yang dituntut kematiannya ialah dari kalangan bangsawan juga, sebagai pengganti si pembunuh.
Pada ayat 178 Surah Al-Baqarah terdapat isyarat yang kuat, bahwa yang paling utama bagi keluarga si terbunuh, hendaknya jangan menuntut balas kematian, akan tetapi hendaknya merasa puas apabila menuntut diat atau memaafkan saja.
Di akhir ayat Allah SWT menjelaskan mengapa para wali (ahli waris) atau penguasa dalam melaksanakan hukuman kisas tidak boleh melampaui batas, ialah karena baik wali atau penguasa itu mendapat pertolongan Allah, berupa pembalasan untuk memilih hukuman kisas, atau hukuman diat. Oleh sebab itu maka para hakim hendaknya berpedoman pada ketentuan tersebut dalam memutuskan perkara jangan sampai memutuskan perkara yang bertentangan dengan ketentuan tersebut atau melebihi ketentuan itu.
Ayat ini tergolong ayat Makiyah, yang termasuk dalam bagian ayat hukum yang pertama dituturkan, maka wajarlah apabila ayat ini mengatur tentang hukum bagi pembunuhan secara garis besarnya saja. Adapun keterangan secara terperinci di atur dalam ayat-ayat yang lain, yang penafsirannya telah dikemukakan pada jilid 1.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Israa’ 33
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا (33)
(Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya melainkan dengan suatu alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kepada wali si terbunuh) yakni para ahli warisnya (kekuasaan) terhadap si pembunuhnya (tetapi janganlah ahli waris itu berlebihan-lebihan) melampaui batas (dalam membunuh) seumpamanya ahli waris itu membunuh orang yang bukan si pembunuh atau ia membunuh si pembunuh dengan cara yang lain. (Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.)

http://c.1asphost.com/sibin/Alquran_Tafsir.asp?pageno=2&SuratKe=17#33