17 tahun lagi dari sekarang Islam akan menjadi agama nomor satu terbanyak pemeluknya di dunia, menggeser Kristen menjadi kedua. 

Geliat Bule Terhadap Islam Nov 5, ’08 11:02 PM
for everyone

Dahulu para aktivis hukum dan ham di Canada, Amerika dan Eropa berjuang keras agar undang-undang mengenai multikultur disahkan, dengan maksud dan tujuan agar tidak ada lagi ketimpangan, kesenjangan sosial agar tercapai kesetaraan serta persamaan hak warga sipil, baik itu berasal dari ras anglo saxon itu sendiri, penduduk lokal, dan para imigran.

Upaya ini sebetulnya justru sangat menguntungkan Islam ketika merambah masuk ke Barat pasca perang dunia ke-dua. Multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000) telah berhasil mencetak angka yang fantastis pada 5 tahun terakhir dengan meningkatnya penyebaran Islam di Barat.

Sejumlah data yang dikomposisikan oleh Demented Vision (2007), dari sebuah observasi di Amerika Serikat tentang perkembangan jumlah pemeluk agama-agama dunia menarik untuk dicermati. Dari data observasi itu, terdapat angka-angka yang menunjukkan perbandingan pertumbuhan penganut Islam dan Kristen di dunia. Lembaga itu mencatat, pada tahun 1900, jumlah pemeluk Kristen adalah 26,9% dari total penduduk dunia, sementara pemeluk Islam hanya 12,4%. 80 tahun kemudian (1980), angka itu berubah. Penganut Kristen bertambah 3,1% menjadi 30%, dan Muslim bertambah 4,1% menjadi 16,5% dari seluruh penduduk bumi. Pada pergantian milenium kedua, yaitu 20 tahun kemudian (2000), jumlah itu berubah lagi tapi terjadi perbedaan yang menarik. Kristen menurun 0,1% menjadi 29,9% dan Muslim naik lagi menjadi 19,2%. Pada tahun 2025, angka itu diproyeksikan akan berubah menjadi: penduduk Kristen 25% (turun 4,9%) dan Muslim akan menjadi 30% (naik pesat 10,8%) mengejar jumlah penganut Kristen. Bila diambil rata-rata, Islam bertambah pemeluknya 2,9% pertahun.

Pertumbuhan ini lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumi sendiri yang hanya 2,3% pertahun. 17 tahun lagi dari sekarang, bila pertumbuhan Islam itu konstan, dari angka kelahiran dan yang masuk Islam di berbagai negara, berarti prediksi itu benar, Islam akan menjadi agama nomor satu terbanyak pemeluknya di dunia, menggeser Kristen menjadi kedua. World Almanac and Book of Fact, #1 New York Times Bestseller, mencatat jumlah total umat Islam sedunia tahun 2004 adalah 1,2 milyar lebih (1.226.403.000), tahun 2007 sudah mencapai 1,5 milyar lebih (1.522.813.123 jiwa). Ini berarti, dalam 3 tahun, kaum Muslim mengalami penambahan jumlah sekitar 300 juta orang (sama dengan jumlah umat Islam yang ada di kawasan Asia Tenggara).

Lebih-lebih setelah peristiwa pemboman World Trade Center pada 11 September 2001 yang dikenal dengan 9/11 yang sangat memburukkan citra Islam itu. Pasca 9/11 adalah era pertumbuhan Islam paling cepat yang tidak pernah ada presedennya dalam sejarah Amerika. 8 juta orang Muslim yang kini ada di Amerika dan 20.000 orang Amerika masuk Islam setiap tahun setelah pemboman itu. Pernyataan syahadat masuk Islam terus terjadi di kota-kota Amerika seperti New York, Los Angeles, California, Chicago, Dallas, Texas dan yang lainnya.

Kebingungan Misionaris dan Orientalis

Anomali 9/11 yang timbul di Amerika memberikan suatu pukulan telak bagi para Misionaris Kristen dan kaum Orientalis, pasalnya target utama yaitu pencitraan buruk terhadap Islam yang terus gencar dituduhkan, terbukti tidak dapat menekan pertambahan jumlah Muslim di negara adidaya tersebut.

Demikian pula dalam sejarah Eropa selama 30 tahun terakhir, kita menyaksikan peningkatan jumlah pemeluk agama Islam dan agama inipun menjadi agama kedua yang paling diminati setelah Kristen. Misalnya di Belanda, sepanjang 30 tahun terakhir, jumlah umat Islam telah membengkak dari hanya beberapa ratus orang menjadi lebih dari 300 ribu orang. Awalnya, hanya terdapat sebuah masjid di Belanda, namun kini terdapat hampir 200 musholla dan masjid di negara ini, yang semuanya mendapat sambutan luas dari masyarakat. Di Inggris, arus imigrasi kaum muslimin ke Eropa pasca Perang Dunia Kedua telah meningkatkan populasi umat Islam di negara ini dan kini, jumlah mereka lebih dari dua juta orang.

Menurut laporan suratkabar Times, selepas terjadinya peristiwa 11 September, Islam banyak mendapatkan perhatian dari kalangan warga kulit putih Inggris yang berekonomi kuat. Penisbatan peristiwa teror tersebut kepada umat Islam malah menyebabkan anak-anak muda dan para peneliti termotivasi untuk meneliti Islam. Suratkabar Times mengisahkan kehidupan Elizabeth, seorang anak perempuan dari sebuah keluarga Inggris yang ternama dan kaya. Elizabeth telah memeluk agama Islam di Masjid Regent Park yang terletak di pusat kota London. Times menulis, Elizabeth bukanlah pengecualian dalam hal ini, karena tidak hanya di Inggris, namun di seluruh Eropa dan Amerika, terlihat kecenderungan serupa terhadap Islam.

Populasi umat Islam di Jerman merupakan kelompok ketiga terbesar selepas kaum Protestan dan Katolik. Namun demikian, peningkatan jumlah umat Islam di Jerman sangat cepat, sehingga saat ini terdapat kira-kira 40 persen umat Islam yang tinggal di Jerman. Menurut data statistik tahun 1995, jumlah umat Islam yang tinggal di Jerman sekitar 2 juta 700 ribu. Besarnya populasi muslim di Jerman membuat mereka berubah menjadi sebuah kekuatan yang tidak bisa dipandang enteng.

Menurut Klaus Lagenvis, seorang pakar undang-undang Jerman, masjid Jerman merupakan tempat bagi kaum muslimin dari berbagai kelompok untuk saling menyatukan diri dan meraih rasa percaya diri. Majalah Figaro terbitan Perancis dalam sebuah makalahnya menulis, “Jumlah kehadiran umat Islam di masjid dan mushola sedemikian banyaknya di Jerman, sehingga Paus Paulus mengimpikan sambutan yang sama terhadap gereja.”

Basam Tibi, seorang dosen di bidang politik internasional Universitas Gottingen Jerman, termasuk mereka yang menyaksikan kemajuan Islam di Jerman dengan pandangan negatif karena dia tidak memiliki informasi yang benar tentang Islam. Namun demikian, melihat pesatnya perkembangan Islam di Jerman, Tibi memprediksikan bahwa Islam secara berangsur-angsur akan mendapat pengakuan legal di Jerman pada tahun 2014. Doktor Ermagardpin, yang juga seorang dosen di Jerman menyatakan, “Dalam ajaran Islam dibahas banyak masalah yang menarik. Misalnya, tentang hak asasi manusia, hak kemanusiaan, keadilan, atau cara untuk mengatasi penindasan dalam masyarakat. Alangkah baiknya jika pandangan Islam mengenai masalah-masalah ini diterapkan di Jerman.”

Perancis termasuk sebuah negara Eropa yang mempunyai jumlah umat Islam yang besar di negaranya karena hubungan sejarahnya dengan sebagian dunia Islam. Islam merupakan agama terbesar kedua di Perancis setelah Katolik. Umat Islam di negara ini terdiri dari hampir 5 juta orang. Beberapa waktu terakhir ini, pemerintah Perancis telah memberlakukan undang-undang diskriminatif terhadap umat Islam, yaitu melarang kaum perempuan muslim yang menggunakan jilbab saat memasuki lembaga-lembaga pendidikan. Namun demikian, keteguhan hati kaum muslimah Perancis untuk tetap mengenakan jilbab dan terus berjuang menuntut dibebaskannya penggunaan jilbab, justru telah membuat ajaran Islam semakin tampil cemerlang. Perhatian masyarakat Barat terhadap kasus pelarangan jilbab malah membuat mereka tertarik untuk mempelajari Islam.

Atas fakta inilah, beberapa tokoh Amerika menyatakan kesimpulannya. The Population Reference Bureau USA Today sendiri menyimpulkan: “Moslems are the world fastest growing group.” Hillary Rodham Cinton, istri mantan Presiden Clinton seperti dikutip oleh Los Angeles Times mengatakan, “Islam is the fastest growing religion in America.” Kemudian, Geraldine Baum mengungkapkan: “Islam is the fastest growing religion in the country.” (Newsday Religion Writer, Newsday). “Islam is the fastest growing religion in the United States,” kata Ari L. Goldman seperti dikutip New York Times. Atas daya magnit Islam inilah, pada 19 April 2007, digelar sebuah konferensi di Middlebury College, Middlebury Vt. untuk mengantisipasi masa depan Islam di Amerika dengan tajuk “Is Islam a Trully American religion?” menampilkan Prof. Jane Smith yang banyak menulis buku-buku tentang Islam di Amerika. Konferensi itu sendiri merupakan seri kuliah tentang Immigrant and Religion in America. Dari konferensi itu, jelas tergambar bagaimana keterbukaan masyarakat Amerika menerima sebuah gelombang baru yang tak terelakkan yaitu Islam yang akan menjadi identitas dominan di negara super power itu.

Dan ternyata justru organisasi pertama yang menolak adanya undang-undang multikulturalisme itu adalah lahir dari organisasi Kristen Amerika atau gereja-gereja konservatif. Hal ini merupakan langkah antisipatif untuk mencegah meluasnya peta pemukiman muslim di tengah-tengah mereka.

Motivasi Menjadi Muslim

Dari banyak wawancara yang dilakukan televisi Amerika, Eropa maupun Timur Tengah terhadap mereka yang masuk Islam atau video-video blog yang banyak menjelaskan motivasi para new converters ini masuk Islam, menggambarkan konfigurasi latar belakang yang beragam.

Pertama, karena kehidupan mereka yang sebelumnya sekuler, tidak terarah, tidak punya tujuan, hidup hanya money, music and fun. Pola hidup itu menciptakan kegersangan dan kegelisahan jiwa. Mereka merasakan kekacauan hidup, tidak seperti pada orang-orang Muslim yang mereka kenal. Dalam hingar bingar dunia modern dan fasilitas materi yang melimpah banyak dari mereka yang merasakan kehampaan dan ketidakbahagiaan. Ketika menemukan Islam dari membaca Al-Qur’an, dari buku atau kehidupan teman Muslimnya yang sehari-harinya taat beragama, dengan mudah saja mereka masuk Islam.

Kedua, merasakan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakannya dalam agama sebelumnya yaitu Kristen. Dalam Islam mereka merasakan hubungan dengan Tuhan itu langsung dan dekat. Beberapa orang Kristen taat bahkan mereka sebagai church priest mengaku seperti itu ketika diwawancarai televisi. Allison dari North Caroline dan Barbara Cartabuka, seorang diantara 6,5 juta orang Amerika yang masuk Islam pasca 9/11, seperti diberitakan oleh Veronica De La Cruz dalam CNN Headline News, Allison mengaku “Islam is much more about peace.” Sedangkan Barbara tidak pernah merasakan kedamaian selama menganut Katolik Roma seperti kini dirasakannya setelah menjadi Muslim. Demikian juga yang dirasakan oleh Mr. Idris Taufik, mantan pendeta Katolik di London, ketika diwawancara televisi Al-Jazira. Mantan pendeta ini melihat dan merasakan ketenangan batin dalam Islam yang tidak pernah dirasakan sebelumnya ketika ia menjadi mendeta di London. Ia masuk Islam setelah melancong ke Mesir. Ia kaget melihat orang-orang Islam tidak seperti yang diberitakan di televisi-televisi Barat. Ia mengaku, sebelumnya hanya mengetahui Islam dari media. Ia sering meneteskan air mata ketika menyaksikan kaum Muslim shalat dan kini ia merasakan kebahagiaan setelah menjadi Muslim di London.

Ketiga, menemukan kebenaran yang dicarinya. Beberapa konverter mengakui konsep-konsep ajaran Islam lebih rasional atau lebih masuk akal seperti tentang keesaan Tuhan, kemurnian kitab suci, kebangkitan (resurrection) dan penghapusan dosa (salvation) ketimbang dalam Kristen. Banyak dari masyarakat Amerika memandang Kristen sebagai agama yang konservatif dalam doktrin-doktrinnya. Eric seorang pemain Cricket di Texas, kota kelahiran George Bush, berkesimpulan seperti itu dan memilih Islam. Sebagai pemain cricket Muslim, ia sering shalat di pinggir lapang. Di Kristen, katanya, sembahyang harus selalu ge Gereja. Seorang converter (Muallaf) lain memberikan kesaksiannya yang bangga menjadi Muslim. Ia menjelaskan telah berpuluh tahun menganut Katolik Roma dan Kristen Evangelik. Dia mengaku menemukan kelemahan-kelemahan doktrin Kristen setelah menyaksikan debat terbuka tentang “apakah Yesus itu Tuhan?” antara Ahmad Deedat, seorang tokoh Islam dari Afrika Selatan dan seorang teolog Kristen. Argumen-argumen Dedaat dalam diskusi menurutnya jauh lebih jelas, kuat dan memuaskan ketimbang teolog Kristen itu. Menariknya, misi awalnya ia menonton debat agama itu justru untuk mengetahui Islam karena ia bertekad akan menyebarkan gospel ke masyarakat-masyarakat Muslim. Yang terjadi sebaliknya, ia malah menemukan keunggulan doktrin Islam dalam berbagai aspeknya dibandingkan Kristen. Angela Collin, seorang artis California yang terkenal karena filmnya Leguna Beach dan kini menjadi Director of Islamic School, ketika diwawancarai oleh televisi NBC News megapa ia masuk Islam, ia mengungkapkan: “I was seeking the truth and I’ve found it in Islam. Now I have this belief and I love this belief,” katanya bangga.

Keempat, banyak kaum perempuan Amerika Muslim berkesimpulan ternyata Islam sangat melindungi dan menghargai perempuan. Dengan kata lain, perempuan dalam Islam dimuliakan dan posisinya sangat dihormati. Walaupun mereka tidak setuju dengan poligami, mereka melihat posisi perempuan sangat dihormati dalam Islam daripada dalam peradaban Barat modern. Seorang convert perempuan Amerika bernama Tania, merasa hidupnya kacau dan tidak terarah jutsru dalam kebebasannya di Amerika. Ia bisa melakukan apa saja yang dia mau untuk kesenangan, tapi ia rasakan malah merugikan dan merendahkan perempuan. Setelah mempelajari Islam, awalnya merasa minder setelah tahu bagaimana Islam memperlakukan perempuan. “Women in Islam is so honored. This is a nice religion not for people like me!” katanya. Dia masuk Islam setelah mempelajarinya beberapa bulan dari teman Muslimnya.

Perkembangan Islam di dunia Barat sesungguhnya lebih prospektif karena mereka terbiasa berfikir terbuka. Dalam keluarga Amerika, pemilihan agama dilakukan secara bebas dan independen. Banyak orang tua mendukung anaknya menjadi Muslim selama itu adalah pilihan bebasnya dan independen. Mereka mudah saja masuk Islam ketika menemukan kebenaran disitu. Angela Collin, seorang artis di California yang terkenal karena filmnya Leguna Beach menjadi Muslim dengan dukungan orang tua. Ketika diwawancarai televisi NBC, orang tuanya justru merasa bangga karena Angela adalah seorang “independent person.”

Amerika dan Anak Seorang Imigran

Kali ini lagi-lagi gedung putih dan kaum konservatif Amerika dikejutkan dengan keberhasilan seorang anak Imigran dalam meraih jabatan orang nomor satu di negara tersebut. Pertanyaan besar, jika kaum atau ras minoritas di negara itu mampu melanggengkan seorang Obama menuju ruang Oval kepresiden, lantas bagaimana dengan penganut agama minoritas di negeri itu? Suatu saat bisa jadi sebuah al-Quran menjadi bacaan sehari-hari kepala negara sekaligus kepala pemerintahan negeri itu. Dan semua itu mungkin meskipun undang-undang mengenai multikulturalisme itu benar-benar di revisi.

http://kupretist.multiply.com/journal/item/372