Selingkuh disanjung, Poligami dicerca 

Selingkuh disanjung, Poligami dicerca
tanggal : 23/12/2006

al-islahonline.com : Sejumlah skandal seks menimpa politisi, mulai dari Bupati Pekalongan, walikota Singkawang hingga anggota DPR. Tapi, kenapa pelaku poligami yang justru dicerca dan diolok – olok? apakah dunia sudah terbalik?

Kasus perzinahan anggota DPR RI YZ dengan penyanyi dangdut ME, mengangkat kembali cerit-cerita klasik tentang tahta, wanita dan harta. Cukup banyak episode cerita kolosal yang menceritakan malapetaka bagi kemanusiaan hingga lenyapnya sebuah bangsa, hanya gara-gara skandal seks. Film berjudul kolosal Troy misalnya, mengisahkan tentang topik yang sama.

Sayangnya, para politisi tak pernah belajar dari pendahulunya yang terjungkal gara-gara skandal seks. Setelah kasus YZ-ME terbongkar, publikkembali terperangah dengan beredarnya VCD mesum Walikota Singkawang, Kalimantan Barat, dengan seorang wanita yang bukan istrinya. Sebelumnya, publik juga dibuat terkaget-kaget oleh foto seronok SQ-WPN, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Pekalongan, Jawa Tengah.

Jika di pekalongan, sang tokoh mampu bertahan menjabat Bupati dan Wakil Bupati hingga kini, Walikota Singkawang tersungkur dari jabatan politiknya setelah dipecat DPRD setempat. Demikian juga dengan YZ. KAder partai Golkar ini memilih mengundurkan diri dari anggota legislatif dan kepengurusan partainya.

Ini hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus perzinahan yang kebetulan melibatkan pejabat publik. Di luar ini, disinyalir masih banyak pejabat dan anggota legislatif lain yang berperilaku bejat, berselingkuh atau berzina dengan wanita yang bukan istrinya. Sinyalemen ini dilontarkan oleh Permadi, Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.

Apa yang dibeberkan “orang dalam” parlemen ini, setidaknya mengindikasikan kebenaran merebaknya kasus melibatkan tahta, harta dan wanita pada sebagian pejabat dan anggota dewan terhormat. Miris memang, jika bertautnya ‘penguasa’ dengan wnaita dan harta berjalan di luar koridor. Pertanyaannya, bagi yang Muslim, mengapa masih saja mempraktikkan ‘pertautan ilegal’ di luar aturan Allah?

Padahal, Allah SWT dan Rasulullas saw telah membuka pintu bagi yang mampu untuk beristri lebih dari satu, alias berpoligami. Setidaknya, Islam memandang hukum berpoligami adalah mubah (QS an-Nisaa:3). Sedangkan kewajiban berlaku adil adalah hukum syara’ yang lain, bukankah suami yang beristri satu juga tetap harus berlaku adil bukan?

Persoalannya, mereka yang berpoligami secara sah dari sudut pandang agama, istri dan keluarga besarnya juga menerima keputusan ini, kenapa mesti diolok-olok? Sementara mereka yang berperilaku bejat, berzina, seperti ME dan pelaku-pelaku sebelumnya malah menuai ketenaran, dipuja bak selebriti yang sdang naik daun.

Faktanya, ME kini jadi begitu terkenal. Jadwal hariannya pun kian sibuk. Road show untuk wawancara ke sejumlah stasiun televisi jadi agenda utamanya, sampai-sampai tak bisa memenuhi panggilan polisi. Lengkap dengan tangis, tawa dan lantunan lagu, ME jadi tokoh berita beberapa pekan ini. Dibanding “lawan mainnya” di VCD jorok itu, ME memang lebih unggul.

Menurut juru bicara MMI, Fauzan Al-Anshari, masyarakat seharusnya mengolok-olok pelau zina bukan kepada mereka yang berpoligami. “Memang, antara zina dan poligami tak bisa disandingkan, keduanya berbeda 180 derajat. Poligami dibolehkan dengan syarat – syarat tertentu, sedangkan zina dan selingkuh adalah dosa besar yang diazab Allah,” tegas Fauzan yang juga berpoligami ini.

Tak heran jika ketua MPR Hidayat Nur Wahid pun ikut berkomentar. Menurutnya, yang seharusnya dikhawatirkan adalah mraknya kasus permesuman dan perselingkuhan di tengah masyarakat, termasuk di kalangan pejabat. “Permesuman jauh lebih penting disikapi dari pada poligami, karna permesuman jelas merugikan perempuan,” tandasnya.

Bagi yang berfikir jernih, poligami justru lebih bermartabat ketimbang selingkuh, memelihara atau menjadi gundik dan perilaku zinahan lainnya. Ketua MUI Kota Bandung, KH Miftah Faridl menilai, poligami dalam pandangan Islam merupakan salah satu solusi untuk memecahkan masalah sosial.

Menurut Miftah, masalah sosial yang bisa diatasi dengan poligami adalah, Pertama, ketika istri tak bisa memberikan keturunan, suami boleh menikah lagi agar memiliki keturunan. Kedua, ketika banyak wanita yang tak bisa menikah, karena jumlah wanita lebih banyak dari pria, poligami bisa menjadi pilihannya. Ketiga, mengentaskan penderitaan lahir dan bahin seorang janda beserta anak-anaknya. Keempat, wanta yang sudah dicerai oleh suaminya, tapi ingin rujuk kembali, sementara mantan suaminya sudah menikah lagi, poligami bisa menjadi solusinya. Kelima, ketika seorang suami yang sudah beristri memiliki hubungan yang dekat dengan wanita lain, dan mereka khawatir terjadi perzinahan, maka poligami bisa menjadi solusi.

Sementara itu Fauzan Al-Anshari memandang, poligami bisa digunakan sebagai strategi untuk menyatukan dua keluarga, bahkan dua kelompok masyarakat. Contohnya, Rasulullah saw menjadikan Abu Bakar dan Umar bin Khathab sebagai mertuanya. Kedua, untuk menolong keluarga yang membutuhkan figur seorang ayah. Contohnya, ketika Rasul menikahi Ummu Hbaibah yang ditinggal sahid suaminya dengan meninggalkan anak banyak.

Dalam konteks lokal, pejuang emansipasi wanita di Indonesia, RA Kartini, ternyata juga menerima praktik poligami yang selama ini ia tentang. Kartini ternyata menikah dengan Djojoadiningrat, yang sudah beristri tiga dengan tujuh anak. Bahkan, putri tertua suaminya, hanya terpaut delapan tahun dari sang Raden Ajeng ini.

Perkawinan yang berlangsung 8 November 1903 ini, praktis menyudahi perlawanannya terhadap praktik poligami. Setelah diboyong ke Rembang, kartini tak lagi bicara soal kedudukan perempuan atau menyerang poligami. Padahal, bagi Kartini, poligami adalah aib dan dosa karena praktiknya sering memperlakukan wanita secara sewenang-wenang. Aeh menang, seorang pemberontak yang mengagungkan kesetaraan gender, akhirnya “menyerah”.

Anehnya, kepada sahabat-sahabat Belandanya, Karitni mengatakan hidupnya bahagia di tengah-tengah tiga madunya. Pernyataan sejenis juga banyak terlontar dari mulut para istri yang dimadu pada zaman modern ini. Ini antara lain, diungkapkan oleh istri-istri Puspo Wardoyo dan Fauzan Al-Anshari. Apakah perasaan yang sama juga dirasakan oleh mereka yang berzina, berselingkuh atau menjadi istri simpanan?

Yang terjadi justru sebaliknya. Menurut Sekjen MPU, Ridha Salamah, lebih mulia wanita menjadi istri baik keempat, ketiga, kedua maupun pertama daripada menjadi gundik, simpanan atau selir. Wanita yang menjadi gundik, terus-menerus harus memberikan pelayanan tanpa perlindungan sang suami. Apalagi, wanita yang berstatus sebagai gundik tak berhak memperoleh warisan. Anak yang dilahirkanpun tak memiliki hak waris.

Jadi, jargon melindungi perempuan di balik larangan poligami adalah isapan jempol belaka. (sabili)

http://al-islahonline.com/bca.php?idartikel=163